Suara klakson di kemacetan tak lagi terdengar, lampu jalan yang setiap 5 meternya terpasang tak lagi menerangi jalannya setiap malam. Tatapan kosong selama perjalanan tengah malam dengan satu batang rokok diapit oleh kedua jari tangan kanan, yang dihisapnya perlahan namun cepat habis karena tertiup angin jalanan. Mencari kedamaian, kedoknya. Rasa sakit yang mungkin tidak bisa sembuh sesaat membuatnya selalu mencari pelarian di akhir pekan. Angin berhembus, debur ombak di sore hari menjadi alasan mengapa hampir setiap akhir pekan dirinya pergi. Tak ada lagi rasa pada wanita yang dia kejar hampir seumur hidupnya. "Sahabat". Memang, ada disaat susah, ada disaat senang. Entahlah, konsep seperti ini mungkin hanya berlaku bagi mereka yang bukan lawan jenis.
Perasaan atau kehancuran? Tak bisa dipilih, disaat dia menunggu di depan pintu, yang pertama kali mengetuknya adalah perasaan. Tanah dengan baunya yang khas saat terkena rintikan hujan seakan membawanya kembali ke masa dimana dia pertama kali membuka pintu untuk perasaan itu.
Hujan di bulan Desember, di toko kopi favorit mereka, awal mula hatinya akan mengalami turbulensi, mungkin hanya guncangan karena angin pikirnya.
"Sebenernya, aku udah lama pengen bilang..."Â ucap Adam.
"Aku udah tau kok kamu mau bilang apa"Â sanggah Aya.
Pertanyaan yang belum selesai, dipotong oleh kalimat dengan ekspresi sedih. Seperti berada di dalam sebuah film rasanya. Obrolan dan hujan berhenti disaat yang bersamaan. Jalan kami kembali ke rumah tak lagi se-arah. Hujan sudah raat namun pipi tetap terasa basah.
"Halo, adam?"Â tanya Aya dalam telfon.
"Maaf, ini siapa?"Â kata Adam.
Mata Aya sedikit berkaca-kaca karena Adam tidak lagi mengenal suaranya. 5 Tahun bukan waktu yang sebentar. Manusia akan tetap berproses dengan atau tanpa orang yang dicintainya.Â
"Ini Aya, dam. Inget ga?"
"Oh, inget. Apa Kabar, Ya? Ada apa nelepon jam segini?"