Mohon tunggu...
Citra Melati
Citra Melati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Guru bahasa inggris dan pemerhati pendidikan dan sosial.

Kebebasan berpikir dan berpendapat adalah hak setiap manusia (bukan 𝘢𝘥 𝘩𝘰𝘮𝘪𝘯𝘦𝘮). Pikiran tak harus bersifat konformis, pikiran individual juga diperlukan di dalam proses menelaah sebuah kebenaran secara bersama.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka dalam Belajar (Esai Kritik dan Saran Sistem Pendidikan Selama Pandemi) Bagian 3

1 Februari 2021   11:18 Diperbarui: 1 Februari 2021   11:37 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto oleh citra melati

Tiap-tiap rumah jadi perguruan!

Tiap-tiap orang jadi pengajar!

Dengan atau tanpa ordonansi!

-Ki Hadjar Dewantara-

Kebutuhan dan potensi anak di sekolah berbeda beda, hal ini mungkin yang bisa digali lebih dalam oleh guru sekolah untuk mengenali keragaman anak, menciptakan tugas sesuai kondisi dan potensi anak, yang mungkin bisa diciptakan oleh guru penggerak

Setiap anak memiliki kecerdasan intelektual masing masing, dimana kelebihan anak dijadikan penilaian guru. Apa yang dilakukan anak di rumah, kegiatan yang disukai seperti menyanyi, menggambar, bertanam, dsb., tetapi kelebihan mereka bukan untuk dibuat kompetisi dengan anak lain tapi untuk peningkatan kepada diri sendiri dan bisa diarahkan untuk menciptakan kolaborasi antara murid satu dengan yang lainnya. 

Alternatif tugas bisa berbentuk proyek yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan anak. Proyek bukan sekedar tugas tekstual seperti mengisi jawaban seperti, menjawab dan mengisi soal berlembar-lembar, seperti “ jawablah pertanyaan ini dengan benar", tapi lebih ke arah membawa anak ke dunia yang lebih luas dimana proyek yang dilakukan melibatkan kemampuan kognitif (pengetahuan), psikomotorik (gerak), dan spiritual (hati dan pikiran). Seperti, orang-orang yang sukses berkat proyek tugas kuliahnya, seperti Mark Zuckerberg lewat aplikasi facebook dan Andrew Darwis pendiri Kaskus. 

Proyek tentu membutuhkan rentang waktu agak lama dikarenakan menggunakan kemampuan berpikirnya dan bertindaknya. Proyek bisa memakan waktu 1 semester atau 1 bulan bergantung kondisi anak. Dibutuhkan kemandirian, daya kritis, dan proses dengan dipantau dan dibimbing oleh guru serta didampingi oleh orang tua dengan ada kerjasama antara kedua belah pihak.

Salah satu contoh proyek adalah menanam satu jenis tanaman. Secara tidak langsung anak belajar mengenal nama tanaman, mengamati pertumbuhannya, merawatnya, dan sekaligus belajar berbagai ilmu pengetahuan yaitu mengenal ciptaan Tuhan, mengenal warna dan jumlah, belajar bersosialisasi dengan penjual, dsb. Jadi, satu proyek bisa dibagi di berbagai mata pelajaran seperti agama, matematika, bahasa, ilmu pengetahuan. Tugas tersebut bisa diterapkan dalam satu tugas dan penilaian, jadi tidak selalu tiap mata pelajaran memberikan tugas sendiri dan berbeda-beda.

Ketika mereka mendapat tugas yang kontekstual, mereka tahu dan timbul keingintahuan untuk mencari informasi lewat buku, internet, dan berbagai sumber lainnya termasuk bertanya kepada orang lain, sehingga memungkinkan mereka memiliki pengetahuan yang lebih luas.

Tugas dari orangtua ke anak juga bisa diaplikasikan dalam penilaian guru. Anak yang membantu ibunya bekerja atau kegiatan positif yang dilakukan anak di rumah bisa dijadikan bahan observasi guru. Bahkan ada guru yang mendatangi rumah anak satu demi satu untuk mengajar yang patut diapresiasi.

Pendidikan bukan hanya sekolah, berpikir bahwa sekolah hanya satu satunya pendidikan, sehingga banyak orangtua yang bingung dan takut anak ketinggalan pelajaran ketika tidak sekolah. Pendidikan dan sumber pengetahuan bisa diperoleh dimana saja, termasuk pendidikan dari orangtua di rumah, jadi tidak bergantung pada guru sekolah saja, dimana manfaat pendidikan sekolah di rumah yang seharusnya menyelamatkan malah membahayakan anak.

Tugas anak ada baiknya berasal dari orangtua sendiri ketika di rumah selama pandemi, bukan pengalihan tugas guru sekolah dipindahkan di rumah, apalagi orangtua bukan guru sekolah. Guru sekolah mungkin bisa mengikuti gaya belajar anak di rumah dengan menghubungkan ilmu pengetahuan dan nilai kehidupan.

Daripada memikirkan bagaimana menghadapi formalitas pembelajaran sekolah yang didelegasikan ke rumah, lebih baik anak diarahkan untuk bereksplorasi, berproses, bertumbuh sesuai kodratnya, bermain, bercengkrama dengan keluarga, dan menghadapi dunia sesungguhnya yang terjadi dalam dan di luar dirinya. 

Pendidikan memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Penting adanya bantuan dan support system dari pemerintah yang memfasilitasi pendidikan anak selama di rumah; menciptakan lingkungan kondusif dalam belajar seperti perpustakaan keliling, wahana belajar dan bermain anak di sekitar rumah, penyediaan buku berkualitas secara gratis (bukan buku paket sekolah) supaya mereka rajin berliterasi, pendampingan pada orangtua seputar pendidikan anak, karena anak menghabiskan waktu belajar berpusat di rumah, atau bisa juga membentuk kelompok belajar kecil (bertatap muka fisik) dari guru sekolah secara bergantian dengan memperhatikan protokol kesehatan; yang lebih diutamakan adalah kesehatan dan kebahagiaan anak di rumah apalagi di masa pandemi.

Anggaran dana pendidikan untuk pendidikan sangat besar, yaitu sebesar Rp. 81,53 triliun. Alokasi dana seharusnya tepat sasaran agar manfaat pendidikan bisa dirasakan sebagaimanamestinya dengan baik; pendidikan sekolah bukan hanya masalah kuota internet, tapi keprofesionalitasan guru yang kompeten sebagai pelaksana pendidikan; perlunya juga keleluasaan guru untuk menentukan pembelajaran yang terbaik bagi anak didik, supaya guru merasa percaya diri dalam melaksanakan amanah dan mengemban tugas.

Pembelajaran dan tugas daring seharusnya menitikberatkan pada kualitas bukan kuantitas, karena saking banyaknya tugas, nyatanya mereka tidak mengerti dan tidak belajar karena hanya sekedar mendapat nilai. 

Pembelajaran dan tugas di masa pandemi saatnya perlu dikaji ulang untuk menuju pembelajaran yang lebih efektif dan efisien; memangkas materi dan membuang yang tidak perlu, lebih ke arah esensi, belajar senang, tidak perlu memenuhi standar kurikulum, fleksibel, interaktif, sederhana, dan tidak membebani. 

Selain itu, pembelajaran seharusnya lebih diorientasikan kepada transfer of value (nilai) daripada transfer of knowledge (ilmu), serta pentingnya menciptakan momen yang berkesan antara guru dan anak sehingga tercipta koneksi batin meski tidak bertatap muka secara fisik. Sebab, tugas yang terlalu banyak, tidak akan menciptakan karakter dan perilaku anak yang baik, malah membuat anak stres dan tertekan saat belajar.

Memang, ilmu adalah penting, namun seharusnya karakter dan keteladanan harus diletakkan di awal, hal ini bisa diumpamakan seperti, manakah yang lebih baik antara anak yang tidak tertib dalam lalu lintas atau anak yang tidak pintar matematika? 

Mungkin saja anak bisa merdeka jika bebas dari beban tugas seperti yang disebutkan sebelumnya, dan anak bisa merasa merdeka jika mempunyai ruang kebebasan dan kemandirian dalam berpikir dan menentukan apa yang ingin dipelajari dan diminati oleh anak sendiri, bukan menyempurnakan semua nilai mata pelajaran sekolah. 

Merdeka belajar tidak akan pernah terwujud, hanya isapan jempol belaka bila tidak ada kesadaran yang tumbuh dari guru sebagai pendidik yang hanya memerintah dan memberi beban tugas monoton saja setiap hari dengan tanpa disertai dialog dan interaksi sesuai kebutuhan anak didik. 

Dalam pemberian tugas seharusnya anak merasa senang, tidak terbebani dan anak bisa bertanggung jawab atas kuasa dirinya bukan karena atas perintah dan takut pada guru dan nilai.

Jadi, sudahkah anak merasa merdeka selama belajar sekolah di rumah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun