Kini pendidikan tidak lagi mendiskreditkan perempuan, perempuan bisa mengakses pendidikan luas dan bisa menjadi profesi apapun yang dikehendaki. Mau itu dokter, guru, polwan, dsb. Profesi seharusnya tidak hanya sekedar profesi tapi yang berdampak pada masyarakat.
Pekerjaan seharusnya yang mendidik, memuliakan, dan membebaskan perempuan dari belenggu penindasan. Ibu rumah tangga atau yang berkarir di luar seharusnya melihat bahwa apapun profesi mereka, profesi yang membuat perempuan terdidik dan berkembang secara holistik bagi dari segi sosial, ekonomi, politik, dsb.
Terdidik tidak berarti harus sarjana atau sekolah tinggi formal, paling tidak perempuan tahu dan mau belajar tentang pendidikan, keterampilan hidup, dan mengetahui dunia luar tidak hanya urusan domestik dan lingkup kerja kantor.
Banyak hal di dunia yang mungkin bisa diperbaiki perempuan dari hal kecil-kecil untuk diri sendiri dan sekitar. Jika perempuan hanya terjebak dengan rutinitas yang membuat terlatih karena rutinitas tapi ternyata tidak terdidik yaitu tidak tahu menahu soal dunia luar, hanya dunia lingkup kerja dan rumah saja, maka mungkin perempuan bisa menjadi buta dan tuli. Buta tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi pada diri sendiri dan dunia, dan tuli tidak bisa mendengar suara ketimpangan.
Jika perempuan hanya terlatih bekerja seperti robot tanpa adanya kebutuhan batin dan jiwa (terdidik) sebagai pekerja karir atau rumah tangga, akan kosong hanya sekedar bekerja tidak mengetahui dengan kebijakan dunia luar, padahal secara tidak sadar kebijakan luar bisa berdampak kaum perempuan secara personal.
Apabila ada perempuan sekedar bekerja hingga kecapekan mengerjakan pekerjaan fisik di rumah dan masih mengandalkan uang pada suami. Apabila sudah berkarir di luar dan bekerja keras dari pagi sampai malam tapi gaji tidak seberapa tapi menguras mental dan fisik dengan hati dan jiwa kosong. Pikiran dan fisik perempuan seolah terkuras dan terbengkalai, hanya bekerja saja.
Apabila ada perempuan sekedar hidup berfoya-foya, hanya bekerja menghabiskan uang, tanpa ada rasa peduli nasib sesamanya, padahal mungkin saja uang yang dipakai uang hasil korupsi.
Apabila hanya sekedar bekerja pada orang lain yang penting dapat uang tapi kerja asal-asalan alias gaji buta, seperti memberi pelayanan yang buruk pada masyarakat, karena sering bermain HP serta tidak ada peningkatan kinerja karena sudah nyaman digaji, dsb.
Pekerjaan yang hanya memperkaya diri, terlihat kaya, meng-influence orang lain hanya soal harta, terutama di sosial media, yang sekarang terjadi pamer harta menjadi sebuah pekerjaan influencer, sehingga yang melihat terlihat miskin.
Seperti Kutipan Buya Hamka, "Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja.” Apakah kutipan tersebut tampaknya bisa dikaitkan dengan pekerjaan perempuan bila hanya sekedar bekerja dan hidup?
Menyandang profesi tapi ternyata ujung-ujungnya korupsi, merusak lingkungan, pelayanan terhadap masyarakat buruk, memeras uang rakyat miskin, narkoba, fisik dan mental sering jatuh sakit, menipu orang, dsb. Apakah demikian yang diharapkan profesi untuk perempuan? Tentu saja tidak, bukan?
Perempuan (tidak memandang ibu rumah tangga atau wanita karir) seharusnya diberi kesempatan untuk berkembang, ada apresiasi bagi perempuan, diberi ruang untuk berkarya, minimal bisa memberdayakan diri sendiri, tidak diperbudak oleh orang lain, mandiri tidak bergantung pada orang lain tapi lebih ke arah kolaborasi, mengaktualisasi diri, dan bermanfaat bagi sesama.
Pekerjaan bagi perempuan bukan soal yang penting dapat kerja dan dapat uang, bukan? Tapi bagaimana pekerjaan itu ada jiwa, menjadi manusia seutuhnya, dimana pekerjaan adalah bagian dari hidup, seharusnya bukan sebagai beban atau ajang status sosial tapi sebagai ibadah dan wujud rasa syukur. Tidak memandang atau mendewakan suatu profesi apapun, tergantung manfaat dan amanah profesi yang diemban.
Petani desa yang bekerja di sawah, para petani ibu-ibu yang berjalan atau naik sepeda menuju sawah, mereka berjalan dengan tertib baris satu per satu dan tidak ada yang berjalan berdampingan karena sadar diri akan memakan jalan orang, menghargai hasil panen dan tidak serakah dengan apa yang diambil, mereka mengambil dan menanam kembali apa yang ditanam sehingga apa yang dikerjakan menjadi berkah. Ironisnya, kebanyakan dari mereka buta huruf dan ada yang tidak mengenyam pendidikan formal tapi mengapa bisa mencerminkan perilaku yang memanusiakan manusia dan menghargai alam.
Ada juga penjual tua yang berjualan di pasar, apabila pembeli kehabisan bahan makanan, maka si penjual memberikan info ke penjual lain. Dalam hal ini berarti mereka saling mengenal antar penjual, punya empati tidak hanya mementingkan keuntungan dagangannya sendiri, memberi rezeki pada orang lain supaya barang dagangannya juga ikut terjual, dalam hal ini adalah gotong royong atau kolaborasi.
Ada juga perempuan yang mempunyai idealisme, ketika pekerjaan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, seperti seorang guru taman kanak kanak, yang mengajar anak TK, melihat sistem pendidikan anak dengan memaksa anak harus bisa menulis, membaca dan berhitung terpaksa mengundurkan diri dari profesi guru karena tidak tega dan bertolak dengan batin, bahwa anak tidak sepatutnya mendapatkan model pendidikan seperti itu.
Ada juga perempuan yang menjabat tertinggi kepala di sebuah lembaga atau perusahaan milik negara, terlibat kasus korupsi tapi tetap bangga menjalankan tugasnya karena pekerjaannya nyaman dan aman dimana kasus dan hukuman dianggap ringan.
Jajaran beberapa gambaran perempuan Indonesia yang sukses saat ini, seperti ibu Susi Pudjiastuti, Anne avantie, Mira Lesmana dan masih banyak perempuan Indonesia sukses yang lain di bidangnya masing-masing. Mereka punya karya dan memberdayakan sesama tidak untuk diri sendiri.
Kalau perempuan sudah punya pekerjaan sendiri, mungkin tidak pusing dan dilema dengan ibu rumah tangga atau karir karena punya otoritas sendiri, menjalani peran ganda dengan fleksibel yaitu berkarir dan menjalani peran Ibu sekaligus, namun tentunya hal ini punya tantangan tersendiri, tidak semudah membalikkan telapak tangan dan butuh perjuangan.
Jika wanita punya usaha sendiri, mungkin ada yang sudah punya modal warisan dari orangtua, ada juga yang mulai dari nol, meski sudah punya usaha sendiri dan sukses besar, tidak lupalah untuk mensejahterakan kaum perempuan dan juga tidak bossy (suka memerintah), tidak menjatuhkan sesama perempuan tapi memberdayakan, supaya perempuan juga bisa berdaya, mandiri, dan apalagi perempuan bisa menghasilkan uang sendiri nantinya.
Bagaimana jika menengok rakyat kecil seperti perjuangan Marsinah dulu yang nasibnya menjadi buruh yang menuntut haknya yang nasibnya berakhir tragis hanya karena menyuarakan hak kaum buruh pekerja, banyak wanita berkarir yang bekerja pada orang lain yang dia sendiri tidak punya kuasa, karena diperintah oleh orang lain, meski bekerja, seyogyanya pekerjaan apapun, kalau menjadi buruh, meski gaji besar atau kecil, harus memanusiakan perempuan, gaji sepadan dengan apa yang dikerjakan. Jadi perempuan tidak hanya kerja seperti sapi perah, tapi dia harus tahu akan hak-haknya, tidak diam, harus berani bersuara dan bertindak untuk memperjuangkan kemanusiaan.
Perempuan butuh bersuara dan didengar bukan sekedar patuh, hanya menjadi bergeming dan tak acuh. Sebuah negara tak akan ada jika tanpa kehadiran dan peran perempuan. Sebaliknya dengan adanya perempuan, negara bisa hancur, jika peran perempuan hanya berkutat hanya masalah pokok yang sempit, perempuan harus aware bahwa ada isu isu sosial di luar sana yang perlu peran perempuan demi mensejahterakan nasib perempuan.
Perempuan dan laki-laki saling bekerja sama untuk saling melengkapi bukan saling menyaingi satu sama lain, perempuan dan laki-laki sejajar. Sesama perempuan seharusnya tidak mudah menghakimi dan menjatuhkan satu sama lain tapi saling membantu, banyak dunia kerja atau lingkup keluarga yang punya sifat penjilat, feodal, dsb. Sesama kaum perempuan seharusnya memang sejajar tidak ada yang lebih tinggi, tidak memandang kaya atau miskin, ras, jabatan, pangkat, dsb.
Pasti sering mendengar istilah “yang berkuasa, yang punya uang”, perempuan yang berkarir di ranah politik atau yang punya kuasa, seharusnya peduli akan nasib rakyat terutama perempuan, tidak melupakan akan hak perempuan, negara juga bisa hancur karena perempuan jika perempuan memiliki dan melanggengkan sifat patriarki. Sifat patriarki umumnya dimiliki laki-laki, perempuan bukan tidak mungkin bisa ikut serta dalam membudayakan sifat patriarki yakni menindas kaum laki-laki dan perempuan. Alangkah baiknya apabila perempuan bisa berperan dalam pendidikan dan mengentaskan kemiskinan, dimana saat ini kesenjangan semakin mengerucut, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.
Bukankah perjuangan pahlawan perempuan Indonesia, seperti Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dsb apa yang mereka kerjakan adalah sebagai bentuk perlawanan. Apakah pekerjaan perempuan baik berkarir atau ibu rumah tangga mungkin saat ini hanya akan membentuk perempuan menjadi terasing dari dunia sendiri dan luar sehingga perempuan menjadi diam dan apatis?
Pekerjaan memang mencari uang tapi kita harus aware dengan hak dan isu sosial khususnya perempuan, dimana kaum perempuan belum sepenuhnya merdeka. Banyak masalah di luar sana yang memerlukan peran perempuan, peran perempuan tidak hanya dibebankan dalam hal domestik dan fisik tapi peran berpikir secara meluas sebagai kontestasi bahwa perempuan itu ada karena bisa, karena itu perempuan perlu dukungan moral dan materi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H