Kurie memulai startup bersama partnernya yang merupakan professional programmer. Saat itu baru 20 anak yang mengikuti kursus. Kini murid di Coding Indonesia terus bertambah. Bahkan Sabtu merupakan hari yang paling ramai. Pasalnya Senin sampai Jumat anak harus bersekolah. Selain bekerja sama dengan sekolah-sekolah swasta melalui sistem bagi hasil, Coding Indonesia mengirim tutor untuk mengajar pro bono di Rumah Yatim.
Coding Indonesia juga bermitra dengan Indosat untuk mengajarkan coding di daerah. Kurie ingin berbagi mimpi, bahwa coding itu harus menjadi mainstream. Selama ini subjek yang menjadi mainstream diantaranya bahasa Inggris dan matematika. Padahal coding bisa membantu anak memahami matematika dengan cara visual. Selain itu coding membuat anak beradaptasi dengan komputer.
Kurie mengisahkan, ia dan timnya membawa komputer dari Jakarta. Mereka mengajarkan coding kepada anak-anak yang tinggal di desa yang berjarak 6 km dari Kuningan. Ada anak yang belum pernah pegang mouse, ada yang belum pernah pegang komputer. Ada pula ibu yang malu-malu bertanya apakah boleh bergabung belajar coding. Itu kenyataan yang tengah kita hadapi. Kita bicara tentang 60 juta anak Indonesia yang harus dibantu. Coding itu seperti calistung dalam bahasa komputer. Melalui coding kita bisa memberikan harapan. “Sehingga suatu saat mereka bisa bermimpi, saya ingin belajar, saya ingin menjadi orang yang lebih dari sekarang,” ujar Kurie.
Tantangan terberat dalam membangun startup, dalam pandangan Kurie adalah educate market. Coding masih sering menghadapi beragam pertanyaan. Pertanyaan itu tidak hanya datang dari kalangan yang kurang terpapar, juga kalangan berpendidikan. Kurie berharap pemerintah tergerak memasukkan coding ke dalam kurikulum. Semoga cita-cita itu bisa tercapai. Coding itu bukan alternatif, harus menjadi pilihan. Kalau ingin menjadi yang terdepan di abad ini, kita harus menguasai coding.
Mengubah Mindset
Selanjutnya pembicara ketiga, CEO Cody's App Academy Wisnu Sanjaya. Cody's App Academy adalah lembaga kursus yang mengajarkan programming dan membuat game kepada anak-anak. Kurikulum disusun berdasarkan pengalaman Wisnu. Bahkan Wisnu berani memaparkan visinya tersebut kepada sekolah-sekolah. Selama ini bermain game dianggap buang-buang waktu. Wisnu ingin mengubah mindset masyarakat dan orangtua mengenai game. Melalui game kita bisa mengajak anak-anak untuk produktif dan kreatif. Wisnu sendiri mengawali karirnya sebagai gamer. Permasalahannya orangtua menganggap hal itu negatif. “Padahal dari nintendo saya belajar bahasa. Saya belajar menggambar lewat game,” ujar Wisnu.
Bagaimana Wisnu menjaga asa sebagai gamer? Saat SD, ia tidak tahu lembaga untuk belajar game. Bermodalkan buku gambar dan pensil, Wisnu mengembangkan keahliannya. Selanjutnya ia kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual walaupun tidak berhubungan dengan game. Lulus kuliah Wisnu bekerja di sebuah studio game terbesar dan tertua di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya tersebut Wisnu berpikir mengapa tidak ia membuat startup.
Wisnu melihat sebuah masalah, di era digital ini orangtua sibuk dengan media sosial sementara anak sibuk dengan game. Namun orangtua tidak tahu anak akan diarahkan ke mana. Kemudian anak didaftarkan mengikuti kursus komputer. Ternyata belum juga menarik untuk anak. Cody's App Academy ingin memberitahu orangtua dan masyarakat bahwa ada solusi untuk anak-anak yang sudah terpapar game. Lebih baik memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain. Itu adalah hak mereka. Namun mereka punya kewajiban untuk berkembang dan belajar. Menurut Wisnu, tidak banyak orangtua yang menemukan bakat anak sejak kecil. Orangtua bertanggung jawab agar anak tetap produktif. “Main game tidak masalah asal jangan berlebihan. Di game itu ada codingnya, bagus untuk anak,” ujar Wisnu.
https://twitter.com/Ignasia_Kijm
https://www.facebook.com/ignasia.kijm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H