Air sisa bilasan mencuci, kami manfaatkan untuk membasahi got kering depan rumah dengan harapan akan menyerap ke dalam tanah. Tiap kali kami pakai juga untuk membersihkan lantai di teras. Air cucian beras, ikan dan sayuran, kami tampung untuk menyiram pohon. Kadang tercium bau amis, tapi selalu berpikir positif bahwa buah yang dihasilkan akan terasa lebih manis sebab mendapat asupan protein dari air bekas cucian ikan dan daging.
Di pojok halaman, dulu Abah menanam pohon mangga untuk menaungi rumah biar adem. Pada musimnya, berbuah banyak sekali. Jenis mangga ubi yang sangat manis. Jadi kami berbagi rejeki dengan tetangga sekitar sebagai ungkapan terima kasih karena mereka selalu membuka pintu, siap menolong kami.
Seiring perkembangan teknologi, kami pun ikut tren masa itu untuk memakai pompa air listrik. Kalau dulu-dulu hanya fokus memompa agar tidak terjadi kecelakaan seperti gagang pompa terlontar tiba-tiba menghantam dagu, maka sejak ‘kran’ air mulai populer, tugas saya bisa lebih santai.
Namun karena jumlah penghuni rumah dalam hal ini tamu yang datang pergi cukup banyak, mesin pompa air akhirnya bermasalah juga. Terpaksa tiap kali harus kembali mengetuk rumah tetangga. Karena mesinnya sering 'ngadat', mau tak mau saya harus belajar cara mengakali mesin ini. Paling sering kejadian 'ngadat' saat musim kemarau antara 1986-1987 karena mesinnya cepat panas.Â
Waktu itu hanya tinggal kami bertiga di rumah, saya dan orang tua. Papa sudah tak mungkin turun naik tangga karena rematik telah merusak persendian kaki dan lengannya, jadi saya kebagian tugas ini. Musti turun ke lubang di bawah tanah yang digali sekitar 5 meter untuk menanam mesin pompa yang mengalirkan air ke tong yang dibuatkan menara penyangga setinggi 5 meter dari permukaan tanah.
Berbekal air sebotol, saya membuka penutup mesin, memutar katup yang meletupkan sebutir mutiara sebagai penanda kekuatan daya letup air. Sisihkan sebentar mutiara ini untuk mengisi lubang tersebut dengan air untuk memancing agar keluar lebih deras.Â
Kalau sudah ada tanda-tanda air mulai mancur, letakkan kembali mutiara dan tutup katupnya serapat mungkin. Tutup kembali cover mesin, air pun mengalir lancar ke atas lewat pipa yang menghubungkan mata air dan kedua tong di atas menara. Tugas saya selesai. Sementara dalam rumah, orang tua saya sibuk mengisi ember-ember, baskom bahkan berbagai panci untuk persediaan air selama musim kemarau.
Dipikir-pikir, untung juga masa itu belum banyak nyamuk denguebeterbangan di sekitar wilayah kami walau notabene lokasi ini bekas rawa.Â
Cerita tentang katak, sejak wilayah ini ramai dengan pemukiman, hanya sesekali bisa mendengar dengkang katak di kejauhan. Suara ini pun segera sirna saat melihat indahnya pelangi membentang di langit.
Musim kemarau pertengahan tahun '80, saya sering mandi dan mencuci aneka lenan di sekolah. Usaha ini saya lakoni demi mengirit pemakaian air di rumah. Kebetulan saya pilih jurusan Tata Graha yang menjadwalkan praktek laundry setiap minggu.Â
Selain ada kelas praktek hotel dengan sarana kamar mandi standar hotel, sekolah kami juga memiliki fasilitas WC yang sangat baik dan bersih.