Menghapus Tabu, Menguatkan Edukasi
Kesehatan reproduksi, topik yang sering dianggap tabu di masyarakat, sebenarnya adalah kunci untuk menciptakan generasi yang sehat dan berdaya. Meski tampaknya "sensitif," ini adalah isu yang tidak bisa kita abaikan. Di Indonesia, kurangnya informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi telah menyebabkan berbagai masalah serius, seperti meningkatnya angka kehamilan remaja, tingginya prevalensi penyakit menular seksual, dan ketidaksiapan generasi muda dalam menghadapi tantangan kesehatan reproduksi. Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan hadir membawa semangat baru untuk meruntuhkan tabu ini. Dengan regulasi yang lebih komprehensif, UU ini membuka jalan bagi pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan untuk bekerja sama menciptakan edukasi kesehatan reproduksi yang inklusif dan progresif. Yuk, kita bahas bagaimana regulasi tersebut mampu menjawab kebutuhan masyarakat sekaligus tantangan yang dihadapi dalam implementasinya.
Apa yang Diatur dalam UU No. 17 Tahun 2023?
UU ini mengatur kesehatan reproduksi dengan sangat komprehensif. Coba kita lihat beberapa poin kuncinya:
Hak Mendapatkan Informasi
Pasal 55 menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi yang benar mengenai kesehatan reproduksi. Ini termasuk konseling yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, kalau ada mitos atau informasi yang nggak jelas kebenarannya, UU ini memastikan hak kita untuk tahu apa yang benar.Pelayanan yang Aman dan Bermutu
Dalam Pasal 57, ada aturan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi harus aman dan berkualitas, sesuai dengan hukum dan nilai agama. Jadi, nggak ada lagi cerita pelayanan abal-abal yang merugikan masyarakat.Peran Pemerintah dalam Edukasi
Pemerintah diberi tugas berat untuk menyediakan program edukasi kesehatan reproduksi, terutama buat remaja. Ini bisa dilakukan lewat sekolah atau layanan kesehatan yang terjangkau.
Masalah Klasik: Tabu dan Kurangnya Akses
Data dari WHO juga menunjukkan bahwa Asia Tenggara masih menghadapi angka kehamilan remaja yang cukup tinggi, akibat minimnya akses pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai. Hal ini menjadi alarm untuk segera bertindak. Laporan dari Knowledge SUCCESS juga mencatat bahwa pendekatan berbasis komunitas dan transformasi gender dapat memberdayakan kaum muda dalam membuat keputusan yang sehat terkait kesehatan reproduksi.
Salah satu program unggulan di Indonesia yang mendukung regulasi mengenai edukasi kesehatan reproduksi adalah Program BERANI (Building Effective Resources and Advocacy for New Initiatives). Program ini dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, terutama bagi perempuan dan kelompok rentan di daerah terpencil. Program ini juga berupaya memperkuat kapasitas tenaga kesehatan lokal dalam memberikan edukasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang aman dan berkualitas. Sejak diluncurkan, Program BERANI telah menunjukkan hasil yang positif; namun, terdapat beberapa tantangan, seperti :
Stigma Budaya : Meskipun UU ini sudah bagus, masalah budaya tetap menjadi tantangan besar. Di banyak daerah, kesehatan reproduksi dianggap hal yang "tidak pantas" untuk dibicarakan, apalagi di kalangan remaja. Akibatnya, mereka sering mendapatkan informasi yang salah dari sumber tidak terpercaya, seperti media sosial atau teman sebaya. Masih ada resistensi dari sebagian masyarakat yang menganggap kesehatan reproduksi sebagai topik yang tabu, sehingga sulit untuk menggalang dukungan penuh.
Keterbatasan Infrastruktur : Masih ada kesenjangan infrastruktur di daerah terpencil. Layanan kesehatan reproduksi sering kali tidak tersedia atau tidak memadai. Ini membuat masyarakat di sana semakin sulit mendapatkan edukasi yang mereka butuhkan.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!