Usia dalam konsep hidup manusia ternyata bukan hanya tentang perhitungan tahun saja,
setiap angka seolah menjadi kotak berisikan daftar misi yang harus diselesaikan oleh masing-masing orang.
      "Sehat selalu, ya!"
      "Semoga panjang umur!"
      "Cepat ketemu jodoh!"
      Kue, nyanyian, tepuk tangan, bau sumbu gosong, hingga penampakan kertas kado, semua hadir untuk membuat ritual ini lengkap.
      Entahlah, sampai hari ini aku juga belum paham tentang ritual yang diberi nama 'ulang tahun' oleh para manusia, meski sudah genap dua puluh satu kali ritual seperti ini diadakan bagiku.
Mengapa, sih, harus dinamakan 'ulang tahun'? Apanya yang sedang diulang? Mungkin mereka berbicara tentang ritual tahunan ini, lalu menamakannya demikian. Bukankah lebih baik dinamakan 'ulang ritual', atau 'ulang pesta' saja? Nama ini rasanya lebih baik dan sesuai.
Lagipula, kenapa hal seperti ini harus dirayakan, bahkan dibuat pesta? Bukankah tidak ada yang menyenangkan dengan 'ulang tahun'?
      Dulu, sih, aku juga sempat mengira bahwa Ulang Tahun itu menyenangkan. Aku melihat ada banyak anak manusia yang mendapat benda kesukaan, makanan kesukaan, juga teman-teman untuk berbagi kebahagiaan. Langit pun turut kebagian sukacita yang dirayakan oleh para manusia. Bertambah tua tampak begitu menyenangkan di bumi.
      Namun ketika merasakan sendiri, bagaimana menjadi manusia, aku mulai menyadari kenyataannya yang agak getir, masam, bahkan cenderung pahit. Ulang Tahun itu tidak menyenangkan sama sekali.
Kau bayangkan saja, aku bisa mendapat apa yang kuinginkan hanya sekali dalam setahun. Itupun berhenti seturut dengan usainya pendidikanku di bangku Sekolah Dasar. Ketika aku belum sempat membuat daftar prioritas barang ataupun hal-hal apa saja yang kuinginkan.