Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mensyukuri Kemarau Rawamangun dan Oderzo

5 September 2021   14:00 Diperbarui: 6 September 2021   05:04 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Secara etimologi, Rawamangun sebagai wilayah tempat tinggal kami, merupakan paduan dua kata, yaitu rawa dan mangun. 

Mangun adalah kata turunan dari kata dasar wangun (bahasa Jawa), yang berarti bangun. Rawamangun adalah rawa yang dibangun. Sebab dahulunya memang hanya berupa hamparan rawa sejauh mata memandang.

Abah (sebutan kakek kami) pernah bercerita kalau dulu wilayah ini hanya dihuni oleh para katak. Kehadiran hewan ini biasanya lebih dirasakan setelah hujan, dari kejauhan bisa terdengar dengkang antar katak bertekur kuak-kuak. 

Bagi mereka yang senang menikmati katak bernyanyi, suaranya bisa sangat menghibur. Entah bagi mereka yang tidak suka. Mungkin terganggu dengan suara katak menguak. 

Masa itu belum ada televisi, radio pun masih menjadi benda mewah. Bagi Abah, suara nyanyian katak selain menjadi hiburan, juga sebagai pertanda bahwa wilayah tersebut cukup lembab karena banyak air.

Maka, ketika warga Matraman ramai-ramai harus pindah karena pelebaran jalan pada awal tahun 1960, Abah sangat gembira karena orang tua saya mendapat tanah penggantian di Rawamangun. 

Beliau cukup mengenal rawa di daerah ini sebab hobinya blusukan berkeliling dengan sepeda menyebar biji pohon untuk ditanam di sepanjang tepi jalan yang dilewatinya. Tak segan turun mencangkul untuk menanam pisang sebab cangkul selalu siap menemani Abah bersepeda.

Menurut Abah, tanah di daerah kami sangat subur, terbukti dari biji-bijian yang cepat tumbuh. Namun seiring perkembangan kota, rumah-rumah pun mulai dibangun. 

Masa pemerintahan gubernur Ali Sadikin tahun '70an, ruas-ruas jalan di wilayah DKI, mulai diperbaiki dan diaspal. 

Posisi rumah-rumah ditertibkan, karena proyek MHT (Muhammad Husni Thamrin) waktu itu membenahi tata kota Jakarta.

Maka, banyak pepohonan yang ditanam Abah, terpaksa harus ditebang. Untungnya depan rumah kami ada tanah lapang yang akhirnya ditetapkan sebagai jantung kota. 

Zaman badminton mulai naik daun, sebagian dari lapangan dibeton untuk menyalurkan hobi warga yang gemar olahraga ini. 

Untungnya, lapangan persis depan rumah, tetap dibiarkan sebagai taman bermain yang sempat juga menjadi lapangan voli.

Lapangan Tanah yang masih tersisa di depan rumah kami (Foto pribadi)
Lapangan Tanah yang masih tersisa di depan rumah kami (Foto pribadi)

Lapangan inilah yang menjadi tempat penyimpanan air buat kami dan warga sekitar. Walau masing-masing rumah punya sumur, berkat kemajuan teknologi yang waktu itu mulai diperkenalkan pompa tangan, maka kami pun menguruk sumur diganti pompa.

Saya ingat waktu itu ada ‘dukun’ yang menjual jasa menemukan sumber mata air. Dukun itu menggunakan kawat yang ditekuk bagian tengah membentuk lingkaran. Kedua ujung kawat yang masih lurus, diselipkan di antara kedua jempol tangan dengan posisi semua jari tegak lurus ke depan.

Awalnya, letak pompa kami berada di dekat sumur yang baru saja ditimbun. Tidak bertahan lama, air mulai habis. Mungkin karena tetangga sekitar juga memilih posisi sumur yang saling berdekatan. Lalu pompa dipindahkan ke pekarangan depan. 

Logikanya, posisi ini lebih dekat dengan lapangan sebagai sarana penyerapan air hujan. Padahal pemindahan letak pompa lebih disebabkan musim panas yang melanda Jakarta tahun 1977. 

Dampak pembangunan jalan beraspal juga ikut mengurangi jumlah air di perumahan. Misalnya got yang melintas rumah kami, bisa terlihat jelas pondasi beton yang tak pernah terlihat basah. 

Secara teori, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, sedangkan letak rumah kami agak tinggi. Maka, terjawablah permasalahan ini.

Sementara itu, usaha warga saat itu membuat beberapa lubang kecil di got masing-masing agar air bisa menyerap ke tanah. 

Maksudnya, kalau turun hujan, airnya tidak sekadar permisi numpang lewat untuk mengalir ke anak kali Sodong. Tetapi sebagian terhisap ke dalam tanah melalui lubang-lubang kecil di beberapa titik got.

Pompa air saat itu menjadi benda paling vital yang bekerja hampir 24 jam sehari. Dari pagi ketemu pagi, selalu ada 'seseorang' yang asyik memompa. 

Waktu itu ada beberapa sepupu yang tinggal bersama kami. Mereka senang sekali memompa tengah malam sampai menjelang pagi karena sekalian ingin mengadu nyali.

Ada peraturan tak tertulis di rumah, bahwa bak mandi dan ember penampungan air bersih untuk masak dan harus selalu terisi penuh. 

Maka, saya pun kebagian tugas memompa walau masih berstatus murid SD, sebab saya harus mandi dan sebagainya. 

Biasanya jatah memompa saya jam 11 sebelum berangkat sekolah siang. Masuk masa SMP, jadwalnya menjadi jam 15. Hitung-hitung sebagai pemanasan sebelum bermain voli di lapangan depan rumah.

Pemakaian pompa tangan yang nyaris tiada henti akhirnya jebol juga. Kalau sudah jebol, terpaksa ketuk rumah tetangga untuk minta air. 

Ingat sekali masa-masa harus mengangkat 2 ember penuh air bulak-balik, bergantian mengetuk pintu mereka. Kadang tetangga di seberang kiri, kadang tetangga di deret kanan. Sesekali kalau mereka tidak ada di rumah, kami ambil air di langgar seberang lapangan.

Saat itu tak pernah melintas pikiran malu, marah, sedih dan semua emosi negatif saat mengangkat air. 

Pikiran hanya bersyukur karena masih bisa punya air di musim kemarau. Jadi hanya fokus mengangkat agar air tidak menetes apalagi sampai tumpah berceceran di jalan.

Air sisa bilasan mencuci, kami manfaatkan untuk membasahi got kering depan rumah dengan harapan akan menyerap ke dalam tanah. Tiap kali kami pakai juga untuk membersihkan lantai di teras. Air cucian beras, ikan dan sayuran, kami tampung untuk menyiram pohon. Kadang tercium bau amis, tapi selalu berpikir positif bahwa buah yang dihasilkan akan terasa lebih manis sebab mendapat asupan protein dari air bekas cucian ikan dan daging.

Di pojok halaman, dulu Abah menanam pohon mangga untuk menaungi rumah biar adem. Pada musimnya, berbuah banyak sekali. Jenis mangga ubi yang sangat manis. Jadi kami berbagi rejeki dengan tetangga sekitar sebagai ungkapan terima kasih karena mereka selalu membuka pintu, siap menolong kami.

Seiring perkembangan teknologi, kami pun ikut tren masa itu untuk memakai pompa air listrik. Kalau dulu-dulu hanya fokus memompa agar tidak terjadi kecelakaan seperti gagang pompa terlontar tiba-tiba menghantam dagu, maka sejak ‘kran’ air mulai populer, tugas saya bisa lebih santai.

Namun karena jumlah penghuni rumah dalam hal ini tamu yang datang pergi cukup banyak, mesin pompa air akhirnya bermasalah juga. Terpaksa tiap kali harus kembali mengetuk rumah tetangga. Karena mesinnya sering 'ngadat', mau tak mau saya harus belajar cara mengakali mesin ini. Paling sering kejadian 'ngadat' saat musim kemarau antara 1986-1987 karena mesinnya cepat panas. 

Waktu itu hanya tinggal kami bertiga di rumah, saya dan orang tua. Papa sudah tak mungkin turun naik tangga karena rematik telah merusak persendian kaki dan lengannya, jadi saya kebagian tugas ini. Musti turun ke lubang di bawah tanah yang digali sekitar 5 meter untuk menanam mesin pompa yang mengalirkan air ke tong yang dibuatkan menara penyangga setinggi 5 meter dari permukaan tanah.

Berbekal air sebotol, saya membuka penutup mesin, memutar katup yang meletupkan sebutir mutiara sebagai penanda kekuatan daya letup air. Sisihkan sebentar mutiara ini untuk mengisi lubang tersebut dengan air untuk memancing agar keluar lebih deras. 

Kalau sudah ada tanda-tanda air mulai mancur, letakkan kembali mutiara dan tutup katupnya serapat mungkin. Tutup kembali cover mesin, air pun mengalir lancar ke atas lewat pipa yang menghubungkan mata air dan kedua tong di atas menara. Tugas saya selesai. Sementara dalam rumah, orang tua saya sibuk mengisi ember-ember, baskom bahkan berbagai panci untuk persediaan air selama musim kemarau.

Dipikir-pikir, untung juga masa itu belum banyak nyamuk denguebeterbangan di sekitar wilayah kami walau notabene lokasi ini bekas rawa. 

Cerita tentang katak, sejak wilayah ini ramai dengan pemukiman, hanya sesekali bisa mendengar dengkang katak di kejauhan. Suara ini pun segera sirna saat melihat indahnya pelangi membentang di langit.

Musim kemarau pertengahan tahun '80, saya sering mandi dan mencuci aneka lenan di sekolah. Usaha ini saya lakoni demi mengirit pemakaian air di rumah. Kebetulan saya pilih jurusan Tata Graha yang menjadwalkan praktek laundry setiap minggu. 

Selain ada kelas praktek hotel dengan sarana kamar mandi standar hotel, sekolah kami juga memiliki fasilitas WC yang sangat baik dan bersih.

Meneruskan kebiasaan Abah menebar bibit untuk menanam pohon, jaman itu kami hanya bisa menggandakan pohon jarak kepyar di sekitar lapangan depan rumah. Beberapa pohon flamboyan yang ditanam Dinas Pertamanan DKI, satu persatu mati karena kekeringan. 

Jangankan menyiram pohon di sekeliling lapangan, air yang ada pun kami eman-eman untuk bisa bertahan karena kemarau cukup panjang. Hanya jarak jenis kepyar yang masih bertahan bahkan beranak pinak memenuhi lapangan.

Oh ya, sekarang mama menanam jati, kelor dan salam di pojok lapangan. Serta beberapa tanaman bunga dan buah lain untuk menyemarakan lapangan yang beralih fungsi menjadi taman kota. 

Tahun '90an kami juga berlangganan air PAM selain tetap mempertahankan sistem pengairan yang sudah ada. Dari tong yang mudah berkarat, menjadi toren air berkapasitas besar dengan penyangga yang jauh lebih aman dan solid.

Acquedotto (menara air) di Oderzo (Foto pribadi)
Acquedotto (menara air) di Oderzo (Foto pribadi)

Hijrah ke Italia, saya terkagum-kagum melihat sistem pengairan kota yang menyuling air sungai menjadi air bersih yang bisa diminum langsung. Padahal sudah banyak korban meninggal di sungai Monticano yang melintas kota Oderzo. 

Selain kecelakaan karena terpeleset dan terminum air kotor yang menyebabkan kematian, banyak juga orang frustrasi memilih sungai ini untuk mengakhiri hidup. 

Terbayang bahwa kandungan air ini cukup berbahaya. Tapi dalam keseharian, setelah melewati berbagai proses dan analisa yang sangat ketat dan teliti, masyarakat tetap aman dan sehat mengkonsumsi air kran bertahun-tahun, termasuk saya.

Ada beberapa titik pengolahan air yang tersebar di kota Oderzo. Mulai dari waduk hulu yang letaknya di tepi sungai sebagai sumber air. 

Waduk tersebut fungsinya membendung air sungai. Lewat pipa berkelok-kelok yang ditanam di bawah tanah, airnya dialirkan menuju waduk hilir. 

Di tempat ini, penampungan airnya jauh lebih besar karena prosesnya lebih rumit. Dari sini, perlahan-lahan air yang sudah bersih, dialirkan ke pusat toren (acquedotto) yang selanjutnya mengalir ke perumahan warga.

Salah satu dari beberapa titik pengolahan air sungai Monticano yang tersebar di Oderzo (Foto pribadi)
Salah satu dari beberapa titik pengolahan air sungai Monticano yang tersebar di Oderzo (Foto pribadi)

Sistem pengairan ini sudah diterapkan sejak masa kerajaan Romawi masih jaya. Seiring perkembangan zaman, sekarang sistemnya jauh lebih praktis berkat teknologi. 

Dengan sistem Romawi kuno, teorinya air pancuran umum bisa diminum langsung. Misalnya di beberapa titik sumber mata air seperti air mancur atau kran di taman publik, airnya masih bisa diminum langsung. Namun kini sudah mulai dipasang pengumuman 'non potabile' (tidak dapat diminum) di beberapa pancuran publik.

Beberapa sumber mata air alami di Oderzo, peninggalan masa lalu (Foto pribadi)  
Beberapa sumber mata air alami di Oderzo, peninggalan masa lalu (Foto pribadi)  

Menurut hasil penelitian, air yang meresap langsung di tanah sudah banyak yang terkontaminasi akibat pemakaian pupuk kimia dan penyemprot hama dengan insektisida. Maka, lebih aman mengkonsumsi air kran rumahan yang telah melewati proses penyulingan sistem di atas. 

Selain itu, comune (pemerintah daerah) dan pihak pengelola air kota dalam hal ini Piave Servizio, juga menyiapkan 2 kios swalayan air minum di kota Oderzo. 

Harga per liter relatif murah. Kios ini menjual air minum naturale (natural/netral) dan frizzante (bersoda). Saat musim panas, kios ini menjadi sasaran konsumen.

Kios swalayan air minum (Foto pribadi)
Kios swalayan air minum (Foto pribadi)

Dalam lamunan, saya sering membayangkan seandainya ibu kota baru memiliki sistem pengairan yang bisa diminum langsung. Ah, betapa bahagianya rakyat Indonesia. 

Ada penghematan dana yang selama ini dialokasikan untuk membeli air minum kemasan. Tentu lingkungan pun semakin bersih dan sehat karena jumlah sampah botol plastik otomatis ikut berkurang.

Tinggal di negeri subtropis, iklimnya jauh lebih ekstrem di banding negeri tropis secara umum. 

Kalau pas musim panas, suhu udara bisa mencapai 40°C dan sangat lembab. Kalau pun dibarengi angin, biasanya angin yang bertiup dari arah Afrika. 

Jadi, selain melihat fatamorgana menari-nari di permukaan jalan, pasir halus dari gurun pun ikut terbang bersama angin panas. Untuk menghindari ancaman alam seperti ini, jalan terbaik hanya menutup pintu dan jendela serapat mungkin. 

Semakin gelap, udara rasanya tidak sepanas kalau ada cahaya masuk. Jadi kami menghindari pemakaian lampu dan berbagai peralatan eletronik yang mengeluarkan panas. Dengan kata lain, selama musim panas, rumah-rumah di sini cenderung bergelap-gelapan.

Upaya lainnya, hindari penggunaan oven yang bisa menambah panasnya ruangan. Masak pun yang serba praktis dan cepat demi menghindari pemakaian api (kompor). Jadi lebih baik mengkonsumsi banyak sayuran dan buah segar selama musim panas. 

Setiap musim panas, paling sering terjadi kebakaran hutan akibat gesekan ranting kayu kering antar dahan yang menghasilkan percikan api. Karena itu, dilarang keras membuang puntung rokok di daerah pegunungan dan membuat api unggun di daerah-daerah hutan kering. Baru-baru ini, juga terjadi kebakaran besar gedung pemukiman di kota Milan dan Torino.

Kalau rumah bergelapan, warna baju justru harus hindari warna gelap (hitam) karena menyerap panas. Sebaliknya, pilih baju dengan warna terang seperti putih untuk memantulkan cahaya atau panas matahari. Disarankan juga memakai krem yang mengandung pelembab untuk melindungi kulit supaya tidak kering. 

Waktu awal-awal, saya sering memakai payung pada saat musim panas. Tahunya saya menjadi tontonan warga sekitar. Karena tidak mau menjadi perhatian umum, akhirnya saya memilih topi sebagai alternatif untuk beradaptasi dengan mereka. Kecuali ramalan cuaca mengumumkan akan turun hujan, maka tak hanya sedia payung tetapi sedia jas hujan dan sepatu karet. 

Hujan pada saat musim panas di negeri ini, cukup berbahaya. Sebab bukan hanya hujan air biasa yang mengguyur bumi, tetapi grandine (butiran es batu).

Tahun ini kami bersyukur karena sudah perbaiki AC. Namun tahun-tahun sebelumnya, kami nikmati saja udara lembab (afa) dengan kipas angin listrik atau sekedar kipas bambu tradisional. 

Tiap kali saya membasahi handuk kecil dengan air dingin untuk mengompres beberapa bagian badan yang terasa lengket seperti leher, punggung dan ketiak. Karena kran air di sini memiliki alternatif panas atau dingin, jadi kami tak perlu menyimpan air dalam kulkas atau bikin es batu. Cukup putar kran ke kiri: air dingin. Rasa segar pun langsung terasa saat air membasahi tenggorokan.

Sekarang dengan AC, air limbahnya saya pakai untuk siram tanaman dan membersihkan WC. Karena pernah mengalami susahnya air, maka setiap tetes air sangat berharga bagi saya. Tak ada yang dibuang sia-sia, bahkan sisa rebusan pasta bisa dimanfaatkan untuk membersihkan lemak-lemak di piring, wajan dan lain-lain.

Tiap kali bertukar kabar dengan mama, beliau senang sekali berkisah tentang aneka tanaman yang tumbuh subur di lapangan depan rumah. 

Melanjutkan hobi Abah, mama juga ingin lapangan depan rumah tetap hijau dan rindang. Kata mama, pohon mangga sudah berbuah beberapa kali. Bahkan sudah dipungut entah oleh siapa. 

Diterapkan aturan "Dilarang memetik kecuali jatuh karena matang" Maka hukumnya, siapa cepat dia dapat. Pohon jamblang yang ditanam tetangga juga rajin berbuah. 

Dari pepohonan yang ditanam masyarakat sekitar dibantu Dinas Pertamanan DKI, mama sangat menikmati kicau burung kutilang mengganti suara nyanyian katak seperti yang pernah dikisahkan Abah kami tentang rawa yang telah menjadi Rawamangun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun