KOMPETISI FITRAH
Lebaran merupakan kenangan indah buat saya sejak kecil. Malam menjelang hari kemenangan saya harus melakukan inventarisasi nama-nama yang akan saya kunjungi, urutan pertama adalah nenek, kakek, budhe, pakdhe dan seterusnya.
Saya harus membuat strategi, jeli menempatkan urutan, mencari momentum yang tepat, karena esok adalah hari kompetisi dengan kakak dan sepupu yang lain, siapa yang mendapat fitrah (ang pao) paling banyak sebagai tanda “orang yang paling disayang”.
Dan setiap tahun saya selalu mendapatkan paling banyak, mungkin karena saya “ragil” atau mungkin saya orang yang beruntung, hhhmm ya mungkin karena nenek, budhe, tante inginnya mencium pipi saya dan dampaknya fitrahnya ditambah hehehe (salah satu strategiku)
Saya tidak tahu asal usulnya bahwa angpao di masa lebaran buat anak-anak namanya fitrah, padahal asal kata fitrah (fithrah) dari akar kata fathara-fathran, berarti membelah, merobek, terbuka dan tumbuh. Jika dikaitkan dengan Idul Fitri berarti ‘id al-fithrah, kembali ke sifat bawaan kita sejak lahir, yaitu bersih dan suci, setelah sebulan penuh ditempa berbagai amalan Ramadan.
Tahun ini Idul Fitri bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, yang setiap pendidik selalu mengingat ajaran Ki Hadjar Dewantara "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani".
Dapat diartikan "di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan". Jika saya mengkaitkan dua peristiwa besar ini maka saya mendapatkan benang merahnya, yaitu membelah, merobek ke aku-an sebagai manusia yang selama ini egois. Seorang pendidik yang merasa pintar, selama ini diagungkan karena satu-satunya sebagai sumber pembelajaran, sekarang telah dirobek, dibelah oleh kemajuan teknologi dan mengubah budaya pembelajaran.
Kesadaran ini hanya dapat diperoleh ketika pendidik menyucikan dirinya dalam bahasa lain mau melakukan unlearn, yaitu mengosongkan pengetahuan, kepercayaan, kebiasaan, refleksi dan lupakan yang sudah diketahui.
Unlearning akan mengosongkan isi pikiran kita sebersih mungkin sebersih kanvas kosong. Mindset “tahu semuanya” telah membutakan mata, hati, dan pikiran kita mengenai hal baru yang tidak kita ketahui.
Setelah mengosongkan hati dan pikirannya, maka langkah berikutnya terbuka untuk menerima yang baru atau learn yaitu belajar lagi sebagaimana kita belum tahu, memiliki keyakinan bahwa yang kita pelajari bermanfaat buat masa depan kita.