Mohon tunggu...
Claudia May
Claudia May Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

Menyukai segala hal mengenai kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

31 Desember

4 Agustus 2024   16:06 Diperbarui: 4 Agustus 2024   21:33 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Peter Spencer: https://www.pexels.com/photo/two-fireworks-634686/

Hari itu sama seperti saat ini. Sama sekali tidak ada yang berubah, kecuali aku terus menunggunya disini. Di bangsal rumah sakit yang kosong ini aku menatap ke sorot bintang redup diluar sana. Aku menggumam, apakah jarakku dengan dia sejauh aku dengan bintang yang berkelip itu? Di jendela kamar yang hampa ini, aku terus menatap ke arah luar jendela dengan pikiran yang entah kemana. Besok sudah tahun baru, kembang api hampir bermekaran mulai jam 12 malam nanti. Tapi apakah kau tetap tidak datang? Hatiku menggerutu, salahkah aku untuk berharap bahwa dia menepati janjinya untuk datang kemari? Janji dari sepuluh tahun yang lalu?

Dia yang kumaksud adalah seorang anak gadis ceria seperti bunga matahari dari sepuluh tahun yang lalu. Maafkan aku jika ingatan tentang dia sudah mulai memudar, tapi senyumnya masih terasa nyata bagiku. Seperti baru kemarin aku bertemu dengannya. Bermula dari dia yang mengaku tersesat dan menemukan kamar ini, kemudian menatapku dengan tatapan kaget seolah baru pertama kali melihat manusia sepertiku. Semua anak yang melihatku pasti mengejek kepalaku seperti bola sihir yang berkilau, dan kukira kau akan bicara begitu juga. Tapi ternyata tidak. Kau terlihat lebih dewasa dibandingkan anak-anak seumuran kita.

Sejak hari itu kau sering datang ke kamarku dan secara alami kita menjadi teman baik. Teman berharga yang menuntunku untuk terus berjuang melawan penyakitku. Dan terus berada di sisiku untuk sekedar berbicara atau bermain bersama. Namun saat nenekmu sembuh, kau berhenti untuk datang kemari. Entah karena jiwa sosialnya yang tinggi atau bagaimana, dia berjanji untuk menemuiku lagi dan melihat kembang api bersama pada 31 Desember nanti selesai aku melakukan operasi. Bahkan sebelum pergi, dia mengomeliku agar terus berjuang untuk hidup. Itu kata terakhirnya sebelum dia meninggalkan kamar.

Singkatnya, operasiku berhasil dan aku sedang dalam tahap pemulihan. Dokter bahkan memujiku bahwa pemulihanku berjalan dengan sangat baik sehingga diperkirakan aku bisa pulang lebih awal. Padahal, aku berusaha pulih untuk terlihat lebih baik pada 31 Desember nanti.

Waktu berlalu dengan cepat dan sekarang sudah tanggal 31 Desember pukul 7 malam. Aku duduk dikasur sembari menatap ke jendela. Jalanan terlihat begitu sibuk malam ini, langit malam juga tampak cerah seakan menyambut pergantian tahun tengah malam nanti. Sepanjang waktu aku bersenandung sambil menunggunya datang. Aku terus menunggunya, tapi dia tak kunjung datang. Sampai suatu ketika ayahku datang dengan sedikit berlari kepadaku dan bercerita bahwa

Dia, gadis itu mengalami kecelakaan ketika hendak ke rumah sakit ini.

Dan dikatakan bawa dia meninggal ditempat.

Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya. Yang jelas hari itu, begitu kacau.

"AAAAAAAAHHHH" Kamu kemana? kenapa malah kamu yang pergi bukannya aku? "Aaa....." bagaimana dengan janji itu, kemana aku harus mencarimu?

Bulir air mata terus berjatuhan merindukan tanah. Dia bukan pembohong tapi dia... kenapa harus dia yang pergi? Tepat sebelum kita melihat kembang api bersama? Kenapa aku yang harus merasakan ini? Disini hampa sekali. Rasanya begitu dingin, lebih dingin dari es krim yang kau bawakan hari itu.

Mengingatmu sungguh menyakitkan, begitu mengerikan sampai-sampai aku tidak bisa merasakan apapun di tubuhku ini. Mengingatmu bahwa kau tidak hidup lagi di dunia ini, mengingat bahwa aku sudah tidak bisa menggapaimu, terasa amat sangat hampa. Apa kau sudah berada di pelukan Tuhan sekarang? Bisakah kamu menjawabku? Bisakah aku mendengar tawamu lagi? Sebentar saja.

Perawat yang berjaga di rumah sakit tergopoh-gopoh datang ke bangsal sepi ini sembari mencoba menenangkanku di atas kasur putih ini. Mungkin mereka mendengar teriakanku dan terus bergegas. Dan mungkin juga mereka merasa kaget karena aku yang biasanya tenang dibandingkan pasien kejiwaan lain, tiba-tiba tantrum. Mereka mungkin juga bertanya-tanya mengapa aku tantrum.

Ragaku memberontak, mataku terus saja menangis dan otakku masih mengungkit kenangan lama. Aku sudah hidup lebih lama sekarang, tapi kenapa malah kau yang pergi? Apa karena Tuhan lebih mencintaimu sampai kau dibawanya pergi lebih dulu setelah mencampakanku untuk hidup lebih panjang di dunia ini?

Apakah ini salahku untuk berharap pada janji itu? Kalau kau tidak datang seharusnya kau masih hidup. Kalau kau tidak tersesat, harusnya kau tidak menemukanku. Apakah aku titik masalah yang membuatmu mati? Kenapa? Apakah aku tidak berhak bahagia sebelum bahkan sesudah ditemukan oleh dirimu?

Semakin aku bertanya, semakin berisik isi kepalaku ini. Aku lelah, sangat lelah.

Pada akhirnya aku terpaksa untuk menenangkan diri dan dipaksa untuk berbaring. Menarik jiwa dalam diri untuk tidak coba-coba mengungkit memori itu. Memori yang kusimpan dengan rapi itu, memori yang begitu indah sekaligus menyakitkan. Sudah saatnya aku menyerah dan mulai terbaring sambil menatap ke arah jendela. Para perawat sibuk menyibakkan kata-kata menenangkan yang sudah kudengar lebih dari ratusan kali.

Sekarang aku benar-benar tidak peduli dengan perkataan yang katanya menenangkan itu. Lagipula, aku sudah lelah menunggu dia yang tidak akan pernah datang dan menemuiku lagi.

Dari arah jendela, di langit yang jauh itu sebuah cahaya merah mencoba untuk mencapai cakrawala. Sendirian. Dan kemudian meledak dengan indahnya. Menebarkan cahaya berwarna warni. Bahkan secercah cahaya indah sepertinya tidak pernah bisa menembus langit malam. Seperti aku yang mencoba untuk menggapaimu.

Ah... Kembang apinya sudah dimulai ya...

Kembang api lainnya mulai bermunculan, kemudian bermekaran satu per satu menjadikan bangsal rumah sakit ini sedikit berisik. Aku mulai memejamkan mataku dan mencoba untuk tertidur. Sebelum terlelap, aku tiba-tiba teringat sesuatu yang bisa dibilang penting atau bahkan tidak penting.

Namanya...

Siapa ya namanya? aku sudah tidak terlalu mengingat namanya...

Kalau tidak salah, apakah namanya... Amanda...?

Amanda ya?

Rupanya dia memiliki nama cantik yang cocok dengan dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun