Pada 24 November 2024 rakyat Indonesia dihebohkan dengan kabar mengejutkan yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah. Berita ini pun mendapat banyak sorotan publik dan menimbulkan perdebatan yang kontroversial di masyarakat. Seorang siswa dari SMKN 4 Semarang berinisial GRO menjadi korban penembakan oleh aparatur kepolisian. Di karenakan peristiwa penembakan ini, GRO harus meregang nyawa di usia yang masih sangat muda yaitu 17 tahun.
Korban adalah siswa kelas XI jurusan Teknik Mesin yang berprestasi di sekolahnya, bahkan sudah meraih banyak penghargaan seperti juara lomba paskibra di akademi kepolisian. Pihak sekolah mengatakan bahwa korban adalah anak baik dan teladan di sekolah. Teman-teman GRO juga mengatakan bahwa ia adalah anak yang teladan dan sikapnya sehari-hari juga baik.Â
 Selain GRO, korban dari peristiwa penembakan ini ada 2 orang lainnya yaitu AD (17) dan SA (16) yang mengalami luka tembak di tangan dan dada, AD dan SA merupakan teman dari GRO. Peristiwa ini dilakukan oleh Aipda Robig Zaenudin (38) yang merupakan anggota Satresnarkoba Polrestabes Semarang.
Kronologi KejadianÂ
Kejadian ini terjadi pada hari minggu di sekitar jalan Perumahan Paramount, Semarang Barat pada pukul 01.00 dini hari. Awalnya Aipda Robig Zaenudin sedang melintas bersama satu temannya yang berinisial S, lalu melihat tawuran pelajar dan bermaksud untuk melerainya. Diketahui tawuran ini terjadi antara geng Tanggul Pojok dan geng Seroja, sedangkan korban tergabung dalam geng Tanggul Pojok. Saat berusaha melerai tawuran, diketahui bahwa para remaja tersebut sempat memberontak dan tidak kooperatif sehingga situasi menjadi tidak kondusif. Berdasarkan informasi yang didapat, beberapa remaja juga berusaha untuk menyerang polisi. Melihat situasi semakin tidak terkendali, polisi melakukan tindakan yang tegas yaitu dengan melakukan penembakan. Korban ditembak di bagian pinggul dan langsung tidak sadarkan diri di tempat, sementara AD dan SA masih sadarkan diri namun terluka parah. Mengetahui hal tersebut, anggota geng lawan yaitu geng Saroja segera membantu membawa korban ke RSUP Dr Kariadi Semarang untuk dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Sayangnya, setelah beberapa saat dirawat di rumah sakit nyawa korban sudah tidak tertolong. Lalu korban dinyatakan meninggal dunia pada pukul 02.00 dini hari.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Banyak sekali berita simpang siur yang bisa kita baca tentang kasus ini di banyak platform, ada berbagai macam versi kesaksian dari warga sekitar. Contohnya seperti satpam perumahan paramount yang mengaku tidak melihat adanya tawuran yang dilakukan di area perumahan itu saat dini hari, beberapa saksi yang berada di TKP pada saat peristiwa itu terjadi dan juga rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa tidak terlihat tawuran dan tidak terlihat ada yang sedang membubarkan tawuran, rekaman CCTV justru menunjukkan bahwa terlihat polisi yang berjalan dengan sempoyongan. Pihak kepolisian juga dianggap tidak transparan terhadap kejadian yang sebenarnya terjadi, sehingga menimbulkan kecurigaan oleh masyarakat. Di media sosial juga beredar kabar bahwa sebenarnya korban menyerempet kendaraan polisi di jalan, namun karena kabar ini tidak disertai data yang valid maka penjelasan lebih lanjut belum diketahui.
Masih adakah perlindungan HAM dan kemanusiaan?Â
Tentunya kejadian ini membuat kita semua bertanya, dimana letak keadilan dan kemanusiaan. Bukankah keadilan dan kemanusiaan merupakan hal yang wajib dijunjung tinggi di negara ini? Bahkan, prinsip HAM juga sudah menekankan bahwa semua orang berhak untuk hidup dan harus mengedepankan perlindungan hak hidup. Setiap individu tidak boleh dihukum mati tanpa proses hukum yang sah, sejatinya tidak ada manusia yang layak mendapatkan perlakuan yang kejam dan penyiksaan. Hal ini sangat memprihatinkan dan menyayat hati mengingat bahwa pelaksanaan hukum tidak berjalan sesuai dengan keadilan dan prinsip HAM. Maka dari itu, patut dipertanyakan tentang pengetahuan polisi akan peraturan tentang melindungi hak hidup setiap individu.
Â
Ketidakpercayaan yang tumbuh di masyarakat
Kasus ini sangat viral, bahkan menjadi trending topic di banyak media sosial seperti X dan juga TikTok. Banyak orang berkomentar negatif tentang pilihan polisi yang dinilai terlalu gegabah dan tidak bijaksana. Adanya kasus ini membuat masyarakat bertanya-tanya tentang hubungan aparat dengan masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap aparatur kepolisian. Karena yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat justru melakukan tindakan kekerasan. Polisi merupakan garda terdepan dalam menjaga ketertiban, ketentraman, dan keamanan masyarakat. Stigma masyarakat mengenai kepolisian juga semakin bertambah, bahkan masyarakat merasa cemas dan takut karena kejadian ini bisa terjadi ke siapa saja. Ini merupakan tugas aparatur kepolisian untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, menciptakan lingkungan yang sejahtera, dan membangun citra yang lebih baik kedepannya.
Â
Penyalahgunaan Kekuatan dan Tindakan BerlebihanÂ
Dalam kasus ini jelas terlihat adanya penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan berlebihan oleh aparatur kepolisian. Menurut aturan seharusnya tindakan kepolisian harus sesuai dengan ancaman yang dihadapi. Polisi seharusnya mencari cara untuk mengendalikan situasi dengan cara yang tidak berbahaya dan meminimalisir adanya kerugian atau kerusakan. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Aipda RZ. Apakah tawuran remaja adalah kasus kejahatan serius yang mengancam nyawa aparatur kepolisian sehingga polisi harus bertindak sejauh itu hingga merenggut nyawa anak remaja? Dari sini kita bisa melihat bahwa prosedur penertiban ini dinilai sangat tidak wajar dan tidak tepat. Ketika ingin melakukan tindakan represif, para polisi seharusnya bisa mengevaluasi apakah kondisi itu benar-benar memerlukan kekerasan, atau ada Langkah lain yang lebih bijaksana yang bisa dilakukan. Meskipun dalam situasi yang sangat genting dan mengancam nyawa, seharusnya polisi bisa mengarahkan tembakan yang tidak mengenai langsung ke tubuh seseorang. Polisi bisa saja melakukan tembakan peringatan sebanyak tiga kali, dilakukan dengan cara menembak atas atau menembak tanah sebagai tanda peringatan.
Evaluasi Proses Penegakkan HukumÂ
Dari banyaknya hal yang janggal dalam kasus ini, hal penting yang harus diperhatikan adalah evaluasi proses penegakkan hukum. Tentunya harus dilakukan penyegaran kembali kepada aparatur kepolisian mengenai penggunaan senjata api dan kapan waktu penggunaannya yang tepat. Kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk menertibkan suatu masalah, tindakan represif adalah langkah terakhir bila peringatan lainnya gagal. Perlu dilakukan pelatihan dan Pendidikan yang lebih mendalam untuk apparat kepolisian untuk menangani bagaimana situasi genting dapat diselesaikan dengan cara yang lebih manusiawi dan yang terpenting tidak memakan korban jiwa. Semoga kedepannya, setiap keputusan yang dibuat dalam proses penegakkan hukum dilakukan dengan lebih bijaksana. Harapannya adalah semoga aparatur kepolisian bisa merefleksikan kejadian ini supaya kasus mengenaskan seperti ini tidak akan terulang kembali di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H