Mohon tunggu...
Coach Pramudianto
Coach Pramudianto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Human Idea Practitioner

Mentransformasi cara berpikir untuk menemukan kebahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kompetisi Fitrah

1 Mei 2022   22:12 Diperbarui: 1 Mei 2022   22:18 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah melalui canva

KOMPETISI FITRAH

Lebaran merupakan kenangan indah buat saya sejak kecil. Malam menjelang hari kemenangan saya harus melakukan inventarisasi nama-nama yang akan saya kunjungi, urutan pertama adalah nenek, kakek, budhe, pakdhe dan seterusnya. 

Saya harus membuat strategi, jeli menempatkan urutan, mencari momentum yang tepat, karena esok adalah hari kompetisi dengan kakak dan sepupu yang lain, siapa yang mendapat fitrah (ang pao) paling banyak sebagai tanda “orang yang paling disayang”. 

Dan setiap tahun saya selalu mendapatkan paling banyak, mungkin karena saya “ragil” atau mungkin saya orang yang beruntung, hhhmm ya mungkin karena nenek, budhe, tante inginnya mencium pipi saya dan dampaknya fitrahnya ditambah hehehe (salah satu strategiku)

Saya tidak tahu asal usulnya bahwa angpao di masa lebaran buat anak-anak namanya fitrah, padahal asal kata fitrah (fithrah)  dari akar kata fathara-fathran, berarti membelah, merobek, terbuka dan tumbuh. Jika dikaitkan dengan Idul Fitri berarti ‘id al-fithrah, kembali ke sifat bawaan kita sejak lahir, yaitu bersih dan suci, setelah sebulan penuh ditempa berbagai amalan Ramadan.

Tahun ini Idul Fitri bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, yang setiap pendidik selalu mengingat ajaran Ki Hadjar Dewantara "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani". 

Dapat diartikan "di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan".  Jika saya mengkaitkan dua peristiwa besar ini maka saya mendapatkan benang merahnya, yaitu membelah, merobek ke aku-an sebagai manusia yang selama ini egois. Seorang pendidik yang merasa pintar, selama ini diagungkan karena satu-satunya sebagai sumber pembelajaran, sekarang telah dirobek, dibelah oleh kemajuan teknologi dan mengubah budaya pembelajaran. 

Kesadaran ini hanya dapat diperoleh ketika pendidik menyucikan dirinya dalam bahasa lain mau melakukan unlearn, yaitu mengosongkan pengetahuan, kepercayaan, kebiasaan, refleksi dan lupakan yang sudah diketahui. 

Unlearning akan mengosongkan isi pikiran kita sebersih mungkin sebersih kanvas kosong. Mindset “tahu semuanya” telah membutakan mata, hati, dan pikiran kita mengenai hal baru yang tidak kita ketahui.

Setelah mengosongkan hati dan pikirannya, maka langkah berikutnya terbuka untuk menerima yang baru atau learn  yaitu belajar lagi sebagaimana kita belum tahu, memiliki keyakinan bahwa yang kita pelajari bermanfaat buat masa depan kita. 

Diperlukan pengorbanan dan semangat. Kesedian belajar akan membuat diri kita bertumbuh dengan cara  relearn yaitu menjelajahi, bereksperimen hal-hal baru, cepat gagal-cepat belajar. Jaga rasa penasaran (keingintahuan) kita agar cepat belajar sehingga melampaui tujuan, dan mampu berselancar di atas perubahan.

Proses Unlearn, Learn dan Relearn membawa para guru masuk pada level baru yaitu mampu menjadi contoh (teladan). Seorang guru harus bertindak dengan jujur dan tulus – Guru memberikan proses pembelajaran bukan sekedar text book, benar-benar apa yang diajarkan dihayati, dipraktekkan sehingga saat mendidik tampak pada keceriaan wajah, gesture (bahasa tubuh) dan suara, konten (isi) pada saat berkomunikasi. 

Seorang guru berperan sebagai sahabat bagi peserta didik, sehingga mereka berjalan bersama (memberi semangat), saling menantang untuk berkreativitas dan menjadi team work yang hebat (mendorong). Dorongan terhadap peserta didik berbentuk tindakan-tindakan yang konkret.

Sebagai seorang pendidik yang telah menjalankan proses tersebut dampaknya mendapatkan fitrah banyak yang berupa pengetahuan, keterampilan dan perubahan perilaku, sehingga guru memiliki karakter melayani sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang baik, karena mereka menjadi teladan bagi para peserta didiknya. 

Guru mampu menjalankan “walk the talk”. Sederhananya, walk the talk berarti melakukan atau berbuat sesuai dengan perkataan. Kalau dalam bahasa sehari-hari, mungkin frasa ini lebih dekat maknanya dengan “nggak ngomong doang“. "Walk The Talk" memiliki arti 1) Membuktikan suatu perkataan dengan tindakan. 2) Menggantikan kata dengan tindakan. 3) Melakukan apa yang kita ajarkan.

Hari ini adalah hari kemenangan, Idul Fitri, kita kembali ke jati diri kita yang paling orisinal dan genuine. Kita kembali kepada keluhuran hati nurani, kembali ke dalam suasana batin paling luhur dan lurus. 

Kita mulai berlomba yaitu berkontribusi sebanyak mungkin bagi kehidupan ini dengan keotentikan diri kita, membangun dunia pendidikan agar guru mampu menuntun segenap kekuatan kodrat yang dimiliki anak, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Akhir kata selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1443 H, Mohon maaf lahir bathin. Dan para pendidik di seluruh tanah air, selamat Hari Pendidikan Nasional, terus berkarya demi kebahagiaan dan keselamatan peserta didik.

Dr. Pramudianto, PCC

CVO & Founder Human Idea, Inspiring Coach

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun