Mohon tunggu...
Cliff Damora
Cliff Damora Mohon Tunggu... -

ada deh. hahaha

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebelum Pergi Melihat Nusantara

2 Januari 2013   09:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:38 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya keraguan itu mati. Keyakinan hidup kembali dan mimpi yang lama terkubur menggeliat lagi.

***

Keinginan adalah sumber penderitaan, ayat kamusnya bang Iwan. Sementara dalam kamusku, kata "keinginan" memiliki sinonim "impian". Jadi kalau kuartikan, sumber penderitaan adalah impian. Sama saja. Bagiku yang lebih penting bukanlah sebatas kata, tapi bisa memaknai isi setelah merenungkannya.

Pada suatu malam di akhir sebuah perenungan aku meyakini, tatkala seseorang mampu membangkitkan impiannya, maka saat itu juga ia sedang berdiri menantang penderitaannya. Dan siapa saja orang yang mengejar impiannya, orang itu akan memasuki proses-diterjang penderitaan.

***

Sepuluh bulan sebelum berangkat. Di daerah Bogor di dalam sebuah kamar 3 x 3, di atas lantai Anto bersila. Sambil menunduk, ia mengerahkan jurus sebelas jarinya yang melesat memukuli tuts keyboard si netbook tua. Perilakunya yang kulihat bukalahn perilaku penghormatan terhadap raga yang sudah renta. Netbook tua panut di bawah kendali Anto. Pasrah meski dihajar terus seolah dianggap bulan-bulanan. Suara cetak ceteknya yang ibarat rintihan, tidak digubris. Anto tetap menyiksanya seru dan serius sekali.

Namun tiba-tiba saja semuanya berubah menjadi hening. Tangan Anto lepas dari keyboard lalu sepuluh jarinya disilangkan dan kepalanya mengangkat pelan-pelan hingga mendongak. Matanya pun naik, tatapannya dilayangkan mengarah ke awang. Sejenak aku melihatnya diam. Berikutnya, ia menoleh ke aku dan saat itu ekspresinya membuatku tersadar akan sesuatu. Dari wajahnya yang kosong akal itu aku menemukan bahwa Anto mulai kena penyakit yang namanya pusing. Yang setelah kutelaah lebih jauh, penyakit ini adalah bibitnya penderitaan.

Tolong bantu saya membuat proposal. Tolong isikan kalimat selanjutnya, pinta mukanya. Tapi aku malah berpose seturut gelagatnya, mengangkat dagu dan menerbangkan mata ke dinding kamar-seolah-olah kalimat kunci berikutnya bersemayam pada lapisan cat putih di tembok. Sementara kepala membutuhkan detik, menit, dan jam beberapa. Microsoft Word akhirnya ditutup dan kami membiarkannya mati berhari-hari sampai kalimat yang bagus mau singgah ke benak. Sayang, kalimat-kalimat bagus yang sangat dicari itu jarang benar menclok di kepala. Lebih sering sakit kepala yang ujung-ujungnya nempel. Penat memang berurusan dengan hal yang namanya proposal.

Penderitaan kian menghebat saat proposal telah rampung kemudian di-email-kan ke puluhan perusahaan besar tapi tidak ada balasan. Kabar baik yang dinanti hanyalah harapan yang tidak pernah datang. Sekalinya menerima jawaban, isinya amat santun. Satu dua perusahaan yang sempat merespon, memberi bunyi yang sama kembar: Nanti akan kami pelajari dan pertimbangkan. Terima kasih. Isi jenaka tak ubahnya hiburan belaka.

Bandi, diberi Tuhan banyak kesabaran, namun bukan bakat seni rupa. Aku, main gitar di bawah pas-pasan, kunci hanya tahu satu-dua. Waktu kami lahir, kami tidak tersenyum. Kami memang menangis, tapi sepertinya bukan menangisi diri yang telanjang, melainkan, mungkin dikarenakan tangan kami yang tidak menggenggam piagam penghargaan seni dari Tuhan. Dan pada suatu kebingungan, aku berbicara dengan Bandi, temanku yang memiliki impian sama seperti aku dan juga Anto. Bandi dan aku menuju monitor mengejar cara yang lain. Rencana B. Kami membuka Photoshop dan mulai  mendesain logo tema sepeda. Inilah luar biasaNYA Tuhan. Meski Tuhan sepertinya enggan menyematkan kami bakat seni, namun Ia tidak pernah lupa menanamkan benih semangat ke semua umat, termasuk ke aku. Aku tetap kekeuh bermain Photoshop.

Setelah urat pelipisku cenut-cenut dan beberapa gambar pas-pasan kuserahkan untuk mengikuti tahap seleksi yang dinilai juri satu-satunya yaitu Anto, terpilihlah satu desain hasil imajinasi pusing selama berhari-hari. Selanjutnya desain itu diserahkan ke tangan-tangan tukang kaos, pin dan stiker.

Modal seret merupakan kenyataan. Kami berunding dan memilah-milah tempat sablon yang terendah biaya produksinya. Dan khusus kaos punya sendiri kasus. Karena ongkos yang paling sesuai kantong kami dapatkan di Cianjur, jadi setelah produksi selesai si kaos mesti dijemput jauh. Bandi, menunggangi motornya dan menempuh 120 kilometer pergi pulang Bogor – Cianjur – Bogor demi kaos. Sepulang Bandi menggembol kaos barulah kami memotret dan segera memajangnya di jejaring sosial. Promosi.

***

Di akhir 2011, Bandi dan aku  mengayuh sepeda sambil membawa ratusan pin hingga ke Jawa Tengah. Anggaplah latihan plus upaya menjaring dana. Kalau bahasa kerennya, Sosialisasi Kegiatan.  Sedangkan Anto, jaga kandang di Bogor sambil mengurusi perintilan sepedanya yang akan dibangun.

Suatu malam saat Bandi dan aku ada di Semarang, layar ponselku yang cantik berwarna pink berkedip-kedip. “Haris OANC”, nyala mati nyala mati. Kuangkat. Di akhir obrolan aku bilang, “nanti di Bogor kita obrolin lagi”

Dua bulan setelahnya kami kembali. Kembali ke Bogor dan menemui Anto di kamar kosnya di Ciawi. Ciawi, di belakang Universitas Djuanda, di sana banyak kos-kosan, dan salah satunya yaitu kosannya Anto. Nah, di dalam kamar Anto yang pada dindingnya tergantung  sebatang kara frame sepeda, Anto bilang, “Kisut mau gabung”. Seorang teman imut di kota tetangga bertubuh ciut bernama Kisut, tertarik ikut. Dan jika informasi itu benar, sekaligus ditambah masuknya Haris, berarti tim kami mirip Power Rangers. Namun aku ogah jadi Rangers Pink.

***

Meladeni pemesan adalah bagiannya Anto. Ia bolak-balik menjinjing paket dari rumahku ke kantor jasa pengiriman barang. Kalau pesanan pin sedang  melimpah, Anto mendadak lincah. Sementara Haris-yang sudah bergabung dengan kami-memiliki jiwa ibu-ibu tukang kredit daster. Haris yang pendiam tiba-tiba lupa diam. Seketika ia lihai merayu teman-teman kantornya supaya mau memiliki kaos-kaos yang selalu dibawanya ke tempat kerja.

Saat yang lain sibuk di luar, badanku lebih sering di kamar menghadapi netbook tua punyanya Anto. Aku membuat jalur perjalanan pulau pertama, Jawa. Dan kalau sudah begini, artinya, kebolehanku memelekkan mata sedang diuji. Tubuh dipaksa betah menghadapi permainan menjemukan: titik dan garis di google maps, yakni, menekan mouse hingga di layar muncul sebuah titik, lalu mouse digeser ke tujuan yang lain yang kemudian kutitikkan lagi. Dan lahirlah garis yang menghubungkan keduanya. Sementara, di sebelah garis yang sedang aku buat, kuperhatikan selalu muncul angka yang menerangkan jarak. Tiap kali titik bertambah, angka juga bertambah. Garis yang tadinya pendek pelan-pelan bertumbuh menjadi panjang. Pada akhirnya Bogor ke Banyuwangi selesai. Jawa terhubung dengan jarak seribu lebih kilometer.

Tiap hari aku setia pada google maps. Burung hantu berganti ayam aku mendekam di kamar. Keluar kamar kalau kebelet atau haus. Keluar rumah jika rokok habis dan sambil berdoa semoga warung si Abang masih buka. Kalau warung si Abang sudah tutup, aku lari ke warung si Mas atau si Aa. Sedihnya, kedua warung itu tidak pernah ada. Eit, usah risau, ini bukan novel. Dan mengenai si Aa dan si Mas, itu memang hanya karanganku saja.

Tiap bangun tidur badanku punya warisan leher yang pegal dan mata yang perih minta dikucek-kucek tangan yang kesemutan sisa siksaan semalaman akibat jarang berpisah dengan mouse. Tapi malamnya, aku balik lagi ke google maps.

Jika pintu kamarku terbuka, kadang-kadang seorang wanita yang sama datang melongok. Tapi tidak masuk. Ia hanya berdiri dari dekat pintu dan dilihatnya aku yang sedang bersidaku hadap-menghadap menatap si netbook tua. "belum beres?". "belum, Ma". Ia berpaling ke bangku di ruang tamu. Aku paham betul artinya apa kalau kebiasaannya dilakukannya lagi. Dagunya sandar di jempol dan jari-jarinya menutupi mulut. Artinya, ibuku sedang memikirkan sesuatu yang mendalam. Bisa jadi di pikirannya, "apa yang dicari anakku?"

Tiap saat ada kemajuan. Rute Bali, Lombok, Sumbawa, kecuali Papua yang paling ribet karena jalan yang pernah dibuka Soeharto entah hilang minggat ke mana, semuanya hampir selesai kugariskan. Dan setelah empat pulau besar Indonesia-kecuali Papua itu-sudah penuh garis, aku mengalkulasikan kilometer yang akan dijilati roda-roda sepeda kami nantinya. Angkanya membuatku merinding. 10.000 kilometer terlampaui.

Tiap kali rumah berbunyi ,“tok tok tok”, dan yang datangnya tukang paket, tandanya bagus. Tandanya komponen sepeda Anto tambah lengkap. Tandanya keinginan dia untuk merakit sepeda segera terlaksana.

Karena tiap langkah adalah perwujudan. Tak ada langkah kedua jika tak ada langkah pertama.

Setelah kami melewati bulan-bulan dengan rutinitas yang hampir sama, tampak sekali mimpi kami semakin bulat menyerupai bulan. Dan walaupun lonjong kami ngotot berangkat. Kami ibarat pion yang tidak mengenal kata mundur. Apalagi surat pengunduran diri Haris dan Anto sudah di-acc oleh pihak atasan masing-masing. Anto, kepalang berani mengambil keputusan dengan melepas spidol hitam dan papan tulisnya. Melepaskan anak-anak didiknya yang entah sedih atau malah senang kehilangan sosoknya di depan kelas.

Sementara Haris, ia putus bertugas memelototi layar monitor di tempat kerjanya di Jakarta. Dan pastinya, Haris juga telah mengulurkan jabat perpisahan dengan teman-temannya yang baik, yang sudah memiliki kaos-kaos bertema sepeda itu. Aku yakin, barang tentu juga ia pamit sambil menyelipkan ucapan terima kasih ke mereka.

Tiga bulan sebelum hari keberangkatan Bandi menyimpan sepeda di rumahnya. Ia telah memilih jalan hidupnya. Keinginan melihat nusantara berganti baju rapi dan pergi bekerja ke perusahaan baru di Bekasi. Bekasi. Di Bekasi itu tempat tinggalnya Kisut yang juga urung berangkat. Kisut dirundung galau berkepanjangan. Alasannya karena berat meninggalkan ibunya.

Untuk selanjutnya Haris dan Anto-lah yang bersandingan gelar denganku: pengangguran. Kami bertiga laksana pengangguran sinting. Kumat dihipnotis mimpi dan tetap yakin meski usaha lewat proposal selalu gagal. “Berapapun dana yang ada, gua tetap berangkat”, Anto sama sekali tidak khawatir. Jawabannya jujur apa adanya. Seapa-adanya misi kami. Menikmati hidup.

***

Fajar di 12 Juni 2012 adalah keberangkatan. Kami seperti tiga kera gunung yang berlompatan keluar dari persembunyian setelah semalaman merindukan matahari pagi untuk berjemur. Inilah kami yang gembira di ujung perjuangan sepuluh bulan yang membosankan. Aku menutup netbook dan menjauhkan diri dari mouse, Anto tidak lagi bertemu muka dengan orang-orang di jasa pengiriman di dekat rumahku. Aku pamit ke ibuku, Anto minta restu ke keluarganya, dan Haris berhenti membayar sewa kos di Tangerang. Lalu kami semua pergi menyambut matahari pagi, menjemput mimpi kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun