Posisi rumah-rumah ditertibkan, karena proyek MHT (Muhammad Husni Thamrin) waktu itu membenahi tata kota Jakarta.
Maka, banyak pepohonan yang ditanam Abah, terpaksa harus ditebang. Untungnya depan rumah kami ada tanah lapang yang akhirnya ditetapkan sebagai jantung kota.Â
Zaman badminton mulai naik daun, sebagian dari lapangan dibeton untuk menyalurkan hobi warga yang gemar olahraga ini.Â
Untungnya, lapangan persis depan rumah, tetap dibiarkan sebagai taman bermain yang sempat juga menjadi lapangan voli.
Lapangan inilah yang menjadi tempat penyimpanan air buat kami dan warga sekitar. Walau masing-masing rumah punya sumur, berkat kemajuan teknologi yang waktu itu mulai diperkenalkan pompa tangan, maka kami pun menguruk sumur diganti pompa.
Saya ingat waktu itu ada ‘dukun’ yang menjual jasa menemukan sumber mata air. Dukun itu menggunakan kawat yang ditekuk bagian tengah membentuk lingkaran. Kedua ujung kawat yang masih lurus, diselipkan di antara kedua jempol tangan dengan posisi semua jari tegak lurus ke depan.
Awalnya, letak pompa kami berada di dekat sumur yang baru saja ditimbun. Tidak bertahan lama, air mulai habis. Mungkin karena tetangga sekitar juga memilih posisi sumur yang saling berdekatan. Lalu pompa dipindahkan ke pekarangan depan.Â
Logikanya, posisi ini lebih dekat dengan lapangan sebagai sarana penyerapan air hujan. Padahal pemindahan letak pompa lebih disebabkan musim panas yang melanda Jakarta tahun 1977.Â
Dampak pembangunan jalan beraspal juga ikut mengurangi jumlah air di perumahan. Misalnya got yang melintas rumah kami, bisa terlihat jelas pondasi beton yang tak pernah terlihat basah.Â
Secara teori, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, sedangkan letak rumah kami agak tinggi. Maka, terjawablah permasalahan ini.