[caption id="attachment_366620" align="aligncenter" width="639" caption="Prof Bintan R Saragih,Dekan FH UPH, Topane Gayus Lumbuun, Hakim Mahkamah Agung (MA), Hamdan Zoelva, Mantan Ketua Hakim Konstitusi dan Jamin Ginting, Ketua Pusaka FH UPH"][/caption]
Isu hukuman mati menjadi isu yang tepat untuk dibahas saat ini, dimana isu ini telah menjadi isu nasional bahkan internasional dan juga bertepatan dengan beberapa waktu lalu Kejaksaan melaksanakan eksekusi pidana mati terhadap beberapa terpidana mati narkotika.
Berangkat dari latar belakang tersebut, Studi Konstitusi dan Anti Korupsi (Pusaka) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) bekerja sama dengan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) DKI Jakarta menyelenggarakan Seminar Nasional Dinamika Eksekusi Putusan Hukuman Mati di Indonesia.
Seminar nasional ini menghadirkan Faried Harianto SH. MS, Staff Ahli Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum, yang mewakili H.M Prasetyo, Jaksa Agung Republik Indonesia, Topane Gayus Lumbuun, Hakim Mahkamah Agung (MA) dan Hamdan Zoelva, mantan Ketua Hakim Konstitusi. Seminar ini dipandu oleh Jamin Ginting, Ketua Pusaka FH UPH yang sekaligus menjabat Ketua Mahupiki DKI Jakarta. Turut hadir juga Rektor UPH Jonatan L. Parapak dan Dekan FH UPH Bintan R. Saragih.
“Begitu pentingnya isu hukuman mati ini bahkan sampai menarik perhatian dunia, saya bangga FH Hukum UPH mengambil prakarsa tentang isu ini dalam seminar nasional dan bisa menghadirkan tamu-tamu kehormatan. Semoga melalui seminar ini bisa memberikan pencerahan dan manfaat kepada mahasiswa”, ujar Rektor dalam kata sambutannya.
Keynote speech disampaikan oleh Faried Harianto SH. MS, Staff Ahli Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum. Ia menjelaskan bahwa hukuman mati dapat memberikan efek jera kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang serupa, sekaligus sebagai bentuk rasa keadilan terhadap korban yang ditinggalkan. Melalui putusan eksekusi hukuman mati oleh Jaksa Agung terhadap kasus narkotika ini, memberikan peringatan kepada pelaku kejahatan narkoba bahwa tidak ada hukum yang aman bagi mereka.
Ia menjelaskan bahwa eksekusi yang dilakukan tersebut merupakan upaya pengejewantahan lites finir oportet dan justice delayed justice denied. Ini merupakan bentuk penegakan hukum yang progresif, dengan tidak ragu mengeksekusi pelaku tindak pidana serius (Serious Crime) yang menggunakan PK untuk mengulur-ulur eksekusi. Melalui seminar ini, ia berharap dapat terwujudnya terobosan regulasi yang lebih permanen untuk pelaksanan hukuman mati.
Hakim Agung Gayus Lumbuun yang sudah banyak mengatasi kasus hukuman mati, tidak mempermasalahkan eksekusi hukuman mati ini. Baginya, ekseskusi hukuman mati merupakan konsistensi penegakan hukum di Indonesia sebagai bagian dari pelaksanaan politik hukum nasional dalam arti penegakan hukum positif.
Hukuman mati bukanlah hal yang dapat diputuskan dengan sembarnagan. Gayus menekankan bahwa perlu menyeleksi perbuatan pidana yang layak untuk dihukum mati, termasuk juga pengampunan atas hukuman mati melalui pemberian grasi oleh Presiden dan teknis pelakasanaannya.
Ia menyampaikan pendapatnya mengenai penyampaian PK yang pada prinsipnya hanya satu kali. Jika ada novum, menurutnya PK perlu diajukan kembali dan diperjelas batasan waktu untuk pengajuan PK setelah PK pertama untuk menciptakan kepastian hukum.
“Substansi mengenai kesempatan mengajukan PK menyangkut hak individu yang perlu ditetapkan bersama dengan wakil-wakil rakyat, sebagai lanjutan dari putusan MK yang juga setara dengan Undang-Undang”
Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh Hamdan Zoelva, mantan Hakim Konstitusi. Ia menjelaskan bahwa hukuman mati tidak bertentangan khususnya terhadap Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945, melainkan bersifat sah secara konstitusional baik menurut UU dan putusan MK.
“Hukuman mati bukan lagi pidana pokok melainkan pidana khusus atau alternative dengan adanya pembatasan seperti masa percobaan selama 10 tahun, jika ada perubahan maka dapat diganti dengan hukuman seumur hidup selama (20 tahun penjara). Juga untuk wanita hamil dan orang yang mengalami sakit jiwa”, jelas Hamdan.
Pada kesempatan sesi tanya jawab, Gayus menjawab salah satu pertanyaan peserta yang menanyakan apakah hukuman mati dapat menimbulkan efek jera dan keadilan. Baginya, efek jera ini penting dan sangat diperlukan agar tidak melakukan kejahatan lagi. Keadilan yang diputuskan tentu tidak mudah, tetapi melalui logika seorang hakim dan sesuai dengan Undang-Undang putusan keadilan itu diambil. Ia juga menyampaikan bahwa konsep agama tidak bisa digunakan dengan konsep hukum negara. Hamdan juga menyetujui hal ini, dimana Indonesia yang juga merupakan negara multi kultural dan terdiri dari agama yang berbeda-beda, tidak bisa menerapkan hukum moral agama.
Pada akhir seminar, Gayus berharap kedepannya hukum dapat berkembang seiring perkembangan jaman dimana adanya kemungkinan tidak menggunakan hukuman mati sebagai satu-satunya jalan. Ia menganjurkan untuk memandang kedepan lebih luas lagi dan melihat teori restorative justice sebagai teori yang bisa dikembangkan untuk negara ini. (ca)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H