Mengingatmu sungguh menyakitkan, begitu mengerikan sampai-sampai aku tidak bisa merasakan apapun di tubuhku ini. Mengingatmu bahwa kau tidak hidup lagi di dunia ini, mengingat bahwa aku sudah tidak bisa menggapaimu, terasa amat sangat hampa. Apa kau sudah berada di pelukan Tuhan sekarang? Bisakah kamu menjawabku? Bisakah aku mendengar tawamu lagi? Sebentar saja.
Perawat yang berjaga di rumah sakit tergopoh-gopoh datang ke bangsal sepi ini sembari mencoba menenangkanku di atas kasur putih ini. Mungkin mereka mendengar teriakanku dan terus bergegas. Dan mungkin juga mereka merasa kaget karena aku yang biasanya tenang dibandingkan pasien kejiwaan lain, tiba-tiba tantrum. Mereka mungkin juga bertanya-tanya mengapa aku tantrum.
Ragaku memberontak, mataku terus saja menangis dan otakku masih mengungkit kenangan lama. Aku sudah hidup lebih lama sekarang, tapi kenapa malah kau yang pergi? Apa karena Tuhan lebih mencintaimu sampai kau dibawanya pergi lebih dulu setelah mencampakanku untuk hidup lebih panjang di dunia ini?
Apakah ini salahku untuk berharap pada janji itu? Kalau kau tidak datang seharusnya kau masih hidup. Kalau kau tidak tersesat, harusnya kau tidak menemukanku. Apakah aku titik masalah yang membuatmu mati? Kenapa? Apakah aku tidak berhak bahagia sebelum bahkan sesudah ditemukan oleh dirimu?
Semakin aku bertanya, semakin berisik isi kepalaku ini. Aku lelah, sangat lelah.
Pada akhirnya aku terpaksa untuk menenangkan diri dan dipaksa untuk berbaring. Menarik jiwa dalam diri untuk tidak coba-coba mengungkit memori itu. Memori yang kusimpan dengan rapi itu, memori yang begitu indah sekaligus menyakitkan. Sudah saatnya aku menyerah dan mulai terbaring sambil menatap ke arah jendela. Para perawat sibuk menyibakkan kata-kata menenangkan yang sudah kudengar lebih dari ratusan kali.
Sekarang aku benar-benar tidak peduli dengan perkataan yang katanya menenangkan itu. Lagipula, aku sudah lelah menunggu dia yang tidak akan pernah datang dan menemuiku lagi.
Dari arah jendela, di langit yang jauh itu sebuah cahaya merah mencoba untuk mencapai cakrawala. Sendirian. Dan kemudian meledak dengan indahnya. Menebarkan cahaya berwarna warni. Bahkan secercah cahaya indah sepertinya tidak pernah bisa menembus langit malam. Seperti aku yang mencoba untuk menggapaimu.
Ah... Kembang apinya sudah dimulai ya...
Kembang api lainnya mulai bermunculan, kemudian bermekaran satu per satu menjadikan bangsal rumah sakit ini sedikit berisik. Aku mulai memejamkan mataku dan mencoba untuk tertidur. Sebelum terlelap, aku tiba-tiba teringat sesuatu yang bisa dibilang penting atau bahkan tidak penting.
Namanya...