Mohon tunggu...
Clint Perdana
Clint Perdana Mohon Tunggu... Penulis - Just an Ordinary Learner

Menulis sebagai media bertukar pikiran, diskusi dan dakwah modern di tengah luas namun sempitnya dunia ini, mari berbagi!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Wisuda Tingkat Dini, Kebanggaan atau Beban Sosial?

18 Juni 2023   12:55 Diperbarui: 1 Juli 2023   04:21 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by : Gideon Sang https://www.flickr.com

Dalam lanskap pendidikan saat ini, fenomena wisuda telah berkembang menjadi lebih dari sekedar pengakuan atas pencapaian akademik. 

Di berbagai jenjang, mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, wisuda sering kali dirayakan dengan acara yang mewah, penuh ornamen dan mahal.

Di balik pesta keceriaan dan rasa bangga ini, tersembunyi sebuah hal yang menggelitik bahwa mungkinkah sekolah seringkali menggunakan acara-acara ini sebagai alat untuk mendapatkan sumber pemasukan tambahan?

Lalu timbul pertanyaan lanjutan, apakah hal ini memperlebar kesenjangan sosial di kalangan siswa dan orangtua? Apakah penting terutama untuk sekolah tingkat TK sampai SMA? Dan, apa solusi alternatif untuk sekolah dalam meraup dana?

Photo by : Gideon Sang https://www.flickr.com
Photo by : Gideon Sang https://www.flickr.com

Secara tradisional, acara wisuda dianggap sebagai titik balik penting dalam kehidupan seseorang. Namun, saat institusi pendidikan memandang wisuda sebagai peluang komersial, dampak psikososial dari praktek ini sering kali diabaikan.

Saat sekolah memonetisasi acara wisuda, biaya partisipasi yang tinggi dapat mengakibatkan sebagian siswa dan orangtua merasa terpinggirkan. Misalnya, di sekolah Taman Kanak Kanak ABC, biaya wisuda bisa mencapai dua juta rupiah. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, biaya ini bisa menjadi beban yang berat.

Ini adalah contoh nyata bagaimana wisuda bisa berpotensi perlahan mempertinggi tembok kesenjangan modal dalam dunia pendidikan terutama di tingkat dini.

Ketidakmampuan untuk membayar biaya wisuda ini bisa menjadi penyebab bagi siswa dari keluarga kurang mampu untuk merasa tidak diakui atau tidak berharga.

Sejatinya, acara wisuda seharusnya menjadi penanda keberhasilan akademik, bukan penanda ekonomi.

Mengingat betapa pentingnya peran pendidikan dalam menanamkan rasa kesetaraan dan memupuk solidaritas sosial, praktek memonetisasi wisuda tentu saja menjadi permasalahan penting.

Namun, di sisi lain kita harus memahami juga bahwa sekolah membutuhkan sumber dana pendukung untuk perluasan operasional dan pengembangan fasilitas. Maka, memikirkan cara alternatif untuk mendapatkan pendanaan adalah langkah yang perlu dilakukan.

Salah satu solusi yang mungkin bisa jadi alternatif adalah mengajukan proposal ke perusahaan atau organisasi untuk program Corporate Social Responsibility (CSR). Misalnya, sekolah XYZ sukses mendapatkan dana untuk pengembangan laboratorium dengan membuat proposal CSR yang baik ke perusahaan teknologi ternama.

Cara lain adalah dengan menggelar acara penggalangan dana yang lebih inklusif dan murah, seperti bazaar atau konser amal. Sekolah bisa memobilisasi sumber daya dalam komunitas mereka sendiri, seperti bakat siswa dan orangtua, untuk mengadakan acara tersebut.

Lebih jauh lagi, sekolah juga bisa mendorong partisipasi siswa dalam program akademik atau kegiatan ekstrakurikuler yang bisa menjadi sumber pendapatan.

Misalnya, sekolah dapat mengorganisir kontes matematika atau debat dengan pendaftaran berbayar, yang sekaligus dapat merangsang semangat belajar siswa.

Dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif dan adil, tugas sekolah tidak hanya sebatas menyediakan akses ke pendidikan, tapi juga memastikan setiap siswa merasa dihargai dan diakui.

Dalam konteks ini, perlunya peninjauan kembali terhadap tradisi wisuda yang mahal dan mengubahnya menjadi perayaan yang lebih sederhana dan inklusif. Misalnya, sekolah dapat menyelenggarakan acara wisuda dalam skala lebih kecil, atau menggunakan platform digital untuk mengadakan wisuda virtual.

Cara ini tidak hanya mengurangi biaya, tapi juga memungkinkan lebih banyak orang untuk berpartisipasi.

Selain itu, penggunaan teknologi juga dapat menjadi solusi bagi sekolah untuk mendapatkan pendanaan. Salah satunya adalah dengan menyediakan kursus online atau materi pembelajaran yang dapat diunduh dengan bayaran.

Contohnya, sekolah DEF berhasil mengembangkan program online mereka dan menarik banyak siswa dari berbagai daerah, yang berujung pada peningkatan pemasukan.

Pendidikan adalah hak setiap individu, dan dalam mewujudkan hal itu, setiap sekolah berperan penting. Sebagai pusat pendidikan, sekolah perlu memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan pengalaman belajar yang setara dan merasa dihargai.

Monetisasi acara wisuda yang berlebihan bisa menciptakan kesenjangan sosial yang berpotensi menghancurkan solidaritas di kalangan siswa dan komunitas sekolah.

Maka, sangat penting bagi sekolah untuk mengambil pendekatan yang lebih inklusif dan egaliter dalam mengatur acara-acara mereka, termasuk wisuda.

Praktek memonetisasi acara wisuda mungkin bisa memberikan keuntungan finansial jangka pendek bagi sekolah, namun dampak jangka panjangnya bisa menjadi biaya sosial yang tinggi.

Sekolah perlu mencari solusi alternatif dalam mendapatkan dana. Baik itu melalui CSR, acara penggalangan dana, kegiatan akademik berbayar, atau pengembangan program online, setiap usaha yang dilakukan harus mempertimbangkan aspek kesetaraan dan keadilan sosial. Sebab, tujuan pendidikan sejatinya adalah mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, beretika, dan adil.

Jadi, mari kita ingat kembali esensi dari pendidikan dan wisuda. Kedua hal ini seharusnya menjadi simbol pencapaian, bukan beban. Melalui pendekatan yang benar dan bijaksana, kita bisa menciptakan lingkungan pendidikan yang berkesinambungan dan adil bagi semua orang.

Sebagai stakeholders dalam dunia pendidikan, baik sebagai pendidik, orangtua, ataupun siswa, mari kita bersama-sama berupaya menciptakan lingkungan pendidikan yang adil dan inklusif.

Kita semua memiliki peran dalam menciptakan dunia pendidikan yang lebih baik. Dalam hal ini, peran sekolah sangatlah krusial. Sekolah perlu berinovasi dalam mencari sumber pendanaan tanpa merugikan siswa dan orangtua.

Sebab, tujuan pendidikan sejatinya adalah mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, beretika, dan adil.

Pendidikan adalah tentang membentuk individu yang siap berkontribusi dalam masyarakat, bukan tentang menciptakan kesenjangan antara "yang mampu" dan "yang tidak mampu".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun