Mohon tunggu...
Claudia Marta A
Claudia Marta A Mohon Tunggu... Freelancer - Amateur Writer

Menulis untuk Mengetahui

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengenal Atmakusumah Astraatmadja, Tokoh Pers Indonesia

31 Desember 2019   19:00 Diperbarui: 25 Januari 2020   20:06 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atmakusumah Astraatmadja. Sumber: Dokumen pribadi penulis.

Atma, begitu sapaannya lahir di Labuan, 20 Oktober 1938 dengan nama Atmakusumah Astraatmadja. Dikutip dari buku biografinya yakni "Menjaga Kebebasan Pers: 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja" yang ditulis oleh Lukas Luwarso, siapa sangka jika Atma memiliki kegemaran membaca beberapa buku diantaranya karya William Shakespeare, karya sastra Pramoedya Ananta Toer dan buku-buku petualang karya Karl May.

Selain itu juga novel dan cerpen-cerpen terjemahan seperti karya Maxim Gorky, Boris Pasternak, Fyodor Dostoyevsky, Leo Tolstoy, Guy De Maupassant, Honore de Balzac, Ernest Hemingway, dan John Steinbeck. Kegemarannya terhadap karya-karya sastra tersebut kemudian menjadikannya seorang jurnalis yang hebat.

Ketertarikannya terhadap jurnalisme baru ia kembangkan ketika berada di bangku SMA. Hal itu terbukti ketika ia berhasil menjadi pimpinan redaksi majalah Siswa yang merupakan majalah terbitan sekolahnya. 

Tak hanya itu, kemampuan menulisnya juga ia salurkan di majalah anak yakni Kunang-Kunang. Atma ternyata juga memiliki cerita tertentu terkait perjalanan menulisnya. 

Dirinya seringkali menulis tulisan features yang kemudian ia tawarkan ke penerbit untuk diterbitkan. Jalannya tidak selalu mulus, beberapa kali mendapat kritik dari pihak penerbit hingga mendapat penolakan terbit. Atma tidak menyerah begitu saja karena ia telah memiliki rencana lain yakni bergabung dengan harian yang dapat dikatakan terkemuka pada saat itu.

Karirnya di Indonesia Raya
Ya, harian Indonesia Raya. Harian Indonesia Raya ini pertama kali diterbitkan oleh Mochtar Lubis sebagai pimpinan redaksi pada 29 Desember 1949. Indonesia Raya memiliki ciri khas khusus dalam pemberitaannya yaitu sangat kritis terhadap perkembangan isu sosial dan politik pada masa itu yang juga sesuai dengan karakter Mochtar Lubis.  

Atma bergabung dengan Indonesia Raya saat berusia hampir 20 tahun pada tahun 1957 sebagai wartawan di Minggu Indonesia Raya melalui tes yang dilakukan secara sederhana.

Di Minggu Indonesia Raya, Atma memiliki tugas menulis artikel-artikel ringan dan ulasan-ulasan film. Saat itu redaksi di Minggu Indonesia Raya hanya dikelola oleh tiga orang saja yakni Suprayitno, Kartaningtyas Sidharta, dan Atmakusumah.

"Sejak SMA saya sudah tertarik IR karena kritis barangkali ya, dan independen, berani menyiarkan apa saja. Kemudian pendiri dan pimrednya Mochtar Lubis yang cukup apa ya seperti tidak memberikan batas terhadap peliputan apa saja sepanjang itu baik untuk masyarakat dan malah bukan tidak mungkin untuk pemerintah agar pemerintah mendapatkan informasi yang luas dan mendalam sehingga pemerintah bisa memberikan keputusan politik yang lebih tepat kira-kira begitu. Dan memang ketika saya bekerja di IR, pesannya hanya pokoknya kalau menurut Anda informasi ini penting untuk masyarakat ya jangan memikirkan untuk dibredel. Karena menurut Mochtar Lubis dibredel itu sepertinya kita hidup karena itu akan dijadikan bahan pemberitaan bukan hanya di dalam negeri bahkan bisa secara internasional", (Wawancara dengan Atmakusumah, 2019).

Karir Atma di Indonesia Raya terbilang banyak menemui jalanan terjal. Hal tersebut dapat dilihat ketika beberapa kali Atma menulis pemberitaan yang kritis, sesuai dengan pesan Mochtar Lubis. Bahkan akibat dinilai kritis dalam pemberitaannya, Atma sempat mendapat beberapa kali teguran hingga ancaman penutupan Indonesia Raya. 

Atma juga pernah dinyatakan sebagai orang yang tidak boleh bekerja di media atau dapat dikatakan namanya di blacklist oleh pemerintah. Pada Oktober 1958, harian Indonesia Raya mengalami pembredelan pada masa pemerintahan Orde Lama. 

Pembredelan ini berlangsung lama sehingga mengakibatkan Atma menganggur dan tidak memiliki pekerjaan selama satu tahun. Di sela waktu kosongnya tersebut, Atma memutuskan untuk mengemban ilmu di Perguruan Tinggi Publisistik (PTP) yang sekarang menjadi Institut Imu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP).

Setelah menduduki bangku kuliah, Atma mendapat pekerjaan di Persbiro Indonesia (PIA) sebagai redaktur. Persbiro Indonesia merupakan kelanjutan dari Aneta yaitu kantor berita milik Belanda yang telah dilanjutkan oleh staf para wartawan warga Indonesia.

Persbiro Indonesia dipimpin oleh Adinegoro seorang Bapak Pers Indonesia Modern. Persbiro memiliki iklim kerja yang sangat menyenangkan bagi Atma karena menjadikan media pers yang independen dan profesional. 

Atmakusumah bersama harian Indonesia Raya.
Atmakusumah bersama harian Indonesia Raya.
Kemudian pada tahun 1968, Mochtar Lubis mengajak Atma untuk bergabung kembali menerbitkan harian Indonesia Raya. Pada kesempatan kali ini, Atma dipercaya untuk menjadi redaktur pelaksana mewakili Mochtar Lubis yang kala itu dikenai tahanan rumah sejak Orde Lama hingga awal Orde Baru.

Salah satu liputan yang berkesan bagi Atma selama bekerja di Indonesia Raya adalah pemberitaan tentang kerusuhan melibatkan seorang Tionghoa dan kusir gerobak yang kemudian menimbulkan kerusuhan besar yang terjadi di Bandung pada 5 sampai 6 Agustus 1973. Peliputan tersebut mendapatkan teguran dari Menteri Penerangan. 

Adanya teguran ini, menunjukkan bahwa Indonesia Raya memiliki kualitas yang sangat baik sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia Raya merupakan harian yang sangat kritis dan berpengaruh. Atma yang kala itu sebagai Redaktur Pelaksana Indonesia Raya berperan penting dalam menentukan liputan dan laporan dari kasus tersebut.  

Selain Indonesia Raya ada beberapa surat kabar salah satunya adalah Abadi dan Nusantara yang memberitakan kerusuhan tersebut secara ekstensif. Ketika kerusuhan terjadi, Menteri Penerangan Mashuri memanggil sejumlah pimpinan redaksi surat kabar dan meminta agar pers tidak membesar-besarkan berita tentang kerusuhan di Bandung.

Menjajaki Dunia Siar
Beralih dari Indonesia Raya dan Persbiro Indonesia, Atma mencoba menjajaki dunia penyiaran. Ia mencoba siaran dengan bergabung bersama Radio Republik Indonesia (RRI). 

Jalan Atma untuk bergabung bersama RRI nyatanya tidak semudah yang dibayangkan. Ketika Atma melakukan siaran untuk pertama kali, Atma kemudian tidak pernah diminta kembali untuk melakukan siaran.

"Sepertinya memang ketika itu saya melakukan siaran yang buruk kali ya, karena setelah saya siaran pertama itu sudah tidak pernah lagi ditawari untuk siaran. Setelah itu ditanya oleh rekan saya apakah saya sudah ambil honor siaran pertama saya? Ya saya bilang tidak karena setelah itu saya tidak diberi kesempatan siaran lagi. Terus saya bilang kalau saya mau mengambil honor itu kalau saya diberi kesempatan siaran lagi. Eh seminggu kemudian saya ditawari siaran lagi" (Wawancara dengan Atmakusumah, 2019).

Bergabung kembali dengan RRI, Atma menjadi komentator lepas untuk siaran program ilmu, seni dan budaya. Di RRI, Atma juga menulis karangan pendek mengenai ilmu pengetahuan dan seni yang kemudian akan disiarkan di RRI. Ketika bekerja di RRI, Atma seringkali mendengarkan siaran Radio Australia terutama pada siaran musikalnya. 

Atma rupanya terkesan dengan acara tersebut dan tak hanya itu saja, Atma juga kagum dengan penangan laporan beritanya karena menurutnya objektif daripada pemberitaan RRI sehingga ia terpacu untuk tinggal di Australia.

"Ketika saya mendengar siaran radio Australia, saya ingin kesana. Saya hanya ingin melihat dunia bagian lain. Saya mulai tidak betah dengan suasana politik di tanah air saat itu, semakin tidak memberi kebebasan" (Wawancara dengan Atmakusumah, 2019).

Atma terbang ke Melbourne, pada Desember 1961 untuk bekerja sebagai penyiar dan wartawan pada Seksi Indonesia di Radio Australia, siaran luar negeri yang berada dibawah Australian Broadcasting Commission (ABC). Seksi Indonesia merupakan siaran Bahasa Indonesia yang dapat didengarkan oleh masyarakat di Indonesia. 

Siaran ini menyiarkan berita, wawancara, opini, features, atau tajuk rencana serta radio ini juga memutar lagu-lagu yang sempat dilarang oleh Soekarno. Siaran Radio Australia leluasa melakukan siaran atau cukup berani masuk ke udara Indonesia dengan membawa berita-berita yang lugas, independen dan tanpa sensor. 

Hal tersebut dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia yang mendengarkan siaran Radio Australia karena dapat memperoleh informasi tanpa sensor yang tidak mereka dapatkan dari siaran Radio Republik Indonesia (RRI) maupun media pers Indonesia lainnya.

Setelah tiga tahun kontrak kerja di Radio Australia pada tahun 1964, Atma mendapat tawaran bekerja sebagai penyiar di Seksi Indonesia Radio Deutsche Welle di Jerman selama sepuluh bulan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Bergabung bersama Antara
Setelah bekerja di Radio Deutsche Welle, kemudian Atma bergabung bersama Antara dimana di hari pertama kerjanya yakni 1 Oktober 1965 merupakan hari setelah adanya peristiwa G30S. Ia mendapat tugas pertama di seksi berita domestik untuk bulletin bahasa Inggris.

Atma menyebut hal tersebut dengan sebutan "Seksi Tak Bersalah" karena tugasnya hanya menerjemahkan berita-berita lokal yang telah disensor oleh redaktur di Seksi Dalam Negeri untuk bulletin Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. 

Adanya peristiwa tersebut membuat tugas Atma berganti yakni ia di beri tugas untuk menangani seksi berita nasional yang merupakan bagian paling penting dari berita Antara. 

Seksi berita nasional untuk bulletin Bahasa Indonesia pada saat itu hampir kosong karena kurang lebih 10 dari 12 redaktur seksi berita nasional tersebut dipecat atau bahkan dipenjarakan karena dianggap komunis atau kelompok kiri. Hal tersebut juga sebagai upaya pembersihan yang dilakukan oleh tentara kepada para karyawan Antara yang dinggap aktivis, simpatisan PKI dan kalangan Soekarnois di Antara.

Atma dan PWI
Atma bergabung bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Jakarta pada tahun 1968 sampai 1973 sebagai bendahara PWI cabang Jakarta dengan Harmoko sebagai ketua. PWI pada saat itu merupakan organisasi yang independen dan kritis terhadap pemerintah. Menurut Atma, PWI juga mendapatkan intervensi dari pemerintah dalam menentukan ketua PWI sehingga pada saat itu PWI memiliki dua kepengurusan. 

Kepengurusan yang didukung pemerintah diketuai oleh Burhanuddin Muhammad Diah dan kepengurusan PWI yang independen diketuai oleh Rosihan Anwar. PWI cabang Jakarta dimana Atma bekerja, justru malah mendukung kepengurusan Rosihan Anwar yang tidak didukung oleh pemerintah karena PWI kepengurusan Rosihan Anwar dinilai sebagai PWI yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah. 

Setelah peristiwa tersebut, hubungan antara Atma dan PWI merenggang hingga akhirnya Atma memutuskan untuk tidak lagi bergabung bersama PWI dan kembali bersama Indonesia Raya yang kemudian dibredel pada tahun 1974 oleh pemerintah Orde Baru.

Merambah ke United States Information Service (USIS)
Awal bergabungnya Atma bersama United States Information Service (USIS) adalah setelah tidak cocoknya rekomendasi orang Indonesia yang diberikan Atma kepada Jerry Kyle, Atase Pers di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk bekerja di kantor penerangan Kedutaan Amerika Serikat. 

Hingga akhirnya Atma mencoba untuk mengajukan diri untuk bekerja USIS dan ternyata diterima. Atma bekerja sebagai information specialist yang mana tugas tersebut ia dapatkan setelah kedutaan besar Amerika tidak memandang status Atma yang kala itu tidak boleh bekerja di media pers atau di blacklist oleh pemerintah. 

Ketika bekerja di USIS, Atma sering mengikuti kegiatan di daerah seperti pelatihan jurnalistik dan menjadi speaker dalam beberapa forum diskusi. Beliau juga beberapa kali mengamati kebijakan pemerintah di Indonesia. Salah satunya beliau pernah mengkritik keputusan pemerintah mengenai pembatasan halaman dan iklan surat kabar.

Putusan tersebut menjelaskan bahwa setiap surat kabar hanya boleh terbit maksimal 12 halaman dengan batas iklan 30% dari seluruh halaman. Menurut beliau putusan tersebut secara tidak langsung dapat menghambat kelancaran penyaluran informasi.

Dok. Pri
Dok. Pri
Menjadi Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS)
Atma kemudian beralih menjadi pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo setelah dibujuk oleh "Ted" Stannard, mantan koresponden United Press International (UPI) untuk kawasan Asia Timur yang terlibat merancang kurikulum LPDS bersama Warief Djajanto Basorie, pengajar LPDS. 

Tahun 1994, dimana awalnya Dja'far Assegaff sebagai Direktur Eksekutif LPDS digantikan oleh Atma karena karena Dja'far Assegaff diberi tugas sebagai duta besar di Hanoi. 

Ketika menjabat sebagai Direktur di LPDS, Atma kerap kali memberikan pembelaan mengenai beberapa kasus pers di pengadilan. Salah satunya adalah pada kasus majalah Suara Independen. Beliau melakukan pembelaan dengan menjadi saksi ahli untuk Andi Syahputra yang tak lain adalah pencetak majalah Suara Independen. 

Kasus tersebut terjadi pada pertengahan tahun 1996. Andi Syahputra ditangkap aparat atas tulisannya di majalah Suara Independen yang berjudul "Soeharto Seperti Raja Telanjang". 

Tulisan tersebut menurut Andi menganalogikan tentang Soeharto yang digambarkan telanjang karena otoriter dimana seorang pun tidak berani mengatakan kepada raja. Atas tuduhan tersebut, Andi dihukum dengan 30 bulan penjara, padahal sebenarnya ia tidak tahu menahu soal isi tulisan tersebut.

Tulisan yang berujudul "Soeharto Seperti Raja Telanjang" tersebut menurut Atma sebagai sebuah metafora. Atma merasa tulisan tersebut hanya metafora yang menggambarkan bahwa ada orang yang masih berani mengatakan pendapatnya secara jujur ketika semua orang tunduk kepada Soeharto. 

Beliau mengakui bahwa menjadi saksi ahli tidak berpengaruh besar terhadap persidangan dalam pengadilan malah sering kali memberatkan aktivis. Namun Atma memiliki keyakinan bahwa kebebasan berekspresi masih tetap dapat dipertimbangkan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Terpilih Menjadi Ketua Dewan Pers (2000-2003)
Abdurrahman Wahid pada 19 April 2000 mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 96/M Tahun 2000 tentang Pengangkatan Anggota Dewan Pers baru. Rapat pleno Dewan Pers dilakukan pada 17 Mei 2000, dimana Sembilan[1] anggota Dewan Pers bersidang untuk menentukan Ketua, Wakil Ketua, dan menyusun Komisi-Komisi. 

Dalam rapat pleno tersebut menetapkan Atmakusumah Astraatmadja sebagai Ketua Dewan Pers dan R.H. Siregar sebagai Wakil Ketua.Ketika menjadi Ketua Dewan Pers ada beberapa persoalan yang harus dihadapi olehnya. Pada saat itu atau sekitar awal tahun 2000-an euphoria kebebasan pers memperoleh kesan negatif. 

Kebebasan pers di Indonesia dikecam sebagai kebebasan yang kelewat batas. Hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya penghargaan pada etika pers yang dilakukan khususnya untuk tabloid-tabloid baru. Dengan adanya kemudahan menerbitkan media, muncul beberapa konflik manajemen disejumlah media. 

Kebebasan pers pada jaman itu juga memunculkan isu-isu yang terkesan sensasionalisme dimana banyak tabloid yang menulis laporan bersifat spekulatif dan tidak memperhatikan kode etik, contohnya saja bermunculan penerbitan tabloid atau media yang mengusung pornografi dan erotisme. 

Selain itu gaya jurnalisme agresif juga terlihat pada tabloid Warta Republik pada edisi Desember 1999 yang memberitakan mengenai persaingan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dan mantan Menteri Pertahanan Edy Sudrajat yang memperebutkan cinta seorang janda. Berita tersebut disebut sebagai berita atas dasar rumor yang berkembang serta tidak dikonfirmasi atau wawancara kepada pihak yang terlibat tersebut.

Dalam posisinya sebagai Ketua Dewan Pers, Atma mengakui masih banyak kekurangan yang dilakukan pers di Indonesia. Beliau juga berpendapat bahwa kata pers yang kebablasan sebenarnya tidak dikenal di dunia pers. Justru yang terjadi adalah penyalahgunaan profesi wartawan dan fungsi pers. Pers memang harus kebablasan, dalam artian pers harus mampu melunakkan kebekuan, melakukan pembaharuan, dan menjadi inspirasi untuk perubahan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun