Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis sebagai Kebutuhan Hidup

20 November 2016   23:00 Diperbarui: 21 November 2016   03:24 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maman merasakan pasca keluar dari Kompas dan bergabung di rumah produksi,  kalimat pendek  bisa membuatnya hidup. Menulis untuk enlightenment. Maknanya, jadilah terang dunia. Menulis itu membawa kabar, berita.  Rajin menulis karena rajin membaca. Setiap tulisan kita harus dibaca berulang-ulang, apakah sudah sesuai dengan aturan, apakah sudah luwes.  Menulis itu tidak hanya 5W+1H. Maman menjelaskan, menulis yang baik itu harus banyak membaca, read (meningkatkan wawasan sehingga tingkat kedalaman tulisan kita tidak rendah), riset (dengan dukungan kepustakaan yang  sangat luas). “Orang Indonesia lemah di dua hal ini. Perpustakaan di Indonesia itu tempat tersunyi nomor dua setelah kuburan,” kata Maman yang disambung tawa para Kompasianer.

Berikutnya, Reliable,  yakin betul bahwa yang kita tulis itu benar dan dilihat dari berbagai sisi harus zero kesalahan. Reflecting, sudut pandangnya harus banyak, komprehensif dari semua sisi, dan jangan ribut dengan orang yang berbeda pandangan dengan kita. Reflecting itu mengajarkan kita menghargai perbedaan. (w)rite, menulislah untuk kebenaran. Kalau itu dijalani, menulis tidak lagi menjadi sebuah kewajiban melainkan sebuah kebutuhan hidup. Di Indonesia orang menulis sekadar keberaksaraan teknis, sekadar baca, tulis dan hitung. Padahal ada  yang disebut keberaksaraan fungsional, artinya seorang penulis  harus membeli buku sebanyak-banyaknya untuk bahan pendukung. Sebab dia menulis untuk dirinya, sesamanya, dan bidangnya.

Maman memaparkan, kalau kita tidak menulis, kita akan ditinggal sejarah, hilang semua pemikiran dan pandangan kita. Kuncinya, coba abadikan apa yang kamu rasakan dengan menulis. Menulis itu seksi karena kita bisa mengaktualisasikan diri, itu yang paling penting dari dunia menulis. Pertama, jangan takut dengan kecepatan dan ketepatan. Kedua,  kejujuran, kita harus menceritakan betul  ‘nyatanya’ dan  ‘katanya’. Jangan mencampuradukkan  fiksi dan fakta. “Kita harus mengevaluasi kebutuhan pembaca untuk meningkatkan jumlah pembaca itu sendiri,” kata Isjet menambahkan.

Terkait dengan menumbuhkan konsistensi dalam menulis, Yayat memberi saran, tulislah satu topik yang disukai secara konsisten, cintai topik itu. Kalau kita tidak mencintai topik itu, tidak akan ada feelnya. Selain itu, temukan satu subjek atau satu sosok yang dicintai, yang benar-benar menjadi fokus kita. Yayat membagikan pengalamannya, selesai dari meliput pertandingan MotoGP ia memperoleh kesempatan meliput Malaysia Fashion Week 2016. 

Dua topik yang jauh berbeda antara MotoGP dan fashion. Yayat tidak mempersoalkan kendala itu. Baginya hal itu adalah tantangan. Yayat menilai, kesempatan itu tidak akan diperoleh jika tidak konsisten dan aktif menulis. Yayat juga menyarankan Kompasianer untuk bergaul, membuat jaringan dengan banyak orang secara online dan offline. “Jangan menutup diri, ke depannya kita tidak tahu akan jadi seperti apa,” tutur Yayat.

Cintai dan fokus menulis topik yang kita sukai
Cintai dan fokus menulis topik yang kita sukai
Hati Nurani

Maman setuju dengan saran Yayat untuk bergaul secara offline dan online sebab sebaiknya kita tidak hanya gagah di dunia maya, juga di dunia nyata. Harus balance. Maman percaya, blogger sama dengan jurnalis, yakni  mengabarkan sesuatu. Persoalannya, menulis itu bahasa hati, tidak bisa dipaksa.  Silakan menjadi spesialis atau generalis.  Maman mencontohkan dirinya yang  merupakan penulis kriminal dengan  spesialisasi prevention crime dan perdamaian. Selain itu ia mampu menulis bermacam-macam hal. Artinya dua hal itu memiliki jalannya masing-masing. “Tidak perlu takut, bertanyalah ke hati nurani. Jangan menerima uang dengan mengorbankan hati nurani,” kata Maman.

Maman memberi saran kepada Kompasianer untuk mewajibkan diri menulis setiap harinya. Tuliskan hal yang terkenang atau terbayang walaupun hanya satu  atau dua alinea. Nanti akan bertemu jalannya sendiri untuk dilengkapi. Jangan memanjakan diri dengan mengatakan writers block. Maman menunjukkan dirinya yang bisa menulis satu buku dalam tempo tiga bulan. Namun ada novel yang diselesaikannya dalam waktu 22 tahun. Isjet menyambung, kita harus mewaspadai dampak dari tulisan. Sebab dampak itu akan berlangsung terus. “Kita harus membela dan mengadvokasi tulisan kita sendiri. Jangan membiarkan orang lain mengartikan tulisan kita dari sudut pandangnya,” ujar Isjet.

Terkait dunia pendidikan, Maman menilai masih banyak orang menulis opini tentang  pendidikan. Namun belum banyak orang yang membuat liputan khusus tentang dunia pendidikan. Masalah keberaksaraan, ketidakseimbangan, dan ketidaksamaan fasilitas di Jawa dan luar Jawa itu banyak sekali. Liputan tentang guru yang berprestasi atau guru yang baik jarang sekali. Padahal persoalan pendidikan itu bukan persoalan yang simple, sangat luas, dan  spektrumnya sangat banyak. Hal-hal semacam ini yang kadang-kadang tidak disuarakan. Orang tidak peduli. Seolah-olah dunia pendidikan hanya menyediakan infrastruktur, sekolah, perpustakaan, hingga komputer lalu selesai. Bagaimana dengan peningkatan kualitas guru. Hal itu tidak pernah dibahas  di media.

Untuk itu kita perlu banyak melakukan peliputan. Dengan demikian orang makin melek bahwa dana APBN 20% ke dunia pendidikan tidak selesai di situ saja. Penyalurannya sudah benar atau tidak, apakah sudah mencapai ke ujung desa. Terkait dengan hal itu, Maman mengisahkan ia masih menemukan guru di derah  terpencil hanya datang menjelang UN. Padahal modal dasar  membangun peradaban lewat dunia pendidikan. Jangan sampai kita ribut kelak akan mendapatkan bonus demografi. Jika kita gagal dalam dunia pendidikan, kita hanya akan memperoleh  bonus musibah, bonus bencana. Jumlah orang yang tidak terdidik semakin banyak,  justru itu yang lebih bahaya.

Kata kuncinya, bagaimana menjadikan dunia pendidikan dan buku sebagai kebutuhan, sebagai bagian yang tidak terlepaskan seperti kebutuhan akan makan dan minum. Ini yang harus dijaga. Level membaca itu ada tiga,  keberaksaraan teknis (hanya bisa baca, tulis, dan hitung), keberaksaraan fungsional (kalau sudah lulus kuliah orang  merasa sudah cukup. Padahal kita harus  terus-menerus membaca untuk meningkatkan kualifikasi dan kemampuan), dan keberaksaraan budaya (membaca sebagai bagian dari  kebudayaan). Jadi target untuk pemberantasan buta aksara jangan hanya di level pertama, harus sampai ke level ketiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun