Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Perang Rusia Ukraina Masih Berlanjut

25 Maret 2022   07:30 Diperbarui: 25 Maret 2022   19:53 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernyataan Biden agar Rusia keluar dari G20 (Foto dokpri) 

Kemarin siang harga bensin kembali normal sekitar €1,7 per liter. Mumpung lagi 'murah' kesempatan untuk pergi ke kota terdekat membeli peralatan hobi yang selama ini sempat tertunda.

Belakangan saya mulai rajin melukis. Suami senang utak-atik kayu. Sayangnya toko hobi di kota kami terbakar habis beberapa tahun lalu. Sampai saat ini tak ada tanda-tanda akan dibangun kembali. Terpaksa harus keluar kota setiap kali membutuhkan pernak-pernik hobi.

Bulan lalu saya masih lihat deretan botol linoil (olio puro di lino) tersusun rapi di perhelatan lukis. Karena belum yakin tentang minyak ini, jadi saya tunda untuk membeli. Namun kemarin kecewa sekali sebab barang yang dicari tidak ada. 

Tak hanya minyak goreng yang mulai langka, ternyata minyak untuk pengencer cat juga ikut habis di pasaran. Wah, seru juga ya cerita tentang perminyakan yang sangat universal ini.

Daripada pulang lenggang, akhirnya saya membeli tanaman stroberi di toko tersebut. Sebagai konsekuensi, pagi ini saya harus 'berkebun'. Sekalian deh karena memang sudah waktunya mengintip 'kebun' di teras yang hanya sepetak.

Sejak pecah perang Rusia-Ukraina, televisi di rumah menyala sejak pagi menemani sarapan sampai menjelang tidur. 

Sebetulnya saya lebih suka mendengarkan radio dibanding menonton TV. Tapi karena situasinya selalu bikin waswas, terpaksa saya harus memonitor setiap perkembangan yang terjadi lewat berita-berita yang disuguhkan televisi di negeri ini.

Hari ini genap sebulan Rusia menyerang Ukraina. Presiden Zelensky tampil beberapa kali di televisi memberi himbauan untuk turun ke alun-alun kota, berdiri bersama memberi dukungan kepada Ukraina dan menyerukan perdamaian. Seruan ini tentunya berlaku juga untuk warga Italia, Eropa dan siapa saja yang mendukung agar perang segera dihentikan.

Hari ketiga musim semi, di bawah matahari dengan suhu 11°C kok pandangan saya memudar. Sekeliling saya seperti berkabut tapi hangat. Afa, biasanya muncul jika udara benar-benar panas menyengat.

Sambil menyimak ucapan presiden Ukraina dari balik jendela dan melepas pembungkus tanaman yang selama musim dingin melindungi kaktus-kaktus di teras, saya mencium bau asap tapi tak terlihat asap.

Curiga karena semalam berita terakhir mengabarkan soal kebakaran lagi di area Chernobyl, saya buru-buru meninggalkan teras dan menutup semua pintu serta jendela. 

Saya langsung telpon suami dan cari info kalau-kalau ada kebakaran di sekitar tempat kami atau mungkin asap sisa Chernobyl terbawa angin sampai ke Oderzo.

Sekitar satu jam kemudian, ada pesan masuk dari teman yang mengirim surat edaran dari comune tentang insiden kebakaran hutan di Belluno, sekitar 30 km dari tempat kami. 

Dalam edaran tersebut, warga diminta untuk menutup semua pintu jendela dan diam di rumah sampai keadaan dianggap aman. Wah, berarti tidak bisa menyerukan perdamaian karena dihimbau untuk tidak keluar rumah.

Saya jadi ingat hari pertama perang, malam itu saya telat memasak. Waktu menyalakan kompor, warna api merah terang dan berbau aneh. 

Saya pikir kompornya kotor, jadi saya bersihkan dan nyalakan kembali. Tapi tetap saja merah dan baunya semakin aneh. Buru-buru saya buka jendela walau udara masih sangat dingin. Seharian itu berita banyak membahas soal gas yang impor dari Rusia.

Pikiran saya saat itu langsung curiga membayangkan kalau memang terjadi perang (waktu itu saya belum sadar bahwa sudah terjadi perang), Rusia tak perlu senjata untuk menghabisi lawan. Cukup memasukkan racun ke dalam gas yang mengalir ke rumah-rumah, maka selesailah semua!

Sejak malam itu, saya selalu hati-hati saat menyalakan kompor. Selain harga gas dan listriknya melonjak, saya harus bijak mengonsumsi. Semua kemungkinan negatif yang terlintas dalam benak saya juga menjadi pertimbangan untuk selalu waspada. Periksa lubang-lubang angin agar tetap terbuka dan lain-lain.

Jauh sebelum ada konflik, kami pernah disuguhkan miniseri wawancara eksklusif Putin dengan Oliver Stone. Waktu itu saya terkesan sekali dengan sosok presiden yang sangat bersahaja. Tak segan menyetir mobil sambil diwawancara. Main hockey bersama tim, berjudo dengan bocah, main piano bahkan nyanyi solo depan publik.

Kadang suka menyesal juga karena tahun 1998 dulu, saya menolak beasiswa belajar di Universitas Saint Petersburg Rusia. 

Surat pengantar untuk membuat visa, masih saya simpan bersama dokumen penting lainnya. Suratnya ditandatangani oleh Alexander N. Komarov selaku pejabat Kepala Bagian Kebudayaan Rusia masa itu.

Beasiswanya komplet. Dari fakultas persiapan, kesetaraan S1 sampai S2 Linguistik Rusia. Jadi waktunya tidak dibatasi. Saya terpaksa membatalkan karena papa saya meninggal. Kasihan jika harus meninggalkan mama sendirian.

Kalau mereka sudah bercerita tentang literatur Sastra Indonesia yang banyak mengisi rak-rak perpustakaan di Rusia, rasanya ingin sekali segera ke sana. Dendam karena masa kuliah dulu, sulit mendapatkan literatur karya sastra di negeri sendiri. Rupanya banyak yang diboyong ke Rusia sebab jauh lebih aman dan mereka sangat menghargai buku-buku karya sastrawan Indonesia.

Karena batal berangkat, saya hanya aktif berkegiatan di Pusat Kebudayaan Rusia di Jl. Diponegoro 12. Setiap Rabu malam menonton film-film berbahasa Rusia. Kadang mereka menggelar acara-acara budaya pada akhir pekan. Suasananya sangat akrab sehingga kami merasa nyaman bersama mereka.

Putin dan Rusia, rasanya akrab buat saya. Apalagi masa kecil dulu, saya ingat rumah sakit dekat rumah masih dengan plang yang bertuliskan Rumah Sakit Rusia. 

Saya juga masih menyimpan mimpi kalau suatu hari nanti akan jalan-jalan ke Rusia menonton pertunjukan balet di Teater Bolshoi. Ah, indah sekali kalau bisa ke sana.

Tahunya terjadi konflik berdarah yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Sungguh disayangkan.

Awal-awal pecah perang bulan Februari lalu, saya sangat sedih. Apalagi yang diserang adalah sekolah yang isinya anak-anak. Rumah sakit, universitas bahkan perumahan rakyat sipil ikut menjadi sasaran. Tidak ingin percaya, tapi banyak sekali teman-teman di sini yang berasal dari Ukraina dan Rusia. Saya kenal baik dengan mereka, bahkan dengan keluarga mereka.

Beberapa teman Rusia yang sudah lama tinggal di negeri ini, umumnya merasa terkucil. Media menyorot berbagai harta orang Rusia yang dibekukan oleh pemerintah. Mulai dari yacht mewah, vila-vila megah sampai beberapa hotel dan restoran yang konon katanya punya orang Rusia.

Kalau semua harus dibekukan, kasihan mereka (orang-orang lokal) yang bekerja di sana. Apalagi banyak sekali hotel dan restoran di Venezia yang jelas-jelas milik pengusaha-pengusaha kaya Rusia. 

Sebagai kota wisata, masa pandemi dua tahun ini, sudah banyak usaha yang terpaksa gulung tikar. Sekarang baru mulai promosi, ada lagi musibah lainnya.

Media sosial teman-teman Ukraina di sini, setiap hari hanya dipenuhi foto-foto kota yang porak poranda akibat bom. Wajah para pengungsi yang putus asa karena tidak tahu tujuan mereka. Belum lagi mafia-mafia yang memanfaatkan kesempatan memperjualbelikan manusia untuk dijadikan pelacur dan seterusnya.

Pemandangan dan suasana yang sungguh tidak nyaman tapi harus disaksikan setiap hari dalam sebulan ini. Selain harga-harga kebutuhan pokok melonjak, gaji suami juga terpotong untuk membantu korban perang.

Hari ini ada pertemuan Summit G7 di Bruxelles. Ketar-ketir juga kami menunggu keputusan para presiden yang sangat menentukan nasib kami yang tinggal di kawasan Eropa. 

Seorang teman jurnalis di sini, pagi tadi menulis surat terbuka untuk memantau ulang soal dwi kewarganegaraan buat orang Indonesia yang tinggal di luar negeri sebagai isu krusial.

Paus Francesco di Vatikan sejak kemarin menyerukan dengan marah "Più spese per armi, più pazzia" yang secara harafiah diartikan "semakin banyak pengeluaran untuk senjata, semakin gila". Dan malam ini, kegilaan yang dikhawatirkan Paus, resmi dinyatakan oleh Biden yang siap menyumbang dua miliar dollar untuk bantuan senjata dan satu miliar dollar untuk bantuan ke para pengungsi.

Oh.. oh.. jumlahnya lebih banyak untuk senjata daripada bantuan kemanusiaan!

Pernyataan Biden lainnya yang betul-betul membuat saya sangat khawatir adalah kalimat "Saya pikir Rusia harus meninggalkan G20". Artinya, tantangan berat buat Presiden Jokowi selaku pemimpin G20 (langsung saya foto dari televisi). Selain itu, Biden juga mengatakan jika Putin menggunakan senjata kimia, NATO akan merespon.

Setelah dua tahunan terbiasa memakai masker sebagai pelengkap wajah, mungkin sekarang saatnya membiasakan diri memakai masker oksigen untuk berjaga-jaga. 

Dulu kalau menonton film-film futuristik tentang perang virus, senjata kimia dan sebagainya, siapa sangka kalau semua imajinasi ini akhirnya 'akan' dan sudah menjadi kenyataan.

Harga bahan pokok sudah pada naik, gaji suami bakal terpotong kembali karena ada tambahan anggaran untuk bantuan senjata. Kalau terus memikirkan semua yang akan terjadi besok, betul sekali peringatan Paus Francesco bahwa kita bisa menjadi gila.

Mending besok urus tanaman stroberi di teras. Kemarin saya memilih yang sudah berbunga. Mudah-mudahan bisa tumbuh subur dan menghasilkan buah yang manis. Setidaknya, setiap hari akan ada harapan menantikan bunga stroberi berganti menjadi buah yang siap disantap. 

Salam damai teman, hanya bisa berdoa semoga perang segera berakhir!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun