Anak dinilai berdasarkan nilaimu berapa, prestasimu apa, hafalan pelajaran seberapa banyak, pialamu berapa bukan berdasar dorongan atas munculnya pertanyaan pada diri individu tentang apakah itu? Mengapa demikian? Bagaimana bisa terjadi? dan berbagai pertanyaan lainnya tentang sesuatu. Mereka hanya seperti insan robot untuk menghafal, dan mendapatkan prestasi. Jika hanya sekolah hanya tempat transfer pengetahuan dan menghafal bukan tempat berpikir, apa bedanya dengan robot AI yang bisa melakukan hafalan dan semua itu? Kepatuhan menjadi fungsi utama di sekolah pada anak daripada penggunaan daya pikir kritis anak. Tidak mendorong untuk bertanya tapi lebih ke bertanya yang bersifat akademis saja, yang bersifat jika berbuat baik dan bertanya akan mendapat reward, bukan berbuat baik dan kemauan bertanya dari dalam dirinya sendiri yang tumbuh dari pengaruh internal tapi karena melakukan sesuatu karena adanya pengaruh perintah eksternal atas dasar reward dan punishment.
Anak yang hanya patuh tanpa melibatkan daya pikirnya tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Kepatuhan tanpa mendiskusikan apa arti kepatuhan, menjelaskan maksud dari kepatuhan tersebut menyebabkan anak tidak bisa berpikir sendiri, tidak mempunyai kemandirian berpikir, tidak mendorong siswa untuk berpikir, padahal ada proses daya pikirnya sebelum melakukan sesuatu. Oleh karena kepatuhan yang tidak melibatkan daya pikir semacam ini, apa jadinya jika daya pikirnya tidak digunakan?
Dualitas moral, yang terkuat yang mempunyai hak dan keputusan, sedangkan yang lemah yang patuh. Kepatuhan dan hukuman yang tidak adil, memberikan hukuman yang tidak berimbang. Jika pihak penerima aturan yang patuh wajib dihukum jika melanggar, lantas apakah pihak otoritas yang melanggar hukum juga diberikan sanksi? Standar ganda pada suatu sistem bahwa yang punya posisi, yang terkuat yang punya hak mengatur dan memberi keputusan dan perintah.
Murid seharusnya dipandang sebagai subjek bukan objek, subjek dalam hal ini artinya siswa didorong lebih banyak mengatur dirinya sendiri dengan dibimbing daripada banyak diperintah lebih banyak didorong berpartisipasi aktif sesuai keunikan masing-masing, dan lain sebagainya. Guru hanya sebagai fasilitator bukan subjek, memfasilitasi kebutuhan murid, sedangkan murid bukan objek yang hanya diisi pengetahuan dan perintah.
Bentuk kepatuhan lainnya adalah anak dituntut mengikuti standar nilai semua pelajaran yang sudah ditetapkan, bila tidak sesuai standar nilai yang ditetapkan, anak dianggap bodoh sehingga timbul manipulasi nilai dari guru agar murid dapat lulus demi menjaga nama baik sekolah. Anak dituntut menguasai semua mata pelajaran beserta tugas-tugasnya, tapi apakah guru juga dituntut menguasai dan mengerjakan semua mata pelajaran? Sekedar bentuk pemaksaan dan perintah tanpa bimbingan dan arahan, tanpa melihat kemampuan potensi sang anak secara individu.
Sekolah tak mau tahu akan bakat anak karena tidak ada nilai pamor di sekolah secara akademis, bahkan potensi individu dihambat melalui tuntutan rutinitas dan tugas sekolah sehingga anak tak punya waktu dalam mengembangkan potensi uniknya. Potensi unik yang berbeda akan dianggap bodoh di sekolah, banyak waktu hanya sekedar mengerjakan tugas demi pemenuhan nilai saja tapi belum tentu anak paham, akhirnya murid juga memanipulasi tugas dengan cara mencontek atau sekedar copy paste atau guru memanipulasi dengan mengarang nilai. Rasionalkah bentuk pendidikan seperti ini?
Anak tidak boleh terlambat, sekolah harus on time, tapi tidak peduli akan jiwa pikiran tenaga yang sudah terkuras habis dalam tugas-tugas, tidak mau tahu atau mencari tahu dengan kehidupan pribadi sang anak yang mungkin ada masalah di rumah atau di sekolah, anak nakal sudah pasti dicap buruk, lebih mudah menindak anak yang nakal atau tidak patuh daripada menanyakan penyebab anak menjadi anak nakal atau tidak patuh.
Kasus guru yang menghukum siswa squat jump sampai 100 kali menyebabkan siswa meninggal dunia, guru membakar sepatu siswa yang tidak berwarna hitam, anak membunuh orangtua karena ditekan untuk selalu berprestasi di sekolah dan berbagai kasus dalam pendidikan sekolah sebenarnya adalah hasil pola asuh pendidikan kita yang bisa menimpa saja di kemudian hari yang akan menjadi bom waktu. Bibit-bibit pola asuh pendidikan yang secara acak karena dibiarkan begitu saja perlahan lahan dalam waktu tertentu bisa meledak jika tak disadari mulai penyimpangan dari anak, orangtua maupun guru. Lebih baik mencegah, ditindak pada hal yang memang dinilai tidak berkenan apalagi menyangkut mental atau fisik anak.
Bentuk kepatuhan sudah menjadi status quo, kepatuhan sebagai syarat pendidikan, yang melanggar dan tidak patuh dianggap anak yang pantas dihukum. Hukuman yang berimbang kepada anak yang tidak patuh, contoh terlambat diberi konsekuensi pulang lebih lama atau piket kelas, bukan dengan cara hukuman yang tidak sesuai yang malah bersifat merusak bukan mendisiplinkan. Boleh saja memberi hukuman sesuai konsekuensi apa yang dilakukan namun bukan hanya fokus pada hukuman yang dijadikan dasar untuk efek jera tapi jangan sampai melupakan esensi pendidikan bahwa pendidikan berbasis kepatuhan dan hukuman adalah seperti bentukan polisi yang menindak kriminal bukan pada pendidikan yang memanusiakan manusia.
Kepatuhan bukan atas dasar kemauan anak sendiri secara alami dan ketertiban yang rasional tapi faktor paksaan dari eksternal. Bertindak berdasarkan perintah bukan pada kesadaran kemandirian anak. Pendidikan sekedar bentuk kepatuhan, paksaan dan hukuman yang tidak berimbang dan rasional. Pendidikan seperti ini tak elak menimbulkan kerusuhan dalam jiwa seperti penyimpangan sosial, korupsi, dan bentuk kriminalitas lainnya yang tercermin pada bentuk masyarakat kita hari ini. Jika sekolah atau guru yang berbuat curang dan tidak disiplin atau sekolah berbuat tindakan korupsi atau pungli, apakah ada transparansi dan tindakan responsif? Sekolah sebagai alat pendidikan yang sudah diakui dan dilembagakan rentan terhindar sanksi hukum dan aman terlindungi untuk berkuasa di bawah naungan atas nama “pendidikan”, mereka punya kuasa untuk menghukum dan memerintah yang mana secara signifikan telah banyak menentang hak kemerdekaan anak, dan sekolah dianggap lazim jika terdapat kesalahan dalam aturannya.