Mohon tunggu...
Healthy

Asa bagi Bunda dan Bayi yang Berbeda RH

25 November 2017   21:59 Diperbarui: 25 November 2017   22:13 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Darah adalah cairan yang mengalir di dalam tubuh mahkluk hidup dan terdiri atas plasma darah, sel darah, dan platelet (trombosit). Pentingnya darah bagi makhluk hidup adalah untuk menyalurkan sari-sari makanan dan oksigen ke seluruh tubuh agar masing-masing bagian tubuh dapat bekerja sesuai fungsinya. Darah dialirkan ke seluruh tubuh melalui berbagai jenis dan ukuran saluran yang disebut dengan pembuluh. Mengalirkan darah ke seluruh tubuh merupakan tugas jantung sebagai pompa.

Pada abad ke-20, tepatnya tahun 1930, Karl Landsteiner mengemukakan penggolongan darah berdasar sistem ABO yang didasari pada penelitian pencampuran darah antara individu manusia yang sebagian menggumpal dan sebagian tidak menggumpal. Secara lebih rinci, penggolongan darah yang ditemukan oleh Karl Landstainer berdasarkan pada ada tidaknya aglutinogen tipe A dan tipe B pada permukaan eritrosit serta ada tidaknya aglutinin tipe (anti-A) dan tipe (anti-B) di dalam plasma darah.

 Aglutinogen dapat disebut juga protein antigen, sedangkan aglutinin dapat disebut juga protein antibodi. Pada dasarnya, antibodi bertugas untuk menggumpalkan antigen yang masuk ke dalam tubuh agar tidak menyebabkan gangguan dan penyakit pada fungsi tubuh; maka aglutinin bertugas menggumpalkan aglutinogen. 

Dengan adanya aglutinin dan aglutinogen, menyebabkan transfusi darah harus dalam jenis golongan darah yang sama antar individu. Bila tidak, akan terjadi penggumpalan darah yang membuat ginjal bekerja lebih keras untuk membersihkan darah yang menggumpal pada tubuh sehingga kerja organ tubuh yang lain menjadi tidak optimal.

Penggolongan darah selain menggunakan sistem ABO, dapat menggunakan sistem Rh (Rhesus) yang ditemukan oleh Karl Landstainer dan Wiener pada tahun 1940. Penggolongan darah dengan cara ini cukup mirip dengan sistem penggolongan ABO. Rhesus atau Rh merupakan jenis protein atau antigen yang berada pada permukaan sel darah merah. 

Antigen yang digunakan untuk menggolongkan darah berdasarkan Rhesus disebut sebagai antigen D. Jika hasil tes darah seseorang menunjukan adanya antigen D dalam darahnya, ia termasuk RhD+. Sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki antigen D, ia termasuk RhD-.

Permasalahan yang sama ditemukan juga pada penggolongan darah berdasarkan rhesus. Bila terjadi transfusi pada pasien ber-rhesus negatif diberi darah ber-rhesus positif, maka akan terjadi aglutinasi atau penggumpalan. Hal ini terjadi karena darah rhesus positif membawa antigen yang dianggap "benda asing" oleh darah rhesus negatif. 

Maka, darah rhesus negatif akan membentuk antibodi sehingga dapat melawan "benda asing" tersebut.. Pada transfusi yang pertama kebanyakan orang tidak bermasalah karena darah rhesus negatif tidak bertemu dengan antigen sehingga belum membentuk antibodi. Namun pada transfusi darah yang kedua dan seterusnya, bila tetap terjadi transfusi darah beda rhesus akan mengakibatkan aglutinasi (penggumpalan) sehingga terjadi lisis atau pemecahan eritosit (sel darah merah).

Peristiwa penggumpalan atau aglutinasi yang terjadi antara jenis darah berbeda, selain pada kesalahan transfusi darah, juga dapat terjadi pula pada kasus kehamilan beda rhesus antara ibu dengan janin. Rhesus janin biasanya menurun dari rhesus ayah. Selain itu, hal ini juga terpengaruh oleh kromosom ayah yang homozigot atau heterozigot. 

Perbedaan rhesus darah pada kehamilan dapat menyebabkan pecahnya sel darah merah janin yang berujung pada kematian janin akibat animea berat. Kasus pecahnya sel darah merah (eritosit) pada janin di dalam kandungan disebut sebagai eritroblastosis fetalis atau Immune Hydrops Fetalis. Peristiwa ini memerlukan penanganan yang terperinci dan tepat karena tingginya angka kematian janin.

Bila ibu memiliki darah dengan rhesus positif mengandung janin dengan rhesus negatif tidak bermasalah karena antibodi janin yang menganggap darah ibu sebagai "benda asing" belum cukup kuat untuk memecahkan sel darah merah (eritrosit) ibu. 

Selain itu, darah ibu rhesus positif yang sudah memiliki antigen bila tercampur dengan darah janin rhesus negatif yang tidak membawa antigen tidak akan menstimulan produksi antibodi pada tubuh ibu sehingga tidak terjadi lisis eritrosit atau pemecahan sel darah merah. 

Kasus kehamilan ini dapat dikatakan menguntungkan bagi individu janin seiring dengan pertumbuhannya karena antibodi untuk melawan antigen sudah terbentuk pada saat janin sehingga pada masa pertumbuhannya dan menjadi dewasa, tubuhnya akan merespon dengan cepat dan tanggap.

Namun, pada kasus darah ibu rhesus negatif mengandung janin dengan rhesus positif yang membawa antigen, akan menyebabkan pemecahan sel darah merah (eritrosit) janin karena darah janin membawa antigen. Pada saat kehamilan, adanya plasenta berfungsi sebagai pembatas antara darah ibu dengan darah janin. Namun, seringkali terjadi pencampuran darah ibu dan janin sehingga menyebabkan darah ibu rhesus negatif segera membuat antibodi untuk melawan antigen tersebut dengan cara memecahnya (lisis). 

Pencampuran darah ibu dan janin cenderung dapat terjadi karena plasenta yang menempel pada dinding rahim pada saat distribusi sari-sari makanan, pergerakan atau rotasi janin di dalam kandungan, pendarahan saat kehamilan, dan trauma benda tajam. Maka bila sel darah merah janin pecah maka tidak dapat digunakan untuk proses perkembangan janin di dalam kandungan dan berkurangnya sel darah merah dapat menyebabkan animea berat pada janin. 

Dampak animea berat pada bayi antara lain aritmia jantung, bayi kuning, pembengkakan hati berlebihan, dan gangguan organ-organ vital janin seperti paru-paru.

Gejala yang dapat diketahui saat janin mengalami kemungkinan eritroblastosis fetalis saat di dalam kandungan adalah pada janin terlihat adanya pembengkakan hati, ginjal, dan limpa akibat kerasnya kerja organ-organ tersebut untuk membentuk sel darah merah yang baru. Selain itu, timbulnya cairan yang hampir memenuhi abdomen (perut) dan paru-paru juga tampak dalam ultrasonografi saan pemeriksaan janin dalam kandungan. 

Gejala cenderung terjadinya eritroblastosis fetalis juga terjadi pada ibu yaitu peningkatan leukosit yang signifikan di dalam darah ibu. Hal tersebut harus diwaspadai sebagai gejala eritroblastosis fetalis. Pada bayi yang sudah lahir dapat di ketahui gejalanya dengan melihat warna kulit yang biasanya pucat atau berwarna kuning, terjadi pembengkakan hati dan limpa, dan kesulitan bernapas pada bayi karena paru-paru dan abdomen terisi cairan. Penanganan yang serius perlu dilaksanakan segera setelah terjadi gejala-gejala tersebut.

Terapi yang sudah banyak digunakan untuk penyembuhan eritroblastosis fetalis adalah dan juga presentase keselamatan janin besar adalah terapi transfusi darah. Terapi transfusi darah dilakukan kepada bayi yang sudah lahir dan biasanya bayi yang dapat terselamatkan adalah bayi pada kehamilan pertama dan kedua. 

Pada bayi yang baru saja lahir akan terlihat bahwa kulit dan seluruh tubuh bayi menguning dan terjadi pembengkakan hati dan limpa. Sesegera mungkin bayi yang sudah lahir harus segera ditransfusi darah untuk menggantikan sel darah merahnya yang banyak mengalami kerusakan. Jenis darah yang ditransfusikan ke bayi haruslah jenis darah yang sama dengan bayi tersebut, yaitu golongan darah tertentu dengan rhesus positif.

"Operasi transfusi darah dimulai dengan irisan kecil di dekat pergelangan kaki bayi untuk memasukkan jenis selang kecil bernama intravenous cannula (IV cannula) ke pembuluh vena (saphenous vein)" (https://www.ncbi.nlm.nih.pdf ; diakses tanggal 12 November 2017)

Intravenous cannula (IV cannula) merupakan selang kecil yang terbuat dari bahan mirip plastik bening dan berfungsi untuk mengalirkan darah atau sebagai perpanjangan pembuluh. Selang intravenous dihubungkan dengan pembuluh vena Saphenous karena vena Saphenous merupakan vena besar pada kaki dan vena terpanjang pada tubuh manusia. Keberhasilan penyelamatan bayi dengan transfusi darah juga bergantung pada jenis vena ini karena ukurannya yang besar dan mencapai sebagian besar tubuh manusia sehingga transfusi darah dapat berlangsung secara cepat dan tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut. Darah yang baru dan sehat akan segera dapat digunakan oleh bayi untuk melakukan metabolisme.

"Selain darah baru yang disalurkan ke tubuh bayi, penyuntikan heparin juga dilakukan tiga kali. Penyuntikan dilakukan pada awal prosedur, di tengah-tengah prosedur, dan akhir prosedur transfusi darah." (https://www.ncbi.nlm.nih.pdf ; diakses tanggal 12 November 2017)

Hal ini dilakukan karena heparin mengandung antikoagulan yang berguna untuk mengatur pembekuan darah sehingga tidak semua darah pada tubuh menjadi beku. Maka, secara tidak langsung senyawa ini membantu hati untuk mengencerkan darah yang beku.

Secara umum periode penyembuhan yang terlihat setelah transfusi darah adalah empat jam setelah transfusi, peningkatan konsentrasi hemoglobin pada darah bayi sangat besar. Selain itu, bayi terlihat lebih aktif dan terjadi pengecilan organ hati dan limpa secara berkesinambungan. Sel darah merah yang ditransfusikan ke dalam tubuh bayi akan membelah diri dan menyebabkan organ-organ vital (seperti jantung, paru-paru, dan hati) dapat bekerja. 

Hati yang membengkak karena saat janin bekerja secara berlebihan memproduksi sel darah merah, mendapat suplai nutrisi dari sel darah merah segar sehingga dapat memproduksi sel darah merah lebih banyak. Pada hari kedua sampai ketiga setelah transfusi darah, kulit bayi terlihat lebih normal dan warna kuningnya hilang secara perlahan. Pengurangan warna kuning pada kulit bayi terlihat sangat signifikan pada hari keempat sampai hari keenam. Tujuh sampai sepuluh hari setelah transfusi darah dilangsungkan, bayi menjadi lebih aktif dan tampak normal.

Transfusi darah berguna bagi bayi agar organ-organ bayi dapat bekerja dan bayi tetap hidup. Namun, transfusi darah tidak dapat memperbaiki jaringan yang sudah rusak pada tubuh bayi akibat animea berat yang diderita janin. Maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk pemberian obat yang sesuai. 

Misalnya janin terkena aritmia jantung (merupakan gangguan jantung akibat kurangnya suplai darah sehingga detak jantung tidak normal) akibat animea berat diberi obat intraperitoneal, intramuskular, intravena melalui kordosentesis, dan berbagai kombinasi dari obat-obatan lain. Obat-obatan ini digunakan harus menggunakan anjuran dan resep dokter.

Transfusi darah biasanya dilakukan bila keadaan janin sudah gawat. Penyelamatan pada janin kehamilan ke dua dan seterusnya, lebih baik dilakukan dengan transfusi darah karena presentase darah yang hancur pada janin kehamilan kedua dan seterusnya lebih banyak dari pada janin pertama. Trnsfusi darah selain dilakukan setelah kelahiran, dapat pula dilakukan saat janin masih berada dalam rahim. Transfusi PRC (Packed Red Cell) melalui vena umbilikal janin dan dilakukan setiap empat sampai lima minggu.

Penanganan janin kedua dan seterusnya ,yang lebih besar dampaknya akibat eritroblastosis fetalis, dapat dilakukan kelahiran prematur bila usia janin sudah mencukupi untuk bertumbuh di luar rahim. Pada kasus yang lebih gawat, dan janin belum cukup kuat untuk dibesarkan diluar, akan dilakukan transfusi darah terhadap janin yang masih dalam kandungan lewat plasenta .

Selain terapi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dapat dikurangi dampaknya melalui penggunaan Rhogam. Rho(D) Immune Globulin atau Rhogam merupakan obat yang digunakan untuk perawatan ibu dan janin yang terkena eritroblastosis fetalis. Rhogam diberikan kepada ibu pada usia kehamilan 28 minggu atau 7 bulan dan 72 jam setelah persalinan melalui suntikan. 

Cara kerja Rhogam adalah dengan menghancurkan sel darah merah janin yang akan atau sudah masuk ke darah ibu sehingga sel darah merah janin tidak sempat memicu darah ibu untuk menghasilkan antibodi sehingga janin terlindungi sementara. Selain itu, Rhogam juga menurun atau menghambat produksi antibodi berlebih pada darah ibu agar tidak menyerang janin.

Jadi benang merah yang dapat ditarik adalah eritroblastosis fetalis cenderung terjadi karena perbedaan rhesus darah ibu dengan anak (janin). Eritroblastosis fetalis dapat ditangani dengan transfusi darah pada saat berada di kandungan atau setelah kelahiran tergantung keadaan. Sebelum transfusi dilakukan pengecekan kondisi janin dengan ultrasonografi. 

Kelahiran prematur saat janin mencapai usia dapat berkembang di luar rahim juga diajurkan untuk memperbesar presentasi keselamatan janin. Pengecekan dan pemberian obat khusus untuk jaringan dan organ pada tubuh bayi yang rusak akibat animea berat perlu dilakukan sebagai pencegahan terjadi komplikasi. Selain itu, pemakaian Rhogam atau Rho(D) Immune Globulindapat diberikan pada ibu saat usia kehamilan 28 minggu dan 72 jam setelah persalinan. Rhogam akan membantu menekan produksi antibodi pada tubuh ibu. Kunci keberhasilan dan keselamatan janin bergantung pada penanganan yang rinci, tepat, dan intensif.

DAFTAR PUSTAKA: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11

  • Wallerstein, H. Treatinent of sevei e erythroblastosis by sinmltaneous removal and replacement of the blood of the newborn infant, Science, 1946, 10.3: 583.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun