Bagaimana mungkin film lawas yang usianya 60 tahun  masih bisa dinikmati dengan kualitas yang luar biasa? Memugar, merestorasi, dan merawat film baik secara audio dan visual apalagi di negeri tropis seperti Indonesia bukan perkara mudah. Teknologi dan ketekunan membuat film tempo dulu sekarang bisa dinikmati lagi. Produksi Film Negara (PFN) mencatat sejarah perfilman Indonesia  dimulai tahun 1926. Sementara di PFN banyak aset yang rusak dan hilang Menyedihkan! Seperti film pertama yang diproduksi di Indonesia (dirilis tahun 1926), Loetoeng Kasaroeng yang tidak pernah ditonton dan tidak ada kesempatan menonton. Referensinya tidak dalam keadaan utuh sehingga generasi saat ini tidak bisa mempelajari sumber inspirasi masa lalu  dalam keadaan yang baik.Â
Mengapa negara lain concern terhadap arsip film dan restorasi? Pertama,  dari film lama bisa dilihat  sejarah teknis pembuatan film itu sendiri. Dari film garapan Usmar Ismail bisa dilihat tuturan cerita,  movement, sampai lighting yang tergolong  sangat maju pada era tersebut di lingkup Asia. Kedua, film merupakan dokumentasi peradaban. Kita mempelajari suatu masa, bagaimana cara berpikir, bagaimana menyelesaikan persoalan, hingga bagaimana  melihat dunia.Â
Menjadi suatu hal yang menarik karena belakangan ini banyak anak muda yang tertarik melakukan konservasi atau kerja menggunakan seluloid, seperti Lab Laba-Laba. Mereka secara sederhana mencoba memperbaiki ruang penyimpanan. Indonesia sebagai  konsumen menjadikan pengetahuan analog  mati bersamaan dengan migrasi dari analog ke digital. Oleh karena itu butuh keputusan politik dari pemerintah.Â
Film adalah bagian dari sejarah bangsa. Pemerintah harus care bahwa ini adalah persoalan strategis, persoalan penting. Harus diupayakan terus restorasi  tidak kalah pentingnya dengan pendidikan. Ke depan bayangkan apa yang dihasilkan di era digital ini akan menjadi situs, artefak. Perlu upaya bahkan storage yang lebih besar pastinya. Kalau itu bisa dipastikan, kita mampu menjadi bangsa yang sadar dan siap menghadapi kompetisi global. Restorasi merupakan bagian dari merawat kebudayaan, peradaban, dan identitas.Â
Dalam kaidah restorasi internasional, membentuk sesuatu yang baru itu bukan restorasi, melainkan  revisi atau membuat karya baru. Hal itulah yang dicoba dijaga. Dasar kuratorial film itu layak direstorasi adalah  teknologi seluloid dengan  batas 100 tahun. Dengan demikian isi dari rekaman seluloid itu masih bisa diakses sampai sekarang. Indonesia  kehilangan banyak  film tahun 1980  padahal tahun itu boomingnya  film Indonesia. Perlu  ada prioritas film-film  yang harus diselamatkan. Paling tidak film yang mewakili jamannya, baik itu pencapaian teknis maupun film yang paling representatif menceritakan konteks jamannya.Â
Menginspirasi
Film Tiga Dara menginspirasi sutradara Nia Dinata  membuat film Ini Kisah Tiga Darayang tayang di bioskop pada 1 September 2016. Mengangkat tema tiga perempuan yang belum menikah di tengah masyarakat Indonesia. Nia  ingin menunjukkan sebuah fakta unik mengenai stigma wanita single. Padahal dalam kenyataannya banyak wanita single yang menikmati kehidupannya. Tak hanya itu, ia ingin mengubah pandangan masyarakat mengenai konsep cantik yang banyak ditunjukkan di televisi yang dianggap mengganggu.Â
Rencananya ada restorasi audio soundtrack filmTiga Dara. Namun audio tersebut tidak berhasil ditemukan. Maka diputuskan membuat album aransemen ulang lagu orisinal dari film Tiga Dara. Album tersebut dirilis bertepatan dengan Konser 60 tahun Tiga Dara pada 11 Agustus 2016. Lagu-lagu pada album aransemen ulang dibawakan oleh penyanyi yang cukup dikenal oleh kaum muda, seperti  Danilla,  Indra Aziz, hingga Monita. Uniknya dalam lagu Pilih Menantu, Indra Aziz yang berduet dengan Danilla menyenandungkan bermacam-macam jenis suara. Seakan ia ingin menghadirkan beberapa orang bernyanyi. Selain itu Bonita, Aimee Saras, dan Aprilia Apsari (WhiteShoes&The Couples Company) ditunjuk menyanyikan lagu Tiga Dara. Â
Aransemen ditangani Indra Perkasa dan diiringiOrkes Gadgadsvara dengan proses pengerjaan selama 1,5 bulan. Diharapkan penyanyi yang sudah cukup dikenal itu mampu menjadi jembatan sehingga anak muda jaman sekarang dapat mengenal lagu yang pernah dibawakan pada 1956 serta kekayaan musiknya. Tentunya secara nada hingga lirik puitis yang mengena di hati, sungguh berbeda dengan lagu jaman sekarang. Irama Melayu mendominasi musik 1950-an. Seperti sosok Sjaiful Bachri yang menggubah lagu-lagu pada filmTiga Dara. Tentu namanya terdengar asing oleh kaum muda saat ini, kini sudah menjadi sejarah. Berkat album aransemen ulang ini, kita diingatkan kembali akan profil Sjaiful Bachri, pemimpin Orkes Studio Jakarta RRI.Â
Â