Sementara itu, usaha warga saat itu membuat beberapa lubang kecil di got masing-masing agar air bisa menyerap ke tanah.Â
Maksudnya, kalau turun hujan, airnya tidak sekadar permisi numpang lewat untuk mengalir ke anak kali Sodong. Tetapi sebagian terhisap ke dalam tanah melalui lubang-lubang kecil di beberapa titik got.
Pompa air saat itu menjadi benda paling vital yang bekerja hampir 24 jam sehari. Dari pagi ketemu pagi, selalu ada 'seseorang' yang asyik memompa.Â
Waktu itu ada beberapa sepupu yang tinggal bersama kami. Mereka senang sekali memompa tengah malam sampai menjelang pagi karena sekalian ingin mengadu nyali.
Ada peraturan tak tertulis di rumah, bahwa bak mandi dan ember penampungan air bersih untuk masak dan harus selalu terisi penuh.Â
Maka, saya pun kebagian tugas memompa walau masih berstatus murid SD, sebab saya harus mandi dan sebagainya.Â
Biasanya jatah memompa saya jam 11 sebelum berangkat sekolah siang. Masuk masa SMP, jadwalnya menjadi jam 15. Hitung-hitung sebagai pemanasan sebelum bermain voli di lapangan depan rumah.
Pemakaian pompa tangan yang nyaris tiada henti akhirnya jebol juga. Kalau sudah jebol, terpaksa ketuk rumah tetangga untuk minta air.Â
Ingat sekali masa-masa harus mengangkat 2 ember penuh air bulak-balik, bergantian mengetuk pintu mereka. Kadang tetangga di seberang kiri, kadang tetangga di deret kanan. Sesekali kalau mereka tidak ada di rumah, kami ambil air di langgar seberang lapangan.
Saat itu tak pernah melintas pikiran malu, marah, sedih dan semua emosi negatif saat mengangkat air.Â
Pikiran hanya bersyukur karena masih bisa punya air di musim kemarau. Jadi hanya fokus mengangkat agar air tidak menetes apalagi sampai tumpah berceceran di jalan.