Rumah tua di Dusun kecil By Clara Siwi lestari
Â
 Di Sebuah rumah tua di Dusun terpencil
Menunggu dengan gelisah seorang gadis kecil,
Akan lelaki kecil dengan senyum ramah seolah memanggil
Lalu,
Keduanya beriringan menuju saung di tepian sawah
Duduk berdua tanpa suara, bertukar kerling mata
Angin meningkahi, gemercik suara air, dan liukan padi menemani
Senja selalu berulang yang sama
Keduanya jatuh cinta dengan saling memandang saja
Setiap hari,
Pria kecil itu setia melambaikan tangan di depan rumah tua
Dan gadis kecil itu melangkah Bersama
Mengitari pematang sawah, memetik bunga liar
Mencari kupu kupu warna, mendapatkan cinta yang mekar
Dan lelaki kecil itu tersenyum,
Mengikatkan jari si gadis dengan alang-alang, Lalu keduanya pulang;
Bersama, bertukar senyum mesra
sebelum menyampaikan selamat berpisah, di depan rumah tua
Demikianlah setiap senjaPria kecil itu, menjadi hiasan gadis kecil
Gadis kecil itu biasa mengintil pria kecil
Remaja kecil, menikmati hari tanpa janji
Memutari pematang sawah, setiap hari
duduk di saungnya  setiap senja
memekarkan cinta diantara keduanya
mengalirkannya begitu saja
seterang Mentari, sepolos cahaya
lalu pria itu mengikat alang alang dijarinya sebelum berpisah
keduanya berbinar Bahagia
tersenyum dan mata berkaca-kaca
di depan rumah tua!pada satu hari yang menjadi kenangan Â
gadis kecil itu menunggu di teras rumah
hingga senja ditutupkan; tak ada lambaian tangan
disekanya airmata yang berlarian
hari terlewatkan, tahun demikian, dan gadis kecil itu memiliki kesedihan
sesungguhnya lelaki itu sangatlah pendiam
dia hanya mampu memberikan senyuman
sesungguhnya lelaki kecil itu sangatlah 'papa'
dia hanya memiliki bunga alang-alang saja
namun gadis kecil itu sangatlah bangga
lelaki itu berlelah menemuinya, dan tak pernah berkata cinta
tatapan matanya saja yang bermakna
gadis itu menyimpannya
dan
di depan rumah tua itu gadis itu tetap menunggu
gadis itu menua Bersama senja ungun
namun dia tetap merasa sebagai gadis kecil selalu!Pada hari yang menjadi keceriaan
Langit sangatlah cerah, bunga di halaman bermekaran
Seorang pria berdiri membawa sepucuk alang-alang
Keduanya bertukar tatap sangat dalam, menusukkan pedang menghunjam-hunjam
Berjabat tangan sangat erat, hingga tak mampu teruraikan, saling mengikat
Wanita itu berlinangan, airmatanya menyuburkan cinta
Pria itu berlutut mencium ujung jemari gadisnya
Keduanya terpisah tanpa tahu sebabnya
Keduanya telah menua, waktu mengantarkannya
Demikianlah rumah tua itu pula
Â
Â
Di halaman rumah tua, Keduanya berdiri agak rapat, Â Â Â Â
Pria itu menjulurkan tangannya, membelai rambut yg tak lagi lebat
Keduanya bertatap mata hebat, sangatlah hebat
Aku mencintaimu gadis kecilku
Kata pertama  setelah ratusan purnama berlalu
Gadis itu memejamkan mata, tetesan air menyibakkan pipinya
: semua menua kecuali cinta kita
Janganlah pergi lagi, mari menimati sisa usia iniDi teras rumah tua, pada sebuah bahu Gadis itu menyenderkan kepala
Di jarinya terikat alang-alang
Dirambutnya terselip bunga alang-alang
Di hatinya bertumbuhan getar cinta
Dia memejamkan mata
Pria itu menghamburinya ciuman mesra
: semua menua kecuali cinta kita
Janganlah pergi lagi, mari menimati sisa usia ini
Â
Di rumah tua, dua orang tua, berdoa
Agar cinta mereka selalu muda, selamanya
Udara mengalir lembut, cuaca sedikit berkabut
Keduanya bertatap mesra, saling membelai wajah
: aku mencintaimu!
Â
 Pamenang, 27 desember 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI