Yang kita ketahui, pendidikan sekolah, kita hanya sebagai pelaksana aturan bukan mengkritisi aturan yang dibuat. Jam pelajaran bertambah plus kegiatan di luar sekolah, anak dikondisikan sibuk kegiatan tanpa adanya kegiatan pribadi dan sekarang dikondisikan dengan paparan gawai, sekolah pun mengizinkan semua anak pegang gawai pribadi padahal gawai diperuntukkan untuk usia tertentu. Waktu senggang sibuk bermain gawai sendiri-sendiri, tidak bermain secara bebas dan berimajinasi.
Lembaga pendidikan sekolah yang dianggap sakral dapat menimbulkan kepatuhan pada otoritas yang bersifat dogmatis yang artinya segala aturan sekolah adalah perintah yang tidak boleh dibantah. Padahal lembaga pendidikan sekolah adalah pelayan publik dimana siswa dan orangtua berhak dan punya peran dalam mengawasi jalannya sekolah, ada dana BOS juga yang perlu orangtua berhak tahu. Orangtua juga tidak gratis menyekolahkan anak di sekolah negeri, orang tua membayar pajak melalui fasilitas umum termasuk sekolah.
Tanpa adanya pemikiran kritis dan hanya kepatuhan akut akan menimbulkan fanatisme dan kemunafikan. Cara berpikir anak dibentuk untuk patuh dan diam saja ketika ada yang salah, membiarkan kesalahan terjadi di depan mata, menganggap lumrah kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan oleh otoritas lembaga sekolah sedangkan anak hanya dianggap sebagai objek patuh yang diperuntukkan oleh pihak otoritas yang punya hak mengatur dan menghukum. Akhirnya anak menormalisasi aturan otoritas yang punya kewenangan sebagai lembaga sakral untuk melakukan penyimpangan, anak menganggap wajar akan penyimpangan dan membentuk pola pikir pada anak untuk melakukan penyimpangan ketika mempunyai kewenangan.
Penerapan asal patuh tanpa tahu fungsinya dan tanpa melibatkan daya pikir serta mematuhi apa saja demi keinginan yang punya otoritas menyebabkan daya pikir kritis lumpuh. Kepatuhan demi menyenangkan tuannya, lebih baik diam saja biar aman karena takut dihukum, lebih memilih patuh takut dihukum daripada mengungkap fakta dan kebenaran sehingga kesewenang wenangan otoritas semakin subur. Anak tidak belajar berani karena benar tapi belajar memilih yang salah karena takut, anak tidak belajar pada kejujuran dan keterbukaan untuk membongkar kebohongan tapi belajar pada kebohongan demi menutupi penyimpangan.
Diam dan patuh sebagai bentuk kebiasaan pendidikan sekolah. Loyalitas terbentuk karena sikap menyenangkan “tuan” nya. Kita cenderung takut menanyakan aturan yang dibuat meskipun aturan itu bertentangan dengan hak, aturan otoriter bercirikan adanya ketidak kesepakatan bersama antara kedua belah pihak, sengaja menyeragamkan kesadaran berpikir orang agar tidak ada yang tidak setuju, semua menjadi kompromi apapun yang diputuskan tanpa mempertanyakan. Apa bentuk aplikasi nyata berpikir kritis dalam kurikulum merdeka jika kritik saja dibungkam?
Perlunya sikap kritis sejatinya untuk semuanya, masyarakat, orangtua dan anak, terutama pada guru sebagai pendidik. Setiap insan yang terlibat dalam suatu sistem pendidikan merupakan korban sekaligus menjadi pelaku jika tidak kritis. Akibatnya, guru akan menekan siswa atau orang tua menekan anak. Nantinya saat terjun di masyarakat, ketika anak dewasa juga akan menekan orang lain, karena pola asuh yang bersifat menyenangkan “tuan” nya. Jika tidak mempunyai kesadaran akan pada hal yang memang seharusnya dikritisi, maka gambaran pendidikan bukan pada memerdekakan manusia tapi pada saling injak sana injak sini demi menyenangkan yang punya kuasa. Siklus yang demikian akan terulang dan terulang lagi dengan pola sama jika tidak ada perubahan yang komprehensif dan mendalam.
Apa beda pikiran manusia dengan pikiran hewan yang selalu patuh? Sapi juga patuh. Hal ini dapat dianalogikan seperti kerumunan sapi yang mudah digiring dan kasih makan banyak tanpa diketahui oleh para sapi bahwa mereka akan berakhir disembelih. Apabila perintah dan aturan diminta untuk mencebur sumur, maka akan mudah sekali semua yang patuh ikut mencebur sumur. Mereka ternyata tidak tahu bahwa kepatuhan tersebut membahayakan dirinya karena tak menggunakan daya pikirnya. Jadi, apa bedanya siswa dengan sapi jika nurut-nurut saja? Apakah memang tujuannya menciptakan sapi perah nantinya? Manusia dibekali akal, pikiran dan perasaan untuk speak up jika ada sesuatu yang salah. Pendidikan seharusnya memerdekakan manusia, bukan membelenggu kemerdekaannya melalui kepatuhan pada otoritas yang anti kritik. Jadi, sekolah menciptakan sapi atau memerdekakan manusia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H