Mohon tunggu...
Clara Clarissa
Clara Clarissa Mohon Tunggu... Mahasiswa - An Undergraduate public health student at Universitas Indonesia

Focused on analyzing health policies and governance to enhance healthcare systems, advance public health initiatives, and promote community well-being.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tabu vs Regulasi : Mewujudkan Edukasi Kesehatan Reproduksi Melalui UU Nomor 17 Tahun 2023

31 Desember 2024   01:10 Diperbarui: 31 Desember 2024   01:11 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Radio Republik Indonesia

Menghapus Tabu, Menguatkan Edukasi

Kesehatan reproduksi, topik yang sering dianggap tabu di masyarakat, sebenarnya adalah kunci untuk menciptakan generasi yang sehat dan berdaya. Meski tampaknya "sensitif," ini adalah isu yang tidak bisa kita abaikan. Di Indonesia, kurangnya informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi telah menyebabkan berbagai masalah serius, seperti meningkatnya angka kehamilan remaja, tingginya prevalensi penyakit menular seksual, dan ketidaksiapan generasi muda dalam menghadapi tantangan kesehatan reproduksi. Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan hadir membawa semangat baru untuk meruntuhkan tabu ini. Dengan regulasi yang lebih komprehensif, UU ini membuka jalan bagi pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan untuk bekerja sama menciptakan edukasi kesehatan reproduksi yang inklusif dan progresif. Yuk, kita bahas bagaimana regulasi tersebut mampu menjawab kebutuhan masyarakat sekaligus tantangan yang dihadapi dalam implementasinya.

Apa yang Diatur dalam UU No. 17 Tahun 2023?

UU ini mengatur kesehatan reproduksi dengan sangat komprehensif. Coba kita lihat beberapa poin kuncinya:

  1. Hak Mendapatkan Informasi
    Pasal 55 menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi yang benar mengenai kesehatan reproduksi. Ini termasuk konseling yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, kalau ada mitos atau informasi yang nggak jelas kebenarannya, UU ini memastikan hak kita untuk tahu apa yang benar.

  2. Pelayanan yang Aman dan Bermutu
    Dalam Pasal 57, ada aturan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi harus aman dan berkualitas, sesuai dengan hukum dan nilai agama. Jadi, nggak ada lagi cerita pelayanan abal-abal yang merugikan masyarakat.

  3. Peran Pemerintah dalam Edukasi
    Pemerintah diberi tugas berat untuk menyediakan program edukasi kesehatan reproduksi, terutama buat remaja. Ini bisa dilakukan lewat sekolah atau layanan kesehatan yang terjangkau.

Masalah Klasik: Tabu dan Kurangnya Akses

Data dari WHO juga menunjukkan bahwa Asia Tenggara masih menghadapi angka kehamilan remaja yang cukup tinggi, akibat minimnya akses pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai. Hal ini menjadi alarm untuk segera bertindak. Laporan dari Knowledge SUCCESS juga mencatat bahwa pendekatan berbasis komunitas dan transformasi gender dapat memberdayakan kaum muda dalam membuat keputusan yang sehat terkait kesehatan reproduksi.

Salah satu program unggulan di Indonesia yang mendukung regulasi mengenai edukasi kesehatan reproduksi adalah Program BERANI (Building Effective Resources and Advocacy for New Initiatives). Program ini dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, terutama bagi perempuan dan kelompok rentan di daerah terpencil. Program ini juga berupaya memperkuat kapasitas tenaga kesehatan lokal dalam memberikan edukasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang aman dan berkualitas. Sejak diluncurkan, Program BERANI telah menunjukkan hasil yang positif; namun, terdapat beberapa tantangan, seperti :

  1. Stigma Budaya : Meskipun UU ini sudah bagus, masalah budaya tetap menjadi tantangan besar. Di banyak daerah, kesehatan reproduksi dianggap hal yang "tidak pantas" untuk dibicarakan, apalagi di kalangan remaja. Akibatnya, mereka sering mendapatkan informasi yang salah dari sumber tidak terpercaya, seperti media sosial atau teman sebaya. Masih ada resistensi dari sebagian masyarakat yang menganggap kesehatan reproduksi sebagai topik yang tabu, sehingga sulit untuk menggalang dukungan penuh.

  2. Keterbatasan Infrastruktur : Masih ada kesenjangan infrastruktur di daerah terpencil. Layanan kesehatan reproduksi sering kali tidak tersedia atau tidak memadai. Ini membuat masyarakat di sana semakin sulit mendapatkan edukasi yang mereka butuhkan.

  3. Pendanaan yang Terbatas : Ketergantungan pada dana donor membuat program ini menghadapi risiko keberlanjutan jika pendanaan berkurang.

  4. Kurangnya Tenaga Kesehatan : Meski sudah banyak tenaga kesehatan yang dilatih, distribusinya belum merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah terpencil.

Solusi yang Bisa Dilakukan

Untuk memastikan keberhasilan program-program ini, beberapa langkah strategis dapat diambil:

  1. Memasukkan Kesehatan Reproduksi ke Kurikulum Sekolah
    Kalau topik ini dijadikan bagian dari pelajaran, siswa bisa belajar dari sumber yang valid. Sebagai contoh, negara-negara seperti Belanda telah berhasil menurunkan angka kehamilan remaja lewat program pendidikan ini. Studi dari UNESCO juga menunjukkan bahwa Comprehensive Sexuality Education (CSE) secara signifikan meningkatkan pengetahuan dan perilaku sehat remaja terkait kesehatan reproduksi.

  2. Menggunakan Media Sosial untuk Edukasi
    Edukasi kesehatan reproduksi lewat media sosial bisa sangat efektif, terutama untuk generasi muda. Konten yang kreatif dan relevan bisa menarik perhatian mereka lebih baik daripada seminar formal. Misalnya, kolaborasi dengan influencer kesehatan dapat meningkatkan jangkauan informasi.

  3. Melatih Tenaga Kesehatan dan Guru
    Pelatihan khusus diperlukan agar guru dan tenaga kesehatan mampu menyampaikan informasi ini dengan baik, tanpa terjebak dalam bias atau rasa canggung. Program BERANI telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan lokal melalui pelatihan berbasis gender dan kesehatan reproduksi.

  4. Melibatkan Tokoh Masyarakat dan Agama
    Kalau tokoh masyarakat atau pemuka agama ikut mendukung edukasi ini, penerimaan masyarakat akan jauh lebih baik. Mereka bisa menjadi jembatan untuk menghapus stigma yang ada. Pendekatan berbasis komunitas yang melibatkan tokoh lokal telah terbukti sukses di beberapa wilayah Asia Selatan.

  5. Penguatan Kebijakan dan Pendanaan
    Pemerintah perlu memastikan alokasi anggaran yang memadai untuk program-program ini. Selain itu, kebijakan yang lebih tegas diperlukan untuk memastikan keterlibatan semua pihak, termasuk sektor swasta, dalam mendukung layanan kesehatan reproduksi.

Edukasi Kesehatan Reproduksi Itu Penting, Kok!

Sebagai penutup, mari kita ubah cara pandang terhadap kesehatan reproduksi. Ini bukan soal "hal yang tabu" lagi, tapi soal hak dasar untuk hidup sehat dan sejahtera. Dengan UU No. 17 Tahun 2023 sebagai landasan, kita punya peluang besar untuk menciptakan masyarakat yang lebih sadar dan peduli. Program seperti BERANI menunjukkan bahwa perubahan nyata itu mungkin, tetapi kerja sama lintas sektor dan penguatan kebijakan tetap diperlukan. Ayo mulai dari diri sendiri: baca, pelajari, dan jangan ragu berbagi informasi yang benar.

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun