Mohon tunggu...
Coach Pramudianto
Coach Pramudianto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Human Idea Practitioner

Mentransformasi cara berpikir untuk menemukan kebahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Sungsang

1 Februari 2022   22:40 Diperbarui: 1 Februari 2022   22:48 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDIDIKAN SUNGSANG

(UPSIDE DOWN EDUCATION)

Pada bulan Desember 2021 saya menjadi narasumber dengan peserta 170 para Kepala Sekolah terbaik dan kreatif di Indonesia. Salah satu peserta bertanya "Coach Pram, menurut Anda apakah Profil Pelajar Pancasila bisa diterapkan di sekolah?" saya jawab "Tidak Bisa!".

Latar belakang saya mengatakan hal tersebut karena Mas Menteri tidak memiliki pengalaman berhasil dalam menerapkan budaya atau nilai dalam sebuah komunitas besar, sehingga segala petunjuk pelaksanaan yang ada tidak menyentuh para pelaku di sekolah. Dia mampu menggerakkan banyak orang untuk bisa menjadi mitra bisnis, namun tidak mengedukasi mitra dalam menerapkan budaya dan nilai yang bersinggungan dengan peraturan dan orang lain. Begitu banyak sopir ojek yang melanggar lalu lintas, karena ketidakmampuan sentuhan manusia yang dia jalankan sebagai seorang pemimpin.

Lantas bagaimana menurut Coach Pram?

Langkah Pertama: Profil Pelajar Pancasila harus diturunkan ke dalam profil pelajar sekolah masing-masing (kontekstual). Kepala Sekolah dan Guru harus memiliki sikap empati pada peserta didik dan masyarakatnya. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab setiap sekolah adalah "nilai-nilai apa yang diperlukan peserta didik untuk bisa berkontribusi dalam kehidupan masyarakat?" Setiap daerah pasti berbeda karena memiliki latar belakang budaya dan sosial yang berbeda. Ini adalah dasar setiap sekolah untuk menurunkan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila secara kontekstual. Temukan, olah dan kristalisasikan untuk menjadi Profil Pelajar di sekolah masing-masing.

Langkah Kedua: Membuat profil Guru. Berdasarkan profil siswa maka diperlukan guru yang seperti apa sehingga terwujud alumni yang diharapkan? Apakah guru penggerak sudah menjawab tantangan seperti hal tersebut? Kemampuan Mas Menteri dalam membangun jaringan sangat piawai, namun tidak tepat digunakan dalam dunia pendidikan dengan cara membuka lowongan guru penggerak. Seolah-olah guru ditarik menjadi mitra bisnis dan diberi pelatihan selama 9 bulan. Semua guru di Indonesia menjadi tanggungjawab Kemendikbudristek, yang harus diberi pembekalan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dalam menghadapi tantangan zaman (hal ini menyangkut keadilan seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 45). Jadi bukan mereka diberi kebebasan menjadi mitra sebagai guru penggerak (kecuali Mas Menteri akan memakai kekuatan jumlah mitra Gojek dan Guru Penggerak untuk bargaining position politik 2024). Kejar tayang Diklat Guru Penggerak hanya sebuah proyek besar, karena membangun sebuah sistem pendidikan membutuhkan waktu dan ekosistem (baca buku human idea dan check point)

Pertanyaan saya, "Apa yang menyebabkan Mas Menteri tidak percaya pada perguruan tinggi yang mencetak calon-calon guru di Indonesia?" Materi Guru Penggerak bisa diserahkan kepada dunia pendidikan untuk menjadi mata kuliah pilihan bagi mereka yang akan meneruskan kariernya sebagai seorang guru. Atau Diklat Guru Penggerak di selenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang berkualitas, tidak harus Fakultas Pendidikan dan setiap guru bisa memilih Perguruan Tinggi terdekat. (Mas Menteri bisa belajar keberhasilan dan kegagalan Ditjen Diksi - Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan DUDI dalam penyelenggaraan CEO untuk Kepala SMK)

Langkah ketiga: Membuat profil Kepala Sekolah. Sangat disayangkan jika informasi ini benar tentang dihapusnya Diklat Cakep dan Cawas yang diadakan LPPKSPS hanya diganti dengan persyaratan Guru Penggerak. Meski banyak proses yang dilakukan tidak sempurna dan banyak hal yang kadaluwarsa, namun Diklat Cakep dan Cawas itu masih dibutuhkan oleh para calon pejabat sekolah. Sekali lagi "mengapa Mas Menteri tidak percaya dengan dunia Pendidikan Tinggi?" Kemendikbudristek cukup bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana dari Perguruan Tinggi yang berkualitas agar membuka program M.Pd atau M.M yang mata kuliahnya berkaitan dengan leadership dan managerial sekolah. Sekali lagi sebaiknya tidak mencari mitra baru hanya untuk meningkatkan bargaining position politik 2024.

Langkah keempat: Suara sumbang yang pernah saya dengar dari para ahli di Senayan, "gantikan saja para pelatih (widyaiswara) dengan mitra yang lain karena mereka tidak berkualitas". Kesalahan fatal yang dilakukan oleh kementerian tidak hanya kemendikbudristek, bahwa para ASN yang bermasalah, tidak berkinerja dengan baik, tidak memiliki kualifikasi sebagai pelatih namun menjelang pensiun dipindahkan menjadi widyaiswara. Tidak semuanya salah pernyataan para ahli terkait kualitas widyaiswara (kualitas di sini bukan hanya teknis, justru terkait mindset) karena saya menemukan diberbagai kementerian sama, anak-anak muda ASN jika dikirim ke Diklat sangat tidak antusias, kecuali kebutuhan "sertifikat". Pilihlah Guru-guru yang hebat menjadi pelatih (widyaiswara), maka para pendidik pun akan menjadi hebat (pelatih yang hebat bukan karena pernah menjadi pejabat, bukan karena gelar akademis, tetapi mereka yang mau unlearn terus menerus).

Saya hanya membayangkan bahwa semua orang akan menjadi pendidik di mana dia berada, membangun ekosistem yang tidak berdasarkan kasta (guru penggerak) tetapi semua orang akan menjadi penggerak di lingkungannya, tugas dan tanggung jawab kemendikbudristek hanya memfasilitasi. Demikian juga program Merdeka Belajar sangat bagus dan menohok dunia Perguruan Tinggi yang tidak menghasilkan Link & Match bagi dunia usaha. Justru Mas Menteri harus membenahi akar masalah dalam dunia Pendidikan Tinggi di Indonesia untuk semakin berkualitas bukan berdasarkan proyek. Sebagai seorang praktisi saya diminta untuk menjadi dosen dan untuk mendapatkan jabatan fungsional harus mengikuti Pelatihan Teknik Instruksional (PEKERTI) selama 5 hari dan memperoleh sertifikat dengan menunggu sampai 1,5 bulan. Ketika saya bekerja di Perusahaan hal-hal yang sifatnya teknis seperti PEKERTI bisa diajarkan melalui petunjuk instruksional dengan menggunakan teknologi dan cukup belajar 30-60 menit. Model-model proyek seperti inilah membuat mental Guru dan Dosen hanya mengejar sertifikat, seperti maraknya seminar-seminar yang menjanjikan sertifikat dengan jumlah sekian JP asal membayar, seminar belum dimulai peserta minta presensi setelah itu tutup kamera, pelatihan belum dimulai namun sertifikat sudah harus diterbitkan. Mental yang diciptakan oleh Kemendikbudristek adalah mental sertifikat dan hal itu tidak menunjukan keselarasan dengan kemampuan dan growth mindset khususnya para pendidik. Hal ini bukan salah para Guru dan Dosen, tetapi sistem yang diciptakan kemendikbudristek dan tidak tahu cara mengukur kinerja mereka, ubahlah sistem remunerasi dengan pay for performance bukan hanya pay for person apalagi penggajian berdasarkan lamanya bekerja, kenaikan pangkat berdasarkan banyaknya sertifikat yang diunggah.

Persoalan fundamental pendidik di Indonesia adalah kurangnya membaca buku, padahal "buku adalah sebuah film yang terletak pada fikiran seorang pembaca. Itulah mengapa kita pergi menonton film dan berkata "oh filmnya bagus" (Paulo Coelho)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun