Masih banyak yang bertanya-tanya, bagaimana awal mula konflik Rusia dan Ukraina meletus? Yuk cari tahu penjelasan berikut.
Sejak Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari lalu, kondisi keamanan Ukraina kian memburuk. Sejumlah kota penting di Ukraina menjadi sasaran agresi militer Rusia, seperti Kharkiv, Odessa, mariopul hingga ibu kota Ukraina, Kiev.
Gelombang pengungsi tak terhindarkan dan korban jiwa pun terus berjatuhan. Dmytro Kulebo, Menteri Luar Negeri Ukraina mengatakan, "Putin baru saja meluncurkan invasi skala penuh ke Ukraina. Kota-kota Ukraina yang damai sedang digempur.", katanya dalam cuitan di Twitter.Â
Lantas bagaimana awal mula konflik Rusia dan Ukraina ini meletus?
Sejak Zaman Uni Soviet
Konflik Rusia dan Ukraina ternyata memilik riwayat sejarah yang panjang. Sebelum hubungan kedua negara ini bersitegang, Rusia dan Ukraina menjadi satu bagian dari negara Uni soviet, negara komunis terbesar ketika itu. Namun, Ukraina menghendaki pemisahan diri dari Uni soviet dan memproklamirkan kedaulatannya pada Agustus 1991.
Saat Uni soviet jatuh pada Desember tahun 1991 silam dan terpecah menjadi 15 negara baru, Ukraina secara resmi menjadi negara yang berdaulat.
Upaya Ukraina Lepas dari Supermasi Rusia
Kemerdekaan yang diraih Ukraina tidak lantas membuat Ukraina lepas dari bayang-bayang Rusia. Ukraina berulang kali bersitegang dengan Rusia. Ada banyak gejolak besar yang terjadi sepanjang sejarah kemerdekaan Ukraina, dimana melibatkan hubungan kedua negara tersebut. Revolusi Maydan yang terjadi pada tahun 2014 merupakan salah satu gejolak yang memperburuk hubungan kedua negara.
Ketika itu Ukraina memberontak terhadap supermasi Rusia yang berujung dengan  dilengserkannya presiden Ukraina pro Rusia, Viktor Yanukovych.
Setelah lengsernya presiden Viktor Yanukovych, pandangan politik pemerintahan Ukraina lebih condong pro barat. Ketika situasi tersebut, Rusia melakukan pencaplokan terhadap wilayah teritori Ukraina, yakni Krimea pada tahun 2014. Banyak negara di dunia mengutuk tindakan Rusia tersebut.
Dukungan Rusia terhadap Separatis Ukraina
Tidak hanya itu, Rusia juga memberikan dukungan kepada gerakan separatis yang melawan pemerintahan Ukraina. Gerakan pemberontakan yang berada di wilayah Donbass tersebut telah memproklamirkan diri sebagai Republik Rakyat Donesk dan Republik Rakyat Luhansk.
Menurut Teuku Rezasyah, pengamat Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjadjaran bahwa Rusia menginginkan kemerdekaan kedua wilayah ini karena penduduk di wilayah tersebut mayoritas merupakan orang Rusia.
Masyarakat di kedua wilayah ini sangat dekat dengan kultur budaya Rusia, bahkan sebagian warganya sangat fasih berbicara bahasa Rusia.
Pandangan politik pemerintahan Ukraina yang pro Barat
Sejak Volodymyr Zelensky terpilih menjadi presiden Ukraina tahun 2019, Ukraina kian pro terhadap barat dan berusaha mempercepat keanggotaannya di NATO.Â
Hal ini dilakukan Volodymyr zelensky karena Rusia terus melakukan ancamannya di perbatasan Ukraina, sedangkan presiden Rusia Vladimir Putin bertahan dengan tuntutannya agar Ukraina tidak menjadi anggota NATO. Bagi Putin, hal tersebut akan mengancam posisi Rusia. Inilah salah satu pemicu memanasnya hubungan kedua negara.
Tatkala gempuran serangan bertubi-tubi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina sejak 24 Februari lalu, tidak lantas membuat pemerintah Ukraina berdiam diri saja.Â
Pada 28 februari lalu perwakilan kedua negara tersebut sempat melakukan perundingan. Akan tetapi perundingan tersebut tak menemukan kesepakatan.Â
Bahkan setelah negosiasi buntu tersebut, presiden Ukraina Volodymyr Zelensky  yang didampingi oleh perdana menteri Ukraina beserta ketua parlemen Ukraina, telah menandatangani dokumen pengajuan keikutsertaan Ukraina kepada Uni Eropa pada 1 maret yang lalu.
Konflik Rusia dan Ukraina Akan Berujung pada Perang Dunia Ketiga?
Guru Besar Hukum Internasioanl Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa perang yang terjadi saat ini tak lagi meributkan soal wilayah, akan tetapi lebih kepada pandangan politik pemerintahan Ukraina yang lebih condong pro barat.Â
"Ini masalah bukan tentang wilayah. Kalau misalnya presiden dari Ukraina dan rakyatnya akan berpihak kepada Rusia, Ya sudah selesai urusannya.", katanya seperti dikutip dari kanal Youtube CNN Indonesia.
Hikmahanto juga menyebutkan jika ada negara lain yang campur tangan dalam urusan Rusia Ukraina ini maka akan berdampak besar, apalagi Putin mengancam akan meluncurkan senjata nuklir apabila banyak turut campur negara lain, maka tak menutup kemungkinan konflik ini berpotensi meletusnya perang dunia ketiga.
Itulah awal mula konflik Rusia dan Ukraina meletus. Kita berharap, semoga konflik geopolitik ini cepat berakhir sehingga tidak perlu sampai terjadinya perang dunia ketiga karena pihak yang paling menderita dalam peperangan adalah warga sipil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H