Banyak sekali startup di Indonesia yang mencoba peduli dan memberi perhatian besar pada dunia anak. Untuk itu kita semua harus bergerak ke sana. Dengan demikian anak-anak Indonesia memperoleh hidup yang berkualitas.
Generasi muda diyakini memiliki kreativitas yang luar biasa dengan ide yang inovatif. Generasi penerus bangsa mempunyai kesempatan menggali pengalaman dari mereka yang sudah berpengalaman untuk dikembangkan menjadi usaha di kemudian hari. Saling berbagi kekuatan ekonomi pribadi untuk Indonesia tercinta. Saat ini adalah waktu paling tepat untuk menjadi entrepreneur karena pemerintah dan seluruh stakeholder sadar akan hal itu. Menuju visi digital ekonomi 2020.
Dalam acara CoDE@BCA dengan topik ‘Kidtech, Startup dengan Target Pasar Anak-Anak’ dihadirkan tiga pembicara yang memiliki startup dengan fokus anak-anak. Melalui startup tersebut, mereka berkomitmen membangun negeri dengan kreasi digital. Pembicara pertama dalam acara yang digelar pada 30 November 2016 adalah Founder Clevio Aranggi Soemardjan. Aranggi menyampaikan startup bisa dimulai dari visi. Sebagaimana visi Clevio, yakni clever (bijak memanfaatkan teknologi digital), leverage (bagaimana pengaruh teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari), human centric (membuat manusia lebih berdaya), dan better good (bermanfaat untuk semua). Kurikulum Clevio berlandaskan character building yang manusiawi dalam mengembangkan bakat anak. Dengan demikian anak belajar logika, psikososial, kerja sama, hingga entrepreneurship.
Clevio didirikan pada 2013. Peserta kursus programming game tersebut tersebar dari anak, ibu, hingga lansia. Awalnya Aranggi mendirikan Clevio untuk kebutuhan anaknya yang ekstra introvert. Bahkan saat duduk di kelas 3 SD, anaknya tersebut diterapi karena stress dengan ketidakmampuan sosialnya. Padahal anak itu mampu membuat game. Aranggi dan istri selanjutnya mencari lembaga yang mengajarkan game. Namun tidak ada. Kemudian Aranggi beserta istri yang berlatar pendidikan psikologi anak membentuk Clevio. Selain IT, sisi sosial difasilitasi. “Sebenarnya saat orangtua bermain game bersama anak, itu bisa menjadi sarana untuk memotivasi anak. Kita bisa terlibat dalam dunia digital, dunia mereka,” ujar Aranggi.
Tahun lalu Clevio diajak oleh sebuah perusahaan di Amerika untuk bergabung dalam gerakan Hour of Code. Tujuannya adalah memperkenalkan coding atau programming ke 200 juta anak di seluruh dunia secara gratis. Visi tersebut diwujudkan dalam bentuk pengajaran coding yang disampaikan orang dewasa kepada anak-anak. Tahun ini gerakannya adalah anak-anak mengajar anak-anak. “Ayo generasi Indonesia, majukan generasimu. Berantas buta coding, jadilah duta coding di sekolahmu,” ujar Aranggi.
Apa itu coding? Ilmu memprogram komputer, menyusun logika komputer agar bekerja sesuai perintah kita. Misi duta coding adalah membimbing teman-teman di sekolah, rumah, atau dimanapun untuk belajar coding dengan mudah dan menyenangkan. Sebab coding adalah bahasa pemrograman digital, bahasa masa depan. Aranggi mengimbau orangtua dan sekolah untuk memberdayakan dan memajukan generasi penerus. Dengan demikian mereka mampu menguasai masa depan.
Kompetisi karier di masa mendatang itu bukan antara si kaya dan si miskin. Banyak pekerjaan yang dulu tidak ada sekarang ada. Banyak pekerjaan yang dulu ada sekarang tidak ada. Orangtua harus mendidik anak agar mampu bertahan 10 bahkan 20 tahun lagi. Kita tidak tahu dunia masa depan itu akan seperti apa. Untuk itu pada 13-15 Desember akan diadakan Hour of Code di Atamerica. Kegiatan tersebut berfokus pada anak perempuan, ibu rumah tangga, dan penyandang disabilitas. “Semoga lebih banyak perempuan terlibat di dunia IT agar tidak lagi menjadi dominasi laki-laki,” kata Aranggi, lulusan University of Memphis.
Aranggi berpesan, jika kalian suka dengan penderitaan jadilah entrepreneur. Aranggi sendiri bekerja di perusahaan selama 15 tahun. Ia belajar IT di dunia kerja. Sebelum usia 40 tahun, Aranggi bertekad memulai startup. Menurutnya, penderitaan memulai startup jauh lebih nyaman dibandingkan bekerja di perusahaan. “Kalau motivasi kamu membangun startup itu uang, forget it,” tutur Aranggi.
Berbagi Mimpi
Berikutnya pembicara kedua, Co-Founder Coding Indonesia Kurie Suditomo. Coding Indonesia adalah lembaga kursus coding untuk anak-anak, remaja, dan dewasa yang berdiri pada 2013. Coding Indonesia berangkat dari ide Presiden Obama yang meluncurkan code.org. Saat itu Amerika menghadapi fenomena tenaga kerja di Silicon Valley didominasi orang Chinese dan India. Bahkan etos kerja mereka jauh melebihi orang Amerika. Akibatnya orang Amerika tertinggal. Kurie memandang, di Indonesia coding menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk dimasuki. Pasalnya anak-anak Indonesia butuh pengetahuan komputer. Sesungguhnya pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi yang dipelajari murid SD berhenti di Microsoft Office. “Itu sudah temuan 20 tahun yang lalu. Mengajarkan komputer ke anak-anak itu sama sekali tidak diberikan,” ujar Kurie.
Mengapa anak-anak? Anak-anak itu cepat sekali beradaptasi. Secara visual mereka lebih mudah menangkap. Untuk itu tutor di Coding Indonesia berusia muda. Sebab mereka jauh lebih cepat beradaptasi dalam pembelajaran coding dibandingkan generasi sebelumnya. Coding menjadi kendaraan anak-anak menuju masa depan. Kurie menilai, lebih baik kita mengajarkan anak-anak cara membuat game. Menantang mereka perlahan-lahan. “Secara tidak sengaja bermain adalah belajar. Berikan ilmu kepada anak-anak menurut masanya, bukan masa kita,” kata Kurie yang memiliki pengalaman panjang di dunia jurnalistik.
Kurie memulai startup bersama partnernya yang merupakan professional programmer. Saat itu baru 20 anak yang mengikuti kursus. Kini murid di Coding Indonesia terus bertambah. Bahkan Sabtu merupakan hari yang paling ramai. Pasalnya Senin sampai Jumat anak harus bersekolah. Selain bekerja sama dengan sekolah-sekolah swasta melalui sistem bagi hasil, Coding Indonesia mengirim tutor untuk mengajar pro bono di Rumah Yatim.
Coding Indonesia juga bermitra dengan Indosat untuk mengajarkan coding di daerah. Kurie ingin berbagi mimpi, bahwa coding itu harus menjadi mainstream. Selama ini subjek yang menjadi mainstream diantaranya bahasa Inggris dan matematika. Padahal coding bisa membantu anak memahami matematika dengan cara visual. Selain itu coding membuat anak beradaptasi dengan komputer.
Kurie mengisahkan, ia dan timnya membawa komputer dari Jakarta. Mereka mengajarkan coding kepada anak-anak yang tinggal di desa yang berjarak 6 km dari Kuningan. Ada anak yang belum pernah pegang mouse, ada yang belum pernah pegang komputer. Ada pula ibu yang malu-malu bertanya apakah boleh bergabung belajar coding. Itu kenyataan yang tengah kita hadapi. Kita bicara tentang 60 juta anak Indonesia yang harus dibantu. Coding itu seperti calistung dalam bahasa komputer. Melalui coding kita bisa memberikan harapan. “Sehingga suatu saat mereka bisa bermimpi, saya ingin belajar, saya ingin menjadi orang yang lebih dari sekarang,” ujar Kurie.
Tantangan terberat dalam membangun startup, dalam pandangan Kurie adalah educate market. Coding masih sering menghadapi beragam pertanyaan. Pertanyaan itu tidak hanya datang dari kalangan yang kurang terpapar, juga kalangan berpendidikan. Kurie berharap pemerintah tergerak memasukkan coding ke dalam kurikulum. Semoga cita-cita itu bisa tercapai. Coding itu bukan alternatif, harus menjadi pilihan. Kalau ingin menjadi yang terdepan di abad ini, kita harus menguasai coding.
Mengubah Mindset
Selanjutnya pembicara ketiga, CEO Cody's App Academy Wisnu Sanjaya. Cody's App Academy adalah lembaga kursus yang mengajarkan programming dan membuat game kepada anak-anak. Kurikulum disusun berdasarkan pengalaman Wisnu. Bahkan Wisnu berani memaparkan visinya tersebut kepada sekolah-sekolah. Selama ini bermain game dianggap buang-buang waktu. Wisnu ingin mengubah mindset masyarakat dan orangtua mengenai game. Melalui game kita bisa mengajak anak-anak untuk produktif dan kreatif. Wisnu sendiri mengawali karirnya sebagai gamer. Permasalahannya orangtua menganggap hal itu negatif. “Padahal dari nintendo saya belajar bahasa. Saya belajar menggambar lewat game,” ujar Wisnu.
Bagaimana Wisnu menjaga asa sebagai gamer? Saat SD, ia tidak tahu lembaga untuk belajar game. Bermodalkan buku gambar dan pensil, Wisnu mengembangkan keahliannya. Selanjutnya ia kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual walaupun tidak berhubungan dengan game. Lulus kuliah Wisnu bekerja di sebuah studio game terbesar dan tertua di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya tersebut Wisnu berpikir mengapa tidak ia membuat startup.
Wisnu melihat sebuah masalah, di era digital ini orangtua sibuk dengan media sosial sementara anak sibuk dengan game. Namun orangtua tidak tahu anak akan diarahkan ke mana. Kemudian anak didaftarkan mengikuti kursus komputer. Ternyata belum juga menarik untuk anak. Cody's App Academy ingin memberitahu orangtua dan masyarakat bahwa ada solusi untuk anak-anak yang sudah terpapar game. Lebih baik memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain. Itu adalah hak mereka. Namun mereka punya kewajiban untuk berkembang dan belajar. Menurut Wisnu, tidak banyak orangtua yang menemukan bakat anak sejak kecil. Orangtua bertanggung jawab agar anak tetap produktif. “Main game tidak masalah asal jangan berlebihan. Di game itu ada codingnya, bagus untuk anak,” ujar Wisnu.
https://twitter.com/Ignasia_Kijm
https://www.facebook.com/ignasia.kijm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H