Kepatuhan seharusnya tidak bersifat mutlak atau absolut tapi bisa dipertanyakan atau diragukan atas maksud tujuan pemberlakuan kepatuhan tersebut. Namun anak seolah tak dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan, lebih banyak memilih diam karena takut bertanya. Kepatuhan menjadi indoktrinasi pada sebuah sistem pendidikan sekolah, yang patuh adalah yang baik, tapi patuh apa dulu? Apakah patuh selalu baik dan yang membangkang adalah yang buruk? Apakah kepatuhan demi kepentingan bersama atau patuh demi menyenangkan yang punya hirarki lebih tinggi sebagai subjek kuat dan mengindahkan kepentingan hirarki yang bawah sebagai objek lemah?
Tanpa adanya berpikir kritis tidak ada bedanya dengan benda mati. Benda mati kalau dilempar, akan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pelempar sesuai dengan ukuran arah lemparannya. Sedangkan manusia hakikatnya adalah makhluk yang berpikir karena ketika ada yang menggerakkan, dia bisa menolak atau menerima apakah dia mau atau tidak, tidak hanya menurut saja artinya dia berpikir, pikirannya hidup.
Misalnya, kepatuhan pada lampu lalu lintas, adalah aturan yang harus dipatuhi bersama. Jika daya pikir digunakan, anak yang tahu aturan lalu lintas pasti tahu konsekuensi jika melanggar. Aturan tersebut wajib dipatuhi bersama karena ada alasan logis atas nama keselamatan. Kalau kepatuhan pada otoritas, apakah tidak boleh untuk dipertanyakan? Apakah salah jika tidak setuju? Kenapa kepatuhan otoritas menjadi sakral?
Sekolah hanya peduli pada kepatuhan siswa pada otoritas daripada memberi kebebasan berpikir dan berpendapat. Siswa seolah tak punya hak untuk menyampaikan pendapatnya. Jika kepatuhan pada otoritas dijadikan semacam bentuk pendidikan pada sekolah, tidak akan ada anak yang kritis dan bersuara ketika ada yang salah dengan kebijakan aturan sekolah. Kepatuhan siswa tanpa daya kritis membuat sekolah akan merasa aman jikalau suatu saat melakukan penyimpangan. Misal pada beberapa peristiwa seperti siswa SMA yang berani mengungkap kasus korupsi dan melaporkan kasus pungli di sekolah berujung dikeluarkan oleh kepala sekolah karena dianggap melanggar kedisiplinan sekolah, selain itu ada wali murid yang kritis melaporkan pungli, mendapatkan ancaman akan diusir di dari desa. Berpikir kritis dalam hal ini justru dianggap berbahaya dan mengancam otoritas.
Aturan otoritas sekolah menjadi cenderung bersifat subjektif dan eksklusif bukan objektif dan inklusif, sehingga aturan dengan menakut nakuti dan memberi hukuman menjadi status quo yang bertujuan agar anak mudah dikontrol dan menurut. Pendidikan sekolah seharusnya bersifat musyawarah, transparan, gotong royong bukan terkesan bersifat tertutup. Tidak ada etika dan estetika dalam proses belajar selain esensi kepatuhan dan hukuman yang tidak rasional dalam sistem pendidikan sekolah sehingga yang hanya bertujuan menciptakan makhluk patuh bukan manusia merdeka. Etika adalah memahami kondisi anak, mematuhi aturan karena kesepakatan kedua belah pihak secara berimbang tanpa ada paksaan untuk mematuhi aturan. Estetika adalah keindahan dalam belajar, yang berhubungan dengan pikiran dan perasaan. Dalam suatu aturan pada dasarnya adalah demi kepentingan dan kenyamanan bersama, tidak ada pihak yang dirugikan.
Bentuk kepatuhan berbentuk teknis di sekolah seperti ketentuan potongan rambut, kelengkapan seragam, mengumpulkan banyak tugas dari berbagai mata pelajaran, dan bentuk kepatuhan teknis lainnya sering digunakan sekolah sebagai bentuk kedisiplinan. Sekolah sering mengutamakan kedisiplinan teknis daripada memahami makna pendidikan sebenarnya. Bentuk kedisiplinan teknis dianggap sebagai bentuk “pendidikan”. Apa hubungan kelengkapan seragam, sepatu hitam, rambut gondrong dengan pendidikan? Sebenarnya apa fungsi aturan tersebut? Di sekolah, selama ini aturan dibuat dengan tanpa mempertanyakan fungsi dari kepatuhan yang diterapkan kepada anak. Patuh dalam kelengkapan berseragam, apakah menyeragamkan pikiran juga? Kenapa kelengkapan seragam dan kerapian rambut lebih esensial daripada mendorong daya pikir kritis, atau daripada penanganan bullying? Bullying tak terlihat bisa terjadi kepada korban yang takut bicara, tidak berani melawan karena hirarki yang tidak setara alias hirarki lebih tinggi yang berhak melakukan apa saja meski bertentangan dengan hak manusia.
Pendidikan sejatinya berhubungan dengan keberagaman dan kreativitas anak. Aturan dibuat bukan berdasarkan fungsi dan kepentingan bersama tapi hanya sebagai fungsi untuk penyeragaman dan ketertundukan pada satu otoritas. Anak sudah terbiasa mematuhi aturan tanpa banyak bertanya. Anak terbiasa patuh tanpa menggunakan daya pikir yang kritis yang akhirnya menjadikan manusia patuh tanpa berpikir. Jika anak dipaksa patuh, terkadang anak dapat melanggarnya, sehingga anak akan dianggap “nakal” dan tidak taat aturan.
Sekolah hanya menerima anak patuh, memberi sanksi menghukum atau mengeluarkan anak dari sekolah tanpa mempelajari kenapa anak menjadi nakal, bodoh hingga tanpa ada pertanggungjawaban terhadap kenakalan anak. Sekolah hanya untuk tempat anak pintar dan sukses versi sekolah. Bila anak patuh maka anak dianggap menjadi anak “baik dan patuh” yang disukai oleh pihak otoritas.
Aturan hanya menerapkan pembiasaan kepatuhan dan hukuman, anak tidak tahu fungsi aturan tersebut. Aturan dibuat hanya berisi kepatuhan dan hukuman. Anak tidak bisa membedakan kepatuhan yang punya fungsi atau tidak. Kepatuhan pada kepentingan yang punya otoritas seringkali dikamuflase sebagai kepentingan pendidikan sehingga secara otomatis mudah untuk menciptakan kepatuhan pada anak. Hanya mengedepankan kepatuhan, tidak ada lagi yang bertanya, yang berakhir berhenti untuk bertanya. Bertanya menjadi hal tabu dan menakutkan. Ketakutan akan dihukum kalau tidak mematuhi aturan, yang sebenarnya hanya menerapkan kepatuhan pada kekuatan satu otoritas bukan pada fungsi dan kepentingan bersama.
Anak dinilai berdasarkan nilaimu berapa, prestasimu apa, hafalan pelajaran seberapa banyak, pialamu berapa bukan berdasar dorongan atas munculnya pertanyaan pada diri individu tentang apakah itu? Mengapa demikian? Bagaimana bisa terjadi? dan berbagai pertanyaan lainnya tentang sesuatu. Mereka hanya seperti insan robot untuk menghafal, dan mendapatkan prestasi. Jika hanya sekolah hanya tempat transfer pengetahuan dan menghafal bukan tempat berpikir, apa bedanya dengan robot AI yang bisa melakukan hafalan dan semua itu? Kepatuhan menjadi fungsi utama di sekolah pada anak daripada penggunaan daya pikir kritis anak. Tidak mendorong untuk bertanya tapi lebih ke bertanya yang bersifat akademis saja, yang bersifat jika berbuat baik dan bertanya akan mendapat reward, bukan berbuat baik dan kemauan bertanya dari dalam dirinya sendiri yang tumbuh dari pengaruh internal tapi karena melakukan sesuatu karena adanya pengaruh perintah eksternal atas dasar reward dan punishment.
Anak yang hanya patuh tanpa melibatkan daya pikirnya tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Kepatuhan tanpa mendiskusikan apa arti kepatuhan, menjelaskan maksud dari kepatuhan tersebut menyebabkan anak tidak bisa berpikir sendiri, tidak mempunyai kemandirian berpikir, tidak mendorong siswa untuk berpikir, padahal ada proses daya pikirnya sebelum melakukan sesuatu. Oleh karena kepatuhan yang tidak melibatkan daya pikir semacam ini, apa jadinya jika daya pikirnya tidak digunakan?
Dualitas moral, yang terkuat yang mempunyai hak dan keputusan, sedangkan yang lemah yang patuh. Kepatuhan dan hukuman yang tidak adil, memberikan hukuman yang tidak berimbang. Jika pihak penerima aturan yang patuh wajib dihukum jika melanggar, lantas apakah pihak otoritas yang melanggar hukum juga diberikan sanksi? Standar ganda pada suatu sistem bahwa yang punya posisi, yang terkuat yang punya hak mengatur dan memberi keputusan dan perintah.
Murid seharusnya dipandang sebagai subjek bukan objek, subjek dalam hal ini artinya siswa didorong lebih banyak mengatur dirinya sendiri dengan dibimbing daripada banyak diperintah lebih banyak didorong berpartisipasi aktif sesuai keunikan masing-masing, dan lain sebagainya. Guru hanya sebagai fasilitator bukan subjek, memfasilitasi kebutuhan murid, sedangkan murid bukan objek yang hanya diisi pengetahuan dan perintah.
Bentuk kepatuhan lainnya adalah anak dituntut mengikuti standar nilai semua pelajaran yang sudah ditetapkan, bila tidak sesuai standar nilai yang ditetapkan, anak dianggap bodoh sehingga timbul manipulasi nilai dari guru agar murid dapat lulus demi menjaga nama baik sekolah. Anak dituntut menguasai semua mata pelajaran beserta tugas-tugasnya, tapi apakah guru juga dituntut menguasai dan mengerjakan semua mata pelajaran? Sekedar bentuk pemaksaan dan perintah tanpa bimbingan dan arahan, tanpa melihat kemampuan potensi sang anak secara individu.
Sekolah tak mau tahu akan bakat anak karena tidak ada nilai pamor di sekolah secara akademis, bahkan potensi individu dihambat melalui tuntutan rutinitas dan tugas sekolah sehingga anak tak punya waktu dalam mengembangkan potensi uniknya. Potensi unik yang berbeda akan dianggap bodoh di sekolah, banyak waktu hanya sekedar mengerjakan tugas demi pemenuhan nilai saja tapi belum tentu anak paham, akhirnya murid juga memanipulasi tugas dengan cara mencontek atau sekedar copy paste atau guru memanipulasi dengan mengarang nilai. Rasionalkah bentuk pendidikan seperti ini?
Anak tidak boleh terlambat, sekolah harus on time, tapi tidak peduli akan jiwa pikiran tenaga yang sudah terkuras habis dalam tugas-tugas, tidak mau tahu atau mencari tahu dengan kehidupan pribadi sang anak yang mungkin ada masalah di rumah atau di sekolah, anak nakal sudah pasti dicap buruk, lebih mudah menindak anak yang nakal atau tidak patuh daripada menanyakan penyebab anak menjadi anak nakal atau tidak patuh.
Kasus guru yang menghukum siswa squat jump sampai 100 kali menyebabkan siswa meninggal dunia, guru membakar sepatu siswa yang tidak berwarna hitam, anak membunuh orangtua karena ditekan untuk selalu berprestasi di sekolah dan berbagai kasus dalam pendidikan sekolah sebenarnya adalah hasil pola asuh pendidikan kita yang bisa menimpa saja di kemudian hari yang akan menjadi bom waktu. Bibit-bibit pola asuh pendidikan yang secara acak karena dibiarkan begitu saja perlahan lahan dalam waktu tertentu bisa meledak jika tak disadari mulai penyimpangan dari anak, orangtua maupun guru. Lebih baik mencegah, ditindak pada hal yang memang dinilai tidak berkenan apalagi menyangkut mental atau fisik anak.
Bentuk kepatuhan sudah menjadi status quo, kepatuhan sebagai syarat pendidikan, yang melanggar dan tidak patuh dianggap anak yang pantas dihukum. Hukuman yang berimbang kepada anak yang tidak patuh, contoh terlambat diberi konsekuensi pulang lebih lama atau piket kelas, bukan dengan cara hukuman yang tidak sesuai yang malah bersifat merusak bukan mendisiplinkan. Boleh saja memberi hukuman sesuai konsekuensi apa yang dilakukan namun bukan hanya fokus pada hukuman yang dijadikan dasar untuk efek jera tapi jangan sampai melupakan esensi pendidikan bahwa pendidikan berbasis kepatuhan dan hukuman adalah seperti bentukan polisi yang menindak kriminal bukan pada pendidikan yang memanusiakan manusia.
Kepatuhan bukan atas dasar kemauan anak sendiri secara alami dan ketertiban yang rasional tapi faktor paksaan dari eksternal. Bertindak berdasarkan perintah bukan pada kesadaran kemandirian anak. Pendidikan sekedar bentuk kepatuhan, paksaan dan hukuman yang tidak berimbang dan rasional. Pendidikan seperti ini tak elak menimbulkan kerusuhan dalam jiwa seperti penyimpangan sosial, korupsi, dan bentuk kriminalitas lainnya yang tercermin pada bentuk masyarakat kita hari ini. Jika sekolah atau guru yang berbuat curang dan tidak disiplin atau sekolah berbuat tindakan korupsi atau pungli, apakah ada transparansi dan tindakan responsif? Sekolah sebagai alat pendidikan yang sudah diakui dan dilembagakan rentan terhindar sanksi hukum dan aman terlindungi untuk berkuasa di bawah naungan atas nama “pendidikan”, mereka punya kuasa untuk menghukum dan memerintah yang mana secara signifikan telah banyak menentang hak kemerdekaan anak, dan sekolah dianggap lazim jika terdapat kesalahan dalam aturannya.
Yang kita ketahui, pendidikan sekolah, kita hanya sebagai pelaksana aturan bukan mengkritisi aturan yang dibuat. Jam pelajaran bertambah plus kegiatan di luar sekolah, anak dikondisikan sibuk kegiatan tanpa adanya kegiatan pribadi dan sekarang dikondisikan dengan paparan gawai, sekolah pun mengizinkan semua anak pegang gawai pribadi padahal gawai diperuntukkan untuk usia tertentu. Waktu senggang sibuk bermain gawai sendiri-sendiri, tidak bermain secara bebas dan berimajinasi.
Lembaga pendidikan sekolah yang dianggap sakral dapat menimbulkan kepatuhan pada otoritas yang bersifat dogmatis yang artinya segala aturan sekolah adalah perintah yang tidak boleh dibantah. Padahal lembaga pendidikan sekolah adalah pelayan publik dimana siswa dan orangtua berhak dan punya peran dalam mengawasi jalannya sekolah, ada dana BOS juga yang perlu orangtua berhak tahu. Orangtua juga tidak gratis menyekolahkan anak di sekolah negeri, orang tua membayar pajak melalui fasilitas umum termasuk sekolah.
Tanpa adanya pemikiran kritis dan hanya kepatuhan akut akan menimbulkan fanatisme dan kemunafikan. Cara berpikir anak dibentuk untuk patuh dan diam saja ketika ada yang salah, membiarkan kesalahan terjadi di depan mata, menganggap lumrah kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan oleh otoritas lembaga sekolah sedangkan anak hanya dianggap sebagai objek patuh yang diperuntukkan oleh pihak otoritas yang punya hak mengatur dan menghukum. Akhirnya anak menormalisasi aturan otoritas yang punya kewenangan sebagai lembaga sakral untuk melakukan penyimpangan, anak menganggap wajar akan penyimpangan dan membentuk pola pikir pada anak untuk melakukan penyimpangan ketika mempunyai kewenangan.
Penerapan asal patuh tanpa tahu fungsinya dan tanpa melibatkan daya pikir serta mematuhi apa saja demi keinginan yang punya otoritas menyebabkan daya pikir kritis lumpuh. Kepatuhan demi menyenangkan tuannya, lebih baik diam saja biar aman karena takut dihukum, lebih memilih patuh takut dihukum daripada mengungkap fakta dan kebenaran sehingga kesewenang wenangan otoritas semakin subur. Anak tidak belajar berani karena benar tapi belajar memilih yang salah karena takut, anak tidak belajar pada kejujuran dan keterbukaan untuk membongkar kebohongan tapi belajar pada kebohongan demi menutupi penyimpangan.
Diam dan patuh sebagai bentuk kebiasaan pendidikan sekolah. Loyalitas terbentuk karena sikap menyenangkan “tuan” nya. Kita cenderung takut menanyakan aturan yang dibuat meskipun aturan itu bertentangan dengan hak, aturan otoriter bercirikan adanya ketidak kesepakatan bersama antara kedua belah pihak, sengaja menyeragamkan kesadaran berpikir orang agar tidak ada yang tidak setuju, semua menjadi kompromi apapun yang diputuskan tanpa mempertanyakan. Apa bentuk aplikasi nyata berpikir kritis dalam kurikulum merdeka jika kritik saja dibungkam?
Perlunya sikap kritis sejatinya untuk semuanya, masyarakat, orangtua dan anak, terutama pada guru sebagai pendidik. Setiap insan yang terlibat dalam suatu sistem pendidikan merupakan korban sekaligus menjadi pelaku jika tidak kritis. Akibatnya, guru akan menekan siswa atau orang tua menekan anak. Nantinya saat terjun di masyarakat, ketika anak dewasa juga akan menekan orang lain, karena pola asuh yang bersifat menyenangkan “tuan” nya. Jika tidak mempunyai kesadaran akan pada hal yang memang seharusnya dikritisi, maka gambaran pendidikan bukan pada memerdekakan manusia tapi pada saling injak sana injak sini demi menyenangkan yang punya kuasa. Siklus yang demikian akan terulang dan terulang lagi dengan pola sama jika tidak ada perubahan yang komprehensif dan mendalam.
Apa beda pikiran manusia dengan pikiran hewan yang selalu patuh? Sapi juga patuh. Hal ini dapat dianalogikan seperti kerumunan sapi yang mudah digiring dan kasih makan banyak tanpa diketahui oleh para sapi bahwa mereka akan berakhir disembelih. Apabila perintah dan aturan diminta untuk mencebur sumur, maka akan mudah sekali semua yang patuh ikut mencebur sumur. Mereka ternyata tidak tahu bahwa kepatuhan tersebut membahayakan dirinya karena tak menggunakan daya pikirnya. Jadi, apa bedanya siswa dengan sapi jika nurut-nurut saja? Apakah memang tujuannya menciptakan sapi perah nantinya? Manusia dibekali akal, pikiran dan perasaan untuk speak up jika ada sesuatu yang salah. Pendidikan seharusnya memerdekakan manusia, bukan membelenggu kemerdekaannya melalui kepatuhan pada otoritas yang anti kritik. Jadi, sekolah menciptakan sapi atau memerdekakan manusia?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI