Mohon tunggu...
ClarissaClaa
ClarissaClaa Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Seorang mahasiswi teologi yang memiliki minat tinggi pada dunia literasi dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ulang Tahun Apollo

4 Mei 2020   09:00 Diperbarui: 4 Mei 2020   09:19 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usia dalam konsep hidup manusia ternyata bukan hanya tentang perhitungan tahun saja,
setiap angka seolah menjadi kotak berisikan daftar misi yang harus diselesaikan oleh masing-masing orang.

            "Sehat selalu, ya!"

            "Semoga panjang umur!"

            "Cepat ketemu jodoh!"

            Kue, nyanyian, tepuk tangan, bau sumbu gosong, hingga penampakan kertas kado, semua hadir untuk membuat ritual ini lengkap.

            Entahlah, sampai hari ini aku juga belum paham tentang ritual yang diberi nama 'ulang tahun' oleh para manusia, meski sudah genap dua puluh satu kali ritual seperti ini diadakan bagiku.

Mengapa, sih, harus dinamakan 'ulang tahun'? Apanya yang sedang diulang? Mungkin mereka berbicara tentang ritual tahunan ini, lalu menamakannya demikian. Bukankah lebih baik dinamakan 'ulang ritual', atau 'ulang pesta' saja? Nama ini rasanya lebih baik dan sesuai.

Lagipula, kenapa hal seperti ini harus dirayakan, bahkan dibuat pesta? Bukankah tidak ada yang menyenangkan dengan 'ulang tahun'?

            Dulu, sih, aku juga sempat mengira bahwa Ulang Tahun itu menyenangkan. Aku melihat ada banyak anak manusia yang mendapat benda kesukaan, makanan kesukaan, juga teman-teman untuk berbagi kebahagiaan. Langit pun turut kebagian sukacita yang dirayakan oleh para manusia. Bertambah tua tampak begitu menyenangkan di bumi.

            Namun ketika merasakan sendiri, bagaimana menjadi manusia, aku mulai menyadari kenyataannya yang agak getir, masam, bahkan cenderung pahit. Ulang Tahun itu tidak menyenangkan sama sekali.
Kau bayangkan saja, aku bisa mendapat apa yang kuinginkan hanya sekali dalam setahun. Itupun berhenti seturut dengan usainya pendidikanku di bangku Sekolah Dasar. Ketika aku belum sempat membuat daftar prioritas barang ataupun hal-hal apa saja yang kuinginkan.

            Memang, ritualnya tidak pernah berhenti, walau selalu kecil-kecilan. Kadang beberapa manusia lain yang dekat denganku pun turut merayakannya secara sederhana. Tapi esensi perayaannya dari tahun ke tahun kian mengabur.

Sebenarnya, apa yang dirayakan? 'Selamat' untuk apa? 'Panjang umur' supaya apa?

            Di bumi, penambahan umur, berarti penambahan tanggung jawab, tugas, juga harapan-harapan--baik dari orangtuaku, maupun manusia-manusia lainnya.
Kadang, umur juga bisa jadi alat untuk menyerang. Sebab tidak jarang kudengar beberapa manusia berkata "Di umur itu, harusnya dia sudah begini-begitu... Di umur itu, dia harusnya sudah mengerti ini-itu," dan beragam kalimat senada lainnya.

            Usia dalam konsep hidup manusia ternyata bukan hanya tentang perhitungan tahun saja, seperti apa yang pernah Artemis ceritakan padaku. Lebih dari itu, setiap angka seolah menjadi kotak berisikan daftar misi yang harus diselesaikan oleh masing-masing orang. Belum lagi dengan kuk tambahan lainnya yang diberi oleh sejumlah manusia lain. Seperti aku, yang sementara tinggal di sini pun dituntut untuk sudah mengetahui hal ini, bisa melakukan itu, dan lain sebagainya. Semua manusia sama saja begini.

            Uniknya, konsep-konsep seperti ini ditentukan oleh manusia sendiri. Tapi mereka lupa dengan latar belakang, kemampuan, serta kondisi berbeda pada setiap orang, dan ini mungkin bisa menghambat mereka untuk 'menyelesaikan misi'. Lalu jika ada yang belum selesai, manusia itu bisa dipandang sebelah mata oleh manusia lainnya. Sistem ini jelas menyiksa mereka, sang penciptanya sendiri.
Apa boleh mereka kuberi label 'bodoh'?
Pantas saja Metis, sang bijaksana itu suka geram sendiri melihat tingkah makhluk ini.

            Aku jadi ingin cepat-cepat menyelesaikan hukumanku di sini.

Athena memang sialan! Bukannya membantuku menyusun strategi membangun menara kartu, ia malah lewat tanpa permisi, pakai menyenggolku pula! Bagaikan domino, menara kartuku jatuh dalam sekejap mata, dan itu menghantarkanku ke planet membosankan ini. Sebagai imbas kekalahan membangun menara kartu melawan Artemis. Dia pasti tengah tertawa melihat penderitaan yang sebenarnya tidak harus kualami, karena robohnya menara itu, kan, bukan salahku! Dasar Artemis!

            Ah, tapi tak apalah kujalani saja. Nanti aku jadi punya banyak cerita untuk mengobrol dengan Tuhan di jam minum teh. Kuharap Artemis tidak berbuat curang dengan menambah menit di timer hukumanku ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun