Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LOMBAPK] Menyelamatkan Bukti Sejarah melalui Restorasi Film Tiga Dara

12 September 2016   00:20 Diperbarui: 12 September 2016   00:37 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Tiga Dara hasil restorasi dirilis pada 11 Agustus 2016 dan ditayangkan di 25 bioskop di seluruh Indonesia. Sumber foto: http://www.money.id

Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah). -Soekarno, pidato HUT RI 17 Agustus 1966-

Sutradara Usmar Ismail merupakan sosok penting dalam sejarah film Indonesia. Usmar,  pelopor perfilman Indonesia juga adalah  pendiri Perfini, studio film pertama di Indonesia pada awal 1950-an. Karya peraih gelar Bachelor of Arts jurusan perfilman dari Universitas Los Angeles  itu, diantaranya Darah dan Doa serta film musikal Indonesia pertama, Tiga Dara.

Film Tiga Dara yang tayang perdana pada 24 Agustus 1957 di Capitol Theatre, Jakarta tersebut  diproduksi menggunakan dana pemerintah sebesar Rp 2,5 juta. Film tersebut   pernah bertahan selama delapan pekan di bioskop dan menjadi film terlaris pada masanya. Selain itu berhasil meraih  penghargaan pada Festival Film Indonesia (FFI) 1960 untuk Tata Musik Terbaik oleh Sjaiful Bachri. Istimewanya alat-alat yang digunakan dalam produksi film Tiga Dara adalah  alat second di luar Indonesia yang tidak dipakai kemudian dibeli Perfini. Alat yang sederhana tersebut mampu menghasilkan suatu karya yang maksimal dengan shooting selama dua bulan.

FFI yang digelar November mendatang mengusung tema restorasi. Tema tersebut dinilai mampu  membangkitkan perfilman Indonesia dengan mengangkat kejayaan film-film Indonesia pada masa lalu. Film Tiga Dara menjadi film Indonesia pertama yang direstorasi. Film dengan teknologi 4K tersebut dirilis pada  11 Agustus 2016. Film tersebut ditayangkan di 25 bioskop di seluruh Indonesia, terdiri dari 20 bioskop grup XXI, tiga bioskop CGV Blitz, dan dua bioskop grup Cinemaxx. Film Indonesia lainnya yang direstorasi adalah Lewat Djam Malam yang diproduksi tahun 1954. Diputar ulang tahun 2012 dengan biaya sepenuhnya oleh pemerintah Singapura.

Saya berkesempatan menonton film Tiga Dara di XXI TIM. Film Tiga Dara mengisahkan tiga perempuan bersaudara, Nunung (diperankan Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya), dan Nenny (Indriati Iskak). Masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Nunung yang berusia 29 tahun sepeninggal sang ibu harus piawai mengurus rumah tangga serta dua adik, ayah (Hassan Sanusi) yang sibuk bekerja, dan nenek (Fifi Young). Sifatnya yang cenderung ketus terhadap lawan jenis sungguh berbeda dengan Nana.

Nana adalah perempuan yang supel dan mudah bergaul dengan pria. Ia kerap menghabiskan malam minggu dengan berdansa dan mengikuti acara anak muda. Nana sendiri telah memiliki seorang kekasih  bernama Herman (Bambang Irawan). Sementara Nenny yang masih bersekolah adalah sosok yang periang, banyak akal, dan menjadi penengah dua kakaknya.

Sang nenek resah karena Nunung tak kunjung mendapatkan jodoh. Sampai  suatu hari, Nunung tak sengaja ditabrak skuter yang dikendarai Toto (Rendra Karno). Nunung yang kesal bersikeras pulang ke rumah menggunakan becak. Toto yang sejak pandangan pertama jatuh hati pada Nunung mengikutinya dari belakang.  Diam-diam Nana menaruh hati pada  Toto. Ia memutuskan hubungan dengan Herman. Selanjutnya Herman dan Nenny menjadi dekat.

Singkat cerita, ayah meminta Nunung beristirahat di Bandung. Nenny dan ayah bersekongkol membuat skenario bahwa seolah-olah Nunung telah memperoleh tambatan hati. Toto murka. Sesampainya di Bandung, Toto mengungkapkan cintanya kepada Nunung dengan sebelumnya memutuskan Nana. Nana pun kembali bersama Herman.

Aura Lawas 

Saya yang lahir di era 1980-an tercengang menyaksikan kondisi tahun 1956 di film Tiga Dara. Serasa menonton film yang baru dibuat padahal film itu sudah berumur 60 tahun.  Selama menikmati film Tiga Dara saya seakan terlempar memasuki masa enam dekade silam. Film tersebut memberi gambaran kepada saya mengenai pergaulan di masa itu, pengaruh orangtua (dalam hal ini nenek) yang luar biasa besar dalam kehidupan anak dan cucu,  anak yang harus menuruti perkataan orangtua, gaya busana, tata rambut, hingga hubungan pria dan wanita. Bagaimana generasi masa kini melihat Jalan Panglima Polim tahun 1956 yang menjadi lokasi shooting itu masih sepi. Belum seramai dan sepadat sekarang.

Banyak hal yang bisa dipelajari dari film Tiga Dara yang penuh nuansa drama, lagu, dan tari. Perihal anak pertama yang harus bertanggung jawab mengelola keluarga. Bagaimana sang nenek, ayah, dan dua adiknya amat bergantung kepada Nunung. Selepas ia bertolak ke Bandung, kehidupan menjadi kacau. Tak ada yang memasak, menyiapkan kapur sirih nenek, hingga menyiapkan teh untuk ayah. Sementara dua adik  selama ini jarang bersentuhan dengan pekerjaan domestik.

Pada masa itu usia 29 tahun adalah usia yang rawan bagi seorang perempuan yang belum menikah. Ia harus mendapatkan jodoh. Sebab rata-rata lulus SMA perempuan sudah memasuki gerbang rumah tangga bersama dengan pria yang dicintainya atau pria yang dijodohkan orangtuanya. Selain itu perempuan harus terlihat apik di depan pria baik secara tampilan fisik sampai pakaian yang dikenakan. 

Hal-hal baik yang terjadi pada era itu sepatutnya diterapkan pada masa kini. Saya teringat pada 1990-an ketika hanya ada satu stasiun TV yang beroperasi dan belum banyak alternatif hiburan. Kami sekeluarga menonton TV bersama-sama, hal yang sulit terwujud pada saat ini. Pasalnya begitu banyak pilihan, seperti stasiun TV yang beragam, majalah, koran, hingga internet. 

Menonton film Tiga Dara juga membuat saya memperoleh wawasan baru mengenai pemain film lawas. Mengandalkan Google, saya memperoleh informasi mengenai mereka. Salah satunya artis Fifi Young yang bernama asli Tan Kiem Nio. Sebelum terjun ke layar perak, Fifi merupakan pemain teater yang tidak ada tandingannya pada saat itu. Ia banyak mengadakan pentas dengan Miss Riboet’s Orion ke berbagai daerah di Indonesia hingga Malaysia, Singapura, dan India. Fifi juga bergabung dengan Dardanella, kelompok sandiwara keliling terkenal Indonesia saat itu.

Teknologi

Bukan hal mudah menyelamatkan karya  Usmar Ismail yang terpendam puluhan tahun. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, langkah pertama yang dilakukan dalam restorasi adalah  restorasi fisik. Gulungan negatif film  yang robek, tergores, atau terputus harus diperbaiki, melakukan pemulihan kondisi fisik seluloid yang ternyata sudah mengalami vinegar syndrome atau kanker pada film. Selanjutnya tahap kedua, restorasi digital. Dari restorasi fisik ke restorasi digital menghabiskan waktu total 17 bulan. Karena Indonesia belum punya fasilitas, restorasi fisik dilakukan di Bologna, Italia. Bologna dipilih karena ada pengalaman saat merestorasi film Lewat Djam Malam. Sementara restorasi digital dan mastering 4K dilakukan di Indonesia. 

Film Tiga Dara yang sarat drama, lagu, dan tari. Sumber foto: http://balithisweek.com
Film Tiga Dara yang sarat drama, lagu, dan tari. Sumber foto: http://balithisweek.com
Eksekutif Produser SA Films Yoki Soufyan menyampaikan, latar belakang restorasi film Tiga Dara adalah kekhawatiran. Menurutnya, banyak hal yang bisa dipelajari dari sejarah. Kalau film ini tidak diselamatkan, kita akan kehilangan bukti sejarah. Apalagi generasi mendatang tidak akan punya bukti suasana Jakarta jaman dulu. Awalnya film Tiga Dara disimpan di Sinematek Indonesia. Kemudian ada inisiatif dari pemerintah Belanda untuk merestorasi film Tiga Dara di Amsterdam. Sayangnya terjadi krisis ekonomi tahun 2009 yang membuat rencana itu  tidak terwujud. 

Kalau film terlalu lama disimpan, akan merusak seluloid film. Restorasi film Tiga Dara ini unik karena dilakukan pihak swasta, dalam hal ini SA Films dengan dukungan pemerintah. Maka  masalah ekonomi harus dipertimbangkan. Selain itu harus dipikirkan aspek komersil. Film ini kalau diputar  akan mendatangkan berapa banyak penonton. Dukungan dari masyarakat Indonesia terhadap film yang direstorasi sangat diperlukan. Bagaimana caranya? Cukup dengan menonton. Saat jumlah penonton banyak,  pihak bioskop akan menambah jumlah layar. Semakin banyak penonton, semakin banyak uang yang masuk. Memberi apresiasi kepada film itu penting karena produksi  film itu melewati   proses yang panjang. Karena itu hargailah apapun bentuk  film.

Menyelamatkan film Tiga Dara dengan biaya Rp 3 miliar, bagaimana perhitungannya secara bisnis. Restorasi seharusnya menjadi upaya terakhir. Utamanya bangsa Indonesia memiliki tempat penyimpanan film yang baik. Eropa dan Amerika lebih beruntung karena kelembapannya tidak seperti di Indonesia yang memiliki iklim tropis. Selain itu sesuai standar sehingga film tidak rusak. Dengan demikian saat  restorasi tidak mengeluarkan  biaya dan waktu. Bandingkan dengan restorasi film di Perancis yang membutuhkan dana sekitar Rp 4 miliar. Mengapa biaya restorasi Indonesia lebih murah? Pasalnya orang Indonesia dikirim ke Italia untuk membantu proses pengerjaan restorasi fisik. Selanjutnya restorasi digital dilakukan di Indonesia. Dengan demikian cost bisa ditekan dengan efisien. 

Film Tiga Dara dibersihkan satu per satu secara manual dengan pelan-pelan dan sangat hati-hati. Proses pembersihan fisiknya memakan waktu delapan bulan. Setelah pembersihan manual, filmnya dicuci sampai kotorannya lepas lalu dibersihkan lagi. Pencuciannya sendiri sampai tiga kali.Setelah filmnya kira-kira tidak bisa dibersihkan lagi, discan, dan diresolusi 4K dengan pixel dan kedalaman warna setinggi mungkin. Kemudian  filenya dilihat lagi, kerusakan yang tidak bisa dibersihkan secara fisik dibersihkan secara digital. Di sinilah teknologi digital 4K memungkinkan terjadi.

 

Pembelajaran

Bagaimana mungkin film lawas yang usianya 60 tahun  masih bisa dinikmati dengan kualitas yang luar biasa? Memugar, merestorasi, dan merawat film baik secara audio dan visual apalagi di negeri tropis seperti Indonesia bukan perkara mudah. Teknologi dan ketekunan membuat film tempo dulu sekarang bisa dinikmati lagi. Produksi Film Negara (PFN) mencatat sejarah perfilman Indonesia  dimulai tahun 1926. Sementara di PFN banyak aset yang rusak dan hilang Menyedihkan! Seperti film pertama yang diproduksi di Indonesia (dirilis tahun 1926), Loetoeng Kasaroeng yang tidak pernah ditonton dan tidak ada kesempatan menonton. Referensinya tidak dalam keadaan utuh sehingga generasi saat ini tidak bisa mempelajari sumber inspirasi masa lalu  dalam keadaan yang baik. 

Mengapa negara lain concern terhadap arsip film dan restorasi? Pertama,  dari film lama bisa dilihat  sejarah teknis pembuatan film itu sendiri. Dari film garapan Usmar Ismail bisa dilihat tuturan cerita,  movement, sampai lighting yang tergolong  sangat maju pada era tersebut di lingkup Asia. Kedua, film merupakan dokumentasi peradaban. Kita mempelajari suatu masa, bagaimana cara berpikir, bagaimana menyelesaikan persoalan, hingga bagaimana  melihat dunia. 

Menjadi suatu hal yang menarik karena belakangan ini banyak anak muda yang tertarik melakukan konservasi atau kerja menggunakan seluloid, seperti Lab Laba-Laba. Mereka secara sederhana mencoba memperbaiki ruang penyimpanan. Indonesia sebagai  konsumen menjadikan pengetahuan analog  mati bersamaan dengan migrasi dari analog ke digital. Oleh karena itu butuh keputusan politik dari pemerintah. 

Film adalah bagian dari sejarah bangsa. Pemerintah harus care bahwa ini adalah persoalan strategis, persoalan penting. Harus diupayakan terus restorasi  tidak kalah pentingnya dengan pendidikan. Ke depan bayangkan apa yang dihasilkan di era digital ini akan menjadi situs, artefak. Perlu upaya bahkan storage yang lebih besar pastinya. Kalau itu bisa dipastikan, kita mampu menjadi bangsa yang sadar dan siap menghadapi kompetisi global. Restorasi merupakan bagian dari merawat kebudayaan, peradaban, dan identitas. 

Dalam kaidah restorasi internasional, membentuk sesuatu yang baru itu bukan restorasi, melainkan  revisi atau membuat karya baru. Hal itulah yang dicoba dijaga. Dasar kuratorial film itu layak direstorasi adalah  teknologi seluloid dengan  batas 100 tahun. Dengan demikian isi dari rekaman seluloid itu masih bisa diakses sampai sekarang. Indonesia  kehilangan banyak  film tahun 1980  padahal tahun itu boomingnya  film Indonesia. Perlu  ada prioritas film-film  yang harus diselamatkan. Paling tidak film yang mewakili jamannya, baik itu pencapaian teknis maupun film yang paling representatif menceritakan konteks jamannya. 

Menginspirasi

Film Tiga Dara menginspirasi sutradara Nia Dinata  membuat film Ini Kisah Tiga Darayang tayang di bioskop pada 1 September 2016. Mengangkat tema tiga perempuan yang belum menikah di tengah masyarakat Indonesia. Nia  ingin menunjukkan sebuah fakta unik mengenai stigma wanita single. Padahal dalam kenyataannya banyak wanita single yang menikmati kehidupannya. Tak hanya itu, ia ingin mengubah pandangan masyarakat mengenai konsep cantik yang banyak ditunjukkan di televisi yang dianggap mengganggu. 

Film Ini Kisah Tiga Dara terinspirasi dari film Tiga Dara. Sumber foto: http://www.storibriti.com
Film Ini Kisah Tiga Dara terinspirasi dari film Tiga Dara. Sumber foto: http://www.storibriti.com
Banyak acara televisi yang memperlihatkan wanita cantik itu harus memiliki kulit putih dan rambut panjang lurus. Padahal konsep cantik wanita Indonesia yang sesungguhnya adalah berkulit  sawo matang. Wanita Indonesia harus bangga akan itu. Nia mengajak Shanty, Tara Basro, dan Tatyana Akman yang berkulit eksotik dengan tujuan  menampilkan stereotipe wanita Indonesia yang sesungguhnya. Film lain yang terinspirasi dari Tiga Dara adalah  Tiga Dara Mencari Cinta yang disutradari Djon Saptohadi. Film tersebut dirilis pada 1980. 

Rencananya ada restorasi audio soundtrack filmTiga Dara. Namun audio tersebut tidak berhasil ditemukan. Maka diputuskan membuat album aransemen ulang lagu orisinal dari film Tiga Dara. Album tersebut dirilis bertepatan dengan Konser 60 tahun Tiga Dara pada 11 Agustus 2016. Lagu-lagu pada album aransemen ulang dibawakan oleh penyanyi yang cukup dikenal oleh kaum muda, seperti  Danilla,  Indra Aziz, hingga Monita. Uniknya dalam lagu Pilih Menantu, Indra Aziz yang berduet dengan Danilla menyenandungkan bermacam-macam jenis suara. Seakan ia ingin menghadirkan beberapa orang bernyanyi. Selain itu Bonita, Aimee Saras, dan Aprilia Apsari (WhiteShoes&The Couples Company) ditunjuk menyanyikan lagu Tiga Dara.  

Aransemen ditangani Indra Perkasa dan diiringiOrkes Gadgadsvara dengan proses pengerjaan selama 1,5 bulan. Diharapkan penyanyi yang sudah cukup dikenal itu mampu menjadi jembatan sehingga anak muda jaman sekarang dapat mengenal lagu yang pernah dibawakan pada 1956 serta kekayaan musiknya. Tentunya secara nada hingga lirik puitis yang mengena di hati, sungguh berbeda dengan lagu jaman sekarang. Irama Melayu mendominasi musik 1950-an. Seperti sosok Sjaiful Bachri yang menggubah lagu-lagu pada filmTiga Dara. Tentu namanya terdengar asing oleh kaum muda saat ini, kini sudah menjadi sejarah. Berkat album aransemen ulang ini, kita diingatkan kembali akan profil Sjaiful Bachri, pemimpin Orkes Studio Jakarta RRI. 

 

Mari bernyanyi lagu nan gembira

Jangan bersedih hati mari bertamasya

Bukan ku sedih bukan ku kecewa

Hatiku rasa pilu ditinggalkan dara

Mari kita bertamasya pergi luar kota

Untuk obat hati lara karna dimabuk asmara

Marilah abang (adik) mari menyanyi

Lihatlah alam permai jangan susah hati

-Lagu Gembira, komposer Sjaiful Bachri, diaransemen dan dibawakan oleh Deredia-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun