"Anak muda, bergeraklah! Biarkan kesalahanmu mendewasakanmu. Lenyapkan kegelisahanmu dengan melangkah maju. Jangan kau tenggelamkan dirimu dalam penyesalan, anak muda. Ia di sana sudah baik-baik saja."
"Ia? Siapa?" selidik saya terpancing kata-katanya.
"Ibumu," jawab kupu-kupu. Saya tak percaya. Bagaimana kupu-kupu itu tahu? "Anak muda, maafkanlah kesalahan yang dulu. Ibumu tak ingin kau berhenti, ataupun kembali ke masa sebelum kesalahan itu terjadi. Ibumu pun tak ingin kau ada di sini. Ibumu tak ingin kau berharap aku akan menjelma jadi ibumu. Ibumu ingin kau pergi dari dimensi tanpa waktu ini."
"Ibu.. kaukah yang berbicara? Kenapa kau menjadi kupu-kupu, ibu?"
"Sudahlah, anak muda, kau sudah berakhir di sini jika benar kau menginginkan ini. Tapi kau masih bisa pergi, asalkan kau berjanji..."
"Tidak! Saya tak ingin pergi. Saya ingin di sini. Saya percaya, saya akan bertemu ibu di tempat ini. Saya hanya perlu menunggu, 'kan?"
Kupu-kupu kembali hinggap di atas mahkota bunga. Sepertinya ia kelelahan meladeni omongan saya. Biarlah. Saya hanya menunggu beberapa saat lagi sampai kupu-kupu itu menjelma menjadi ibu. Ya, entah berapa detik, menit, bahkan berhari-hari. Saya akan menunggu itu.
"Ingat, anak muda, kau sekarang berada di dalam dimensi tanpa waktu!" Suara kupu-kupu itu lagi. "Aku adalah kupu-kupu istimewa. Aku bukan jelmaan si ulat dan kepompong. Aku hanya tercipta begini. Aku pun nanti tak akan menjelma ibumu." Ia mendengar kata batin saya. Benar ia kupu-kupu istimewa.
"Begitu juga bunga ini. Ia tak berasal dari benih apa pun. Ia tak akan layu lalu bertumbuh bunga yang baru. Tanah yang kau pijak akan selalu dingin dan merah, ia tak akan kekeringan atau menjadi terlalu lembab. Kabut-kabut putih akan terus menyelimutimu, walau mungkin cahaya-cahaya akan semakin benderang. Dan cahaya-cahaya memang tak akan menjadi lebih terang. Hanya begini saja. Tak akan ada perubahan. Kau dalam dimensi tanpa waktu..."
Saya tercekat.
***