Garuda Indonesia Training Center atau GITC adalah salah satu fasilitas yang dimiliki PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Kompasianer berkesempatan mengunjungi GITC yang berlokasi di Kosambi untuk mengetahui secara langsung GITC, simulator, sampai cabin crew yang dididik dan dilatih. Harapannya tulisan yang dihasilkan Kompasianer dengan ide yang membangun mampu memberikan sumbangan guna memajukan dunia penerbangan Indonesia.
Pada 5 April 2018 Kompasiana bekerja sama dengan Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan mengadakan Blogtrip Sobat Aviasi ke GITC. Dalam sambutannya Direktur Jenderal Perhubungan Udara Dr. Ir. Agus Santoso, M.Sc memaparkan, Sobat Aviasi bertujuan memberikan pendidikan kepada kompasianer yang merupakan agent of change dari kultur penerbangan Indonesia.Â
Training center di Indonesia harus mematuhi regulasi. Salah satu sarana yang dimiliki GITC adalah simulator yang membantu pilot yang akan terbang, simulasi seperti di pesawat as real as possible. Tujuannya pesawat bisa melayani dengan kecepatan tinggi dan manuver yang kredibel. Selain itu pramugari, pramugara, bahkan engineer juga dididik di GITC. "Patokan dalam penerbangan adalah safety, safety, dan safety," tutur Agus.
Pilot harus dididik mengendalikan manuver demi memberikan pelayanan yang bagus kepada penumpang dan menghindarkan penumpang dari ketidaknyamanan. Dalam pandangan Agus, training center adalah hal yang penting terkait dengan keselamatan dan keamanan penumpang. "Dunia penerbangan berusaha sekuat mungkin memberikan kenyamanan kepada penumpang," kata Agus.
GITC adalah training center paling lengkap dan tertua di Indonesia. Berlokasi di lahan seluas 7 hektar, fasilitas yang dimiliki GITC diantaranya 34 ruang kelas, cockpit crew lounge, hingga asrama dengan 40 kamar. Agus ingin informasi yang disebarkan kompasianer membuat masyarakat memahami dan berkontribusi dalam keselamatan selama penerbangan.
 Bagi Agus, penerbangan memiliki posisi high profile dalam hal safety, kenyamanan, dan service yang bagus. "Tentunya semua pihak harus berkolaborasi sehingga pelayanan dan keselamatan itu bisa terpenuhi," kata Agus.
Safety itu tanpa kompromi. Beliau berharap kompasianer bisa melihat proses  menjadi seorang penerbang. "Mudah-mudahan kunjungan ini bisa memberi informasi yang positif dan baik," kata Triyanto.
Saat kompasianer mengelilingi GITC, Direktur Operasi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Puji Nur Handayani menyampaikan, 20 tahun lalu pesawat Garuda Indonesia tujuan Los Angeles stopover dua kali di Biak dan Honolulu untuk mengisi avtur. Jaman itu Biak sangat ramai.Â
Kemajuan teknologi berdampak pada waktu yang lebih singkat saat menempuh perjalanan menggunakan pesawat. Sementara itu VP GITC Capt. Martinus Kayadu menunjukkan kursi pesawat tahun 1980-an yang digunakan di semua penerbangan Airbus. Kursi tersebut memiliki kemiringan 45 derajat. "Kursi sekarang kemiringannya 70 derajat," tutur Martinus.
Berkualitas
Ketika terjadi sesuatu, pilot sudah dilatih menghadapi kerusakan termasuk cuaca. GITC memiliki tujuh simulator yang masih aktif. Selain menyelenggarakan training untuk pilot Garuda Indonesia, GITC juga menerima training dari Saudi Arabia, Irak, hingga India serta maskapai lain seperti Trigana. Negara-negara tersebut menilai GITC berkualitas bagus. Pasalnya tidak semua perusahaan penerbangan memiliki simulator yang harganya mencapai Rp 200 miliar.Â
Alasan lainnya adalah maskapai tersebut hanya memiliki tiga atau empat pesawat, kurang ekonomis. GITC juga menjalin kerja sama pelatihan dengan beberapa perusahaan penerbangan dari Yaman dan Afrika. Setiap tahun dilakukan sertifikasi simulator untuk memastikan kapabilitas agar sesuai dengan regulasi.
Senior Manager Flight Attendant Training GITC Yonas P. Sutedjo menyampaikan, hampir setiap tahun training juga diikuti pilot dari Jepang, Korea, dan China. Mereka berasal dari maskapai asing yang berada dalam satu jaringan dengan Garuda Indonesia. GITC memiliki device yang disertifikasi oleh Kementerian Perhubungan sehingga harus digunakan di negara sendiri, tidak boleh di negara lain.Â
Terdapat dua jenis training, yaitu training selama enam bulan dengan 28 subject dan training recurrent selama lima hari. "Banyak juga maskapai dari Asia yang training di GITC, salah satunya Thailand. Mungkin mereka mempertimbangkan jarak yang dekat dari negaranya," ujar Yonas.
Tercatat 1.450 pilot Garuda Indonesia mengikuti refreshment training dua kali setahun. Lulusan flying school yang bergabung dengan Garuda Indonesia harus menjalani training selama enam bulan. Terdapat 28 subject dalam training tersebut yang meliputi safety dan service.
Simulator mewakili 95% sampai 98% kondisi real. Semua panel di simulator sama seperti di pesawat. Dengan demikian pilot bisa mengoperasikan pesawat dalam situasi normal, abnormal, dan emergency (darurat). Semua hal yang harus dilakukan atau diputuskan pilot ditraining di simulator dengan tepat.Â
Selain mempelajari teori pesawat yang menunjang penerbangan selama dua jam, pilot ditraining selama empat jam di simulator. Simulator membuat training lebih aman sebab tidak mungkin membawa penumpang dalam kondisi mesin mati atau terbakar. "Training menjadi nyaris sempurna di simulator. Pilot bisa dilihat dari motorik, skill, knowledge, dan mentality," ujar Triyanto.
Selanjutnya dibuktikan dengan praktik di pesawat Garuda Indonesia untuk menerima flight attendant (FA) certificate, yaitu dokumen yang dikeluarkan negara. Di balik kelemahlembutan dan komunikasi yang diatur oleh pramugari itu sebenarnya ada habit yang dibentuk. "Bagaimana mengucapkan magic words, seperti maaf, terima kasih, dan tolong di manapun, kapanpun, dan dengan siapapun," kata Magdalena.
Minimum usia seseorang yang ingin menjadi FA adalah 18 tahun. Syarat lainnya adalah kemampuan bahasa khususnya bahasa Inggris hingga uji kesehatan yang dibuktikan dengan medical examination. Persyaratan yang ditetapkan perusahaan tersebut mencakup juga persyaratan yang ditetapkan negara. Oleh karenanya GITC mengadakan pelatihan yang terkait kompetensi knowledge dan skill. Kompetensi tersebut selanjutnya diaplikasikan dengan menjalani flight training, yakni aktivitas di pesawat sebagai FA.
Keselamatan Penerbangan
Di GITC siswa FA mengikuti pula kelas icip makanan. Bila ada penumpang yang bertanya, mereka bisa menceritakan mengenai makanan tersebut. Para siswa diajarkan cara menyajikan  minuman beralkohol sampai cara membuka red wine, white wine, dan champagne terkait keselamatan penerbangan yang sesuai dengan standar internasional. Selain itu siswa diajarkan cara menyajikan breakfast, makan siang, dan makan malam sehubungan dengan cara memanaskan atau menghangatkan. Bagaimana menstransfer classical menu menjadi  modern menu yang diakomodir untuk penerbangan.
Tubuh manusia memiliki little bud yang sedikit menurun selama penerbangan. Situasi itu berakibat pada makanan yang terasa enak di dalam pesawat menjadi berbeda saat dikonsumsi di luar. Garuda Indonesia juga menyajikan menu sesuai order atau special menu, misalnya untuk anak-anak, vegetarian, dan pengidap diabetes. Makanan dimasukkan ke dalam pesawat dalam keadaan difreeze. Menjelang penyajian makanan itu dipanaskan.
Di business class ada chef on board yang melakukan plating makanan. Chef on board berpengalaman selama puluhan tahun. Ia direkrut untuk menghidangkan makanan dalam kondisi fresh di pesawat. Itu persyaratan untuk menjadi maskapai bintang 5. Ada pula supervisor yang melakukan hal yang sama di business class untuk penerbangan 737 tujuan Singapura atau Bangkok. Supervisor tersebut bertanggung jawab terhadap the whole cabin dan perpanjangan tangan cokpit ke kabin.
Identitas Indonesia
Salah seorang siswa FA Salsha Diana Solin membagikan pengalamannya selama menjalani training selama empat bulan di GITC. Satu batch terdiri dari 24 siswa. Menurut Caca, demikian ia disapa, asalkan training tersebut diikuti dengan baik dan terkualifikasi dijamin bisa menjadi FA di Garuda Indonesia. Seragam FA didesain sefleksibel mungkin sehingga bisa digunakan saat berlari atau berenang. Ada belahan di seragam tersebut yang dirancang untuk kondisi darurat dan tidak terlalu ketat sehingga FA bisa bernapas dan berkomunikasi.
Caca menyampaikan, minimal tinggi badan untuk menjalani training sebagai FA adalah 158 cm dengan berat badan yang mengikuti atau proporsional. Persyaratan lainnya adalah WNI, pendidikan minimal SMA tapi D3 atau S1 itu lebih baik, dan akan lebih baik jika memiliki pengalaman kerja. Training tersebut tidak hanya diikuti oleh siswa dari Jakarta seperti Caca, juga dari Jambi, Bali, Padang, hingga Bengkulu.Â
Pasalnya Garuda Indonesia membuka rekruitmen di beberapa kota dengan antusiasme yang cukup bagus. Latar belakang Caca menjadi FA adalah mengejar cita-cita dan mendapat pengalaman hidup yang lebih baik. "Garuda Indonesia adalah BUMN yang menjadi identitas Indonesia dan sudah mendapat penghargaan sebagai 5 star airlines dan the best cabin crew in the world selama empat kali berturut-turut," ujar Caca dengan bangga.
Bagi Caca semua materi training yang dijalaninya selama ini tidak memberatkan karena semua itu yang akan diaplikasikan nanti saat bekerja. Ia merasa tidak kebingungan dan bisa menyelamatkan penumpang ketika keadaan darurat, contohnya penumpang yang hamil dan melahirkan di pesawat. Caca mengisahkan, saat training ada instruktur yang melahirkan dengan selamat di pesawat dalam kondisi turbulensi. "Di Garuda Indonesia ada standar make up, misalnya penggunaan blush on atau eye shadow yang sesuai dengan seragam company yang dipakai," ujar Caca yang selalu tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H