[caption id="attachment_117077" align="alignleft" width="300" caption="Melihat Dunia"][/caption] Tiga hari lagi di tahun lalu, atau mungkin kurang dari itu? Aku tak persis tahu. Hanya ketika itu, Istriku menangis tersedu saat mengecup kening putriku Nesha. Bahagia, sedih dan khawatir, satu padu menghiba rasa haru. Bahagia kerana Raka kan datang, sedih mengingat Nesha teramat kecil untuk diduakan, dan khawatir karena harus kembali lagi ke meja operasi.
Masih dengan terisak, istriku melangkah dengan berat dan payah. Perutnya membuncit besar, dibungkus daster motif batik pemberian mertuaku. Ketersiksaan nampak jelas, saat aku memapah dan membantunya meletakkan pinggul di kursi belakang mobil. Kernyit dahi dan rintih pertanda sakit bagaikan panggilan iba bagi siapapun yang melihat. Jujur, sebenarnya saat itu aku tak tega. Hanya aku tidak boleh memperlihatkan itu padanya. Dia akan semakin gugup dan stress...
Beberapa menit berikutnya, roda bergerak dan membawa badan mobil pergi meninggalkan kediamanku. Sebuah mobil tua tahun 1974 bermerek Corola, berwarna hijau kusam dan rupa sangat berantakan. Usia mobil yang renta membuat di beberapa tempat catnya mengelupas. Namun bukanlah Bapak kalo nggak “pede”. Dengan santai dan tenang dia menginjak pedal gas. Tangannya masih terlihat lincah diusianya yang ke-63. Aku seharusnya yang mengendalikan mobil itu. Tapi Bapak bersikeras agar dia saja yang nyetir. Sementara aku, duduk di samping Bapak sambil terus melihat kearah spion, memeriksa keadaan istriku yang duduk di kursi belakang.
Selang setengah jam kemudian kami memasuki kota Malang. "RSIA Melati Husada" adalah tujuan kami. Bagi yang berdomisili di Kota Apel Malang, saya rasa cukup familier dengan rumah sakit tersebut. Beberapa orang bilang, RS itu adalah yang terbagus untuk melahirkan Anak. Beberapa yang lain mengatakan, ada yang lebih bagus darinya. Buat aku, RS tersebut memanglah bagus. Bukan karena apa-apa, melainkan lebih karena faktor ekonomi. Perusahaan tempatku bekerja merekomendasikan tempat itu sebagai tempat bersalin bagi karyawan dan keluarganya. Alhasil, akupun pasti kesana, selain gratis juga karena tempatnya yang bagus.
Bapak menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang RS tersebut. Beberapa bunyi-bunyian klakson sempat memerahkan telinga, maklum cara berhenti bapak, menutup siapapun yang hendak masuk. Tapi sekali lagi, bukanlah bapak kalo nggak cuek. Tetap dengan style nyantainya, bapak memarkir mobil ke tempat parkir yang sudah disediakan sesaat setelah aku dan istriku beranjak keluar.
Dari pintu gerbang, aku berjalan pelan sambil memapah istriku. Langkahnya yang berat membuat kami tidak bisa bergegas. Ada tiga buah anak lantai dari porselen yang harus kami lalui sebelum sampai ke beranda. Suasana saat itu ramai sekali. Seperti yang sebelumnya aku tulis, RSIA Melati Husada cukup terkenal di kota apel. Memasuki beranda, kami serasa kembali ke tempoe doeloe. Interior, pencahayaan, serta semerbak harum melati menjadi aroma terapi yang dahsyat. Istriku duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu jati tua. Sedangkan aku bergegas ke petugas administrasi untuk melakukan registrasi. Setelah selesai, akupun duduk menemani istriku di ruang tamu.
***
Sembari menunggu, aku berbicara "ngalor-ngidul" untuk menghibur istriku. Wajahnya terlihat pucat. Rasa takut sangat tampak mencengkram. Bayangan meja operasi, dan berbaring di bawah lampu kuning besar sambil dikerumuni beberapa orang bercadar dan berpenutup kepala, membuatnya resah. Bisa dimaklumi karena satu setengah tahun sebelumnya, putri kami Nesha lahir dengan cara yang sama, "Operasi Cezar".
Wajahnya semakin gusar kala seorang bidan dengan beberapa alat menghampiri kami di ruang tamu. Periksa darah, periksa alergi, dan periksa tekanan menjadi syarat wajib sebelum operasi. Setelah bidan itu pergi, mata istriku berkaca-kaca.
"Aku takut mas...". Ucapnya lirih, sambil tangannya menyeka mata.
Saat itu aku hanya berkata "sabar..yank, semua pasti baik-baik saja".
Kebetulan hari itu adalah hari Jum'at. Sampai dengan jam 11.30 siang, istriku belum juga masuk ke ruang operasi. Suara Adzan terdengar dari kejauhan. Aku pamit untuk sholat jum'at keistriku. Diapun mengangguk, walau ku tau —dalam angguknya dia tidak setuju. Akupun bergegas sedikit berlari. jarak masjid sekitar 300 meter dari RS. Rombongan orang berbaju taqwa, memakai sarung ataupun celana dan ber-peci berjalan ke mesjid untuk menunaikan Sholat Jum'at. Akupun tenggelam dalam ibadah sholat Jum'at.
***
Jam menunjukkan pukul 12:30, ketika aku selesai sholat. Akupun segera bergegas kembali ke RS dan langsung menuju ke ruang tamu. Tempat dimana tadi istriku kutinggalkan. Tapi, disana sudah tidak kudapati dia. Aku sempat panik, sebelum akhirnya bertanya kepada perawat perihal keberadaan istriku.
"Ny. Retno sudah di ruang operasi Pak.." kata perawat yang kutanya.
Tanpa sepatah kata terima-kasih, aku langsung bergegas ke ruang operasi. Disana istriku telah terbaring lemah mengenakan baju operasi lengkap. Satu set perlengkapan infus ada disamping istriku dengan jarum menancap di lengan kirinya. Istriku bersiap memasuki ruang operasi.
Beberapa menit berlalu, tepatnya sekitar 45 menit. Aku menantikan kabar dari ruang operasi. Beberapa kali kulihat jam yang berjalan bak keong. Tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka. Aku berharap ada kabar dari dalam. Ternyata hanya perawat yang keluar mengambil beberapa obat. Suasana hati semakin cemas. Suara tangis bayi tak kunjung terdengar. Tanpa kusadari, jantung berdetak kencang. Padahal aku tidak sedang berlari. Aku hanya duduk, menunggu dalam bingung dan berharap dalam pasrah.
Seorang perawat kembali keluar. Kali ini aku tidak seantusias sebelumnya. Aku tetap duduk dan menunggu. Sang perawat tampak menoleh kekanan dan kekiri, seperti sedang mencari seseorang.
"Bapak Yosie.." seru perawat itu.
"Yaach..." jawabku sontak beranjak bangun dari duduk. "Ya bu.." kataku sambil menghampiri perawat itu.
"Selamat ya Pak, Anak bapak laki-laki, beratnya 3,2 Kg, panjangnya 50 cm.." kata perawat itu.
"Lengkap mbak?" tanyaku secepatnya.
"Ya Pak..., lengkap.." sang perawat langsung meninggalkan aku dan kembali ke ruang operasi.
Sepuluh menit setelah itu, seorang perawat menggendong anakku dan datang menghampiri aku.
"Silahkan Pak..., kalau mau di-adzanni.." katanya sambil menyodorkan anakku.
Tanpa menjawab aku langsung menggendong anakku. Kemudian kami berdua berjalan menaiki anak tangga menuju sebuah mushola di lantai dua. Aku menyerahkan kembali anakku ke perawat untuk mengambil air wudlu. Akupun segera meng-adzanni anakku.
***
Hari ini, 18 Juni 2011 pukul 13:48, saat tulisan ini saya luncurkan pertama kali, adalah tepat satu tahun Raka melihat dunia, tepat satu tahun peristiwa diatas terjadi. Di hari ini juga, 33 tahun silam, pertama kali aku melihat dunia. Ada rentang 32 tahun antara Aku dan Raka. Tahun lalu, di tanggal dan bulan yang sama Allah SWT menitipkan hadiahnya. hadiah berbungkus amniotik indah. Sebuah hadiah yang menggetarkan jiwa, yang mampu dan bisa membuat aku dan istriku berbuat apapun untuknya.
Selamat Ulang Tahun Raka, Semoga Bahagia Adalah Takdirmu,
Semoga Sukses Adalah Darahmu dan Semoga Iman Islam Adalah Jiwa & Ragamu.
Ayahmu Yosie Pramadianto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H