Kesunyian pecah oleh goresan tinta hitam yang hendak melukiskan sebuah catatan panjang pada sehelai kertas. Susunan katanya sangat tidak rapi, tulisannya jauh dari kata eksotis. Suara kertas bergesekan mulai terdengar, rupanya dia mulai menulis di lembaran kertas lain. Pena masih setia di dalam cengkraman. Seakan masih sudi untuk membantu pemuda itu dalam mencurahkan segala pikirannya. Sesekali pemuda itu menyibak rambut ikalnya ke belakang, memerintahkan agar tidak mengganggu pekerjaannya. Bagaimana tidak? Petinggi desa tempat tinggalnya tiba menerima ajakan kontraktor untuk membangun fasilitas yang untuk saat ini terbilang masih sangat mewah bagi masyarakat. Fasilitas yang sama sekali tidak dibutuhkan. Yang ada malah pembabatan tanah hijau di lingkungan mereka. Tentu saja, perlu lahan yang luas demi mencapai tujuan yang bisa dibilang rentan, terlebih desa ini memiliki lahan kosong yang cukup luas, bisa dibilang cukup untuk "menyamakan diri" dengan kota besar di luar sana. Pejabat desa bilang bahwa hal ini untuk kemakmuran masyarakat. Tapi sesuatu yang mendadak ini seakan membuat masyarakat bertaruh pada hal yang belum pasti.
Topik ini memangkas habis kewarasannya. Pertanyaan yang diawali dengan kata "Bagaimana bisa" selalu terlintas. Tangannya terus menulis sambil berpikir, langkah apa yang harus ia lakukan untuk menghentikannya?
Tiga ketukan dari arah jendela memecah segala pikiran yang menyiksa. Dia menoleh dan berdiri. Tangan itu segera menggenggam tirai dengan kasar dan membukanya dengan sedikit penekanan antara meredam suara maupun melampiaskan beban pikirannya. Dilihatnya seorang pemuda tengah berjongkok di depan jendela kamar dengan ciri khas ikat kepala merahnya. Pemuda itu memberi isyarat untuk segera membuka jendela. Tanpa pikir panjang, jendela itu dibuka lebar-lebar. Udara dingin berebut masuk, begitu pula dengan pemuda diluar. Dengan cekatan dia masuk ke dalam kamar. Jendela kembali ditutup dengan tenang, memutus udara dingin yang mulai berebut masuk. Tirai kembali tertutup seperti keadaan semula.
Sambil bersandar pada tembok dekat jendela, Rey mendengarkan dengan seksama. Rekannya, Ardian duduk di atas kasur. Ada kabar kurang mengenakkan hati yang rupanya dibawa oleh sahabatnya. Mobil proyek mulai berdatangan. Ada kemungkinan pembangunan dilakukan dua minggu kemudian. Lebih cepat dari yang seharusnya. Keduanya terhanyut dalam kesunyian dengan pikiran yang acak.
Ardian berusaha meyakinkan Rey bahwa remaja Karang Taruna ingin membantunya agat proyek ini dihentikan. Masalahnya Rey selalu saja memikul beban bersama seorang diri. Menyelesaikan masalah universal sendirian. Sudah menjadi kebiasaannya memang, tapi hal ini tidaklah sehat.
Bujukan Ardian tiada hasil. Rey tetap berusaha untuk berbicara dengan petinggi sendirian. Ucapan Ardian seakan tidak digubris. Rey yakin bisa meyakinkan para petinggi hanya dengan kata-katanya seorang. Karena dia yang paham situasinya, dia mengerti apa yang harus dilakukan jika rencana tidak berjalan dengan baik.
Tepat pukul 12 malam, Ardian pamit. Keluar lewat jendela yang sama. Dari pembahasan ini tak banyak yang berubah, hanya waktunya saja yang berubah. Sejujurnya Rey semakin panik dengan kabar baru ini. Anehnya juga, masyarakat desa terlihat sangat antusias dengan pembangunan yang jelas-jelas merugikan mereka. Mungkin ada hal yang tidak diketahui, Ada yang disembunyikan.
Mencoba untuk menenangkan diri, Rey mencoba untuk tertidur malam itu. Membiarkan kertas di atas meja tetap berserakan.
Malam telah tenggelam, matahari menggantikan peran bulan dalam menemani manusia dalam menjalani kegiatannya. Suara gedoran dari arah jendela membuat para burung yang hinggap di atas pohon mangga takut untuk berkicau. Dengan kelopak mata yang enggan terbuka, Rey memaksakan tubuhnya untuk segera bangun dan merespon gedoran yang tak kunjung reda. Jendela itu dibuka. Wajah panik sahabatnya semakin membuat Rey terbangun. Dia menoleh pada lelaki muda dengan raut wajah cemas yang berdiri di samping Ardian. Mereka berkata bahwa ada sesuatu yang tidak beres di luar sana. Rey yang memang sudah bangun bergegas mengikuti kemana Ardian dan rekannya yang lain pergi membawanya.
Mereka berdua membawa Rey pada kerumunan banyak orang. Di tengah-tengah pandangan mata masyarakat berdirilah seseorang dengan jas rapi yang tengah mengklaim bahwa acara ini merupakan acara peletakan batu pertama sebelum proyek dilakukan. Batu itu sudah tertancap sebelum Rey datang.
Sadar bahwa kedatangannya sudah sangat terlambat, Rey spontan berteriak "Berhenti!" tubuhnya mulai menerobos kerumunan.
Seketika pusat dari banyaknya mata memandang beralih kepada Rey yang secara serampangan berteriak tanpa aba-aba. Rey paham bahwa tindakannya kali ini tidak bisa menghentikan apapun. Dia mulai memaksa otaknya untuk berputar. Nampaknya masyarakat sekitar tidak ada niatan untuk menghentikan proyek itu. Tidak ada satupun yang menentang, tidak ada yang berniat protes. Tidak ada...
Tampaknya situasi memaksa Rey untuk melakukan pembicaraan tepat dihadapan masyarakat. Walau kesempatan untuk menghentikan proyek ini nyaris tidak ada, setidaknya ada harapan untuk menyadarkan masyarakat dan merebut kembali kemakmuran yang hampir dirampas. Setidaknya itu tujuan pasti dari rencananya. Sambil menatap pria itu. Rey mencoba untuk berbicara lebih dulu. Tetapi...
"Selamat pagi, Apakah ada hal yang mengganggu, Rey Adinasa?" ucap pria itu.
Rey terbelalak. Kalimat pertama yang akan ia lontarkan pupus seiringan dengan sebuah nama yang terlontar dari lawan bicaranya. Bagaimana tidak? Pria yang bahkan baru ia temui saat ini mengenalnya dan menyebut namanya dengan nada akrab sampai-sampai bulu kuduknya berdiri tanpa sebab.
Pria itu masih tersenyum. Dan akan selalu tersenyum.
Kalimat yang sempat lari, berangsur kembali "Tindakan anda merugikan kami! Kalian bisa saja mengubur kemakmuran yang sudah kami petik selama ini kena-"
"Bagian mana yang merugikan? Apakah anda punya bukti bahwa tindakan ini merugikan?" kata-kata Rey terpotong oleh beberapa pertanyaan.
Rey menoleh, mencoba untuk meminta bantuan kepada rekannya. Tapi lagi-lagi mereka menggeleng. Mereka tidak tahu apa-apa. Rey tersadar. Niatan ini hanya datang dari dirinya sendiri, rencana ini hanya dia yang tahu. Tidak ada kawan yang bisa membantunya. Tidak ada yang sepemikiran dengan dirinya. Bahkan dia menyembunyikan rencana kecilnya dari sahabatnya sendiri.
Belum sempat menjawab, pria itu kembali bertanya "Kemakmuran apa yang kau maksud anak muda?" pria dengan jas hitam itu mengangkat tangannya, menyenderkan beban tangannya pada pundak Rey, mencengkramnya. Seketika Rey merasakan hawa dingin mencekam yang asalnya entah darimana.
"Ingin menghentikan usahaku hm? Apa kau yakin? Masyarakatmu sudah menaruh harapan dan rasa percaya padaku, bahkan mereka begitu antusias menyaksikan harapan baru mereka segera dibangun" senyumnya semakin terlihat mengerikan "Apakah mereka akan percaya hanya dengan kata-katamu Rey?"
Sebenarnya Rey bisa membalasnya, namun usaha apa yang bisa ia lakukan sendirian? Ia tidak punya dukungan. Rekannya bahkan tidak bisa berkata apa-apa.
Itu semua karena ia bersikeras untuk melakukannya sendirian.
Diserang dengan banyak pertanyaan, Rey merasa bahwa tatapan yang mengarah padanya menjadi seperti jarum yang semakin menusuk. Dia mencoba untuk menahannya. Rey yang sudah menjadi bahan tontonan tidak bisa menjawab pertanyaan dari pria itu. Tapi dia mencoba untuk menyelamatkan desa dimana ia pernah tumbuh menjadi seorang pemuda. Ia menepis tangan yang mencengkram pundaknya. Kakinya mulai berjalan ke tempat dimana batu pertama diletakkan.
"Apa kau akan melakukannya sendirian?" dari kejauhan pria itu berbicara. Ucapannya tidak menghentikan langkahnya.
"Aku masih punya kawan"
"Sungguh? Apakah mereka tahu dengan apa yang akan kau rencanakan?" seakan bisa membaca pikirannya, kalimat itu berhasil menghentikan langkah Rey.
Rey menoleh kearah pria berjas itu. Sebelumnya ia tak mengamatinya dengan jelas tapi, pria itu menggunakan pakaian bak bangsawan Prancis lengkap dengan tongkat kayu berkilat dan juga topi tabung yang menempel pada kepala dengan rambut ikal yang menari tersapu sepoi angin yang begitu lembut.
Pria itu menyentuh ujung topinya, bagian tangannya menutupi mata. Memperlihatkan sisi lain dalam dirinya. Pria itu mula mendengus pelan sebelum pada akhirnya berkata "Kau tidak akan bisa melakukannya sendirian, nak" sambil terus melangkah, dia kembali menambahkan sebuah kalimat
"Dunia orang dewasa adalah sebuah dunia yang kejam, dunia tanpa belas kasih."
Tanpa disangka pria itu sudah ada si hadapannya. Rey mendongak menatap wajah pria itu. Wajahnya bagitu familiar, sepertinya dia mengenal pria ini.
"Kau tidak bisa memikul segalanya sendirian, Rey. Kau juga tidak bisa meyakinkan ribuan orang hanya dengan satu kepala." Sambil tersenyum, dia menyambung" Ada kalanya kau harus membagi bebanmu dengan orang lain. Kau tak akan bisa mencapai segalanya sendirian." Mata itu menatap lembut pada seorang pemuda di hadapannya, tusukan dirasakan Rey mulai memudar.
"Siapa anda?" Ia yakin pernah melihat pria itu di suatu tempat.
Pria itu hanya tersenyum. Senyumnya seakan tak pernah pudar. "Aku..."
"Rey Adinasa!! Tangi nakk! Wes awan kok nembe tangi!"
Rey kaget bukan main. Tubuhnya tiba-tiba saja terduduk. Jantungnya berdegub kencang karena kaget. Perlahan ia kembali tenang. Rey terdiam beberapa saat. Ternyata mimpinya berawal dari cerita Ardian semalam. Dia mengatakan kalau tiba-tiba kontraktor itu berniat  menghancurkan desa, kemudian tertawa jahat.
Lagi-lagi... Rey terpengaruh oleh imajinasi liar dari sahabatnya.
Faktanya mereka bukan orang jahat, mereka hanya memudahkan masyarakatnya dengan membangun beberapa fasilitas pertanian di desanya.
Namun Rey tersadar atas suatu hal. Ia tidak bisa melagkah sendirian jika dia ingin melindungi kampung halamannya. Ia tidak bisa melakukan segalanya sendirian.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, menampilkan paras ibu-ibu dengan daster yang tengah memegang sapu. Tatapannya yang tajam membuat Rey tersenyum kecut.
Ah, seharusnya ia tidak mendengarkan cerita Ardian semalam...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI