Transgender merupakan suatu keadaan dimana seseorang atau individu merasa bahwa identitas gendernya berbeda dengan jenis kelaminnya secara biologis sejak lahir. Saat seorang bayi lahir, dokter akan menentukan apakah bayi tersebut laki-laki atau perempuan secara langsung berdasarkan komponen biologis yaitu kromosom, hormon bawaan bayi, dan alat kelamin. Namun, jika identitas gender maka tertuju pada suatu konsepsi seseorang tentang gendernya sendiri. Hal tersebut baik identifikasi individu sebagai seorang perempuan, laki-laki, atau tidak keduanya. Lalu, terdapat pendapat yang menilai mengenai transgender menyalahi kodrat. Sesungguhnya, konsep "kodrat" dapat didefinisikan secara berbeda-beda tergantung pada konteks dan pandangan filosofis atau sosial tertentu. Dalam pengertian umum, kodrat bisa merujuk pada sifat alamiah atau fitrah suatu entitas.
Dalam konteks ini, mengidentifikasi diri sebagai transgender tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kodrat karena orientasi seksual dan identitas gender merupakan bagian dari keragaman manusia. Manusia memiliki keberagaman dalam berbagai aspek, termasuk identitas gender dan orientasi seksual. Oleh karena itu, mengakui dan menghormati keberagaman ini dapat dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap kodrat manusia yang melibatkan kompleksitas dan variasi. Ada banyak alasan mengapa seseorang bertindak menyalahi kodrat tersebut, salah satunya seperti perasaan akan dirinya berada pada tubuh yang salah sehingga terjadi perdebatan batin panjang dengan dirinya pribadi dan juga ada yang terpengaruh oleh faktor lingkungan. Dapat diketahui bahwa pemahaman tentang "kodrat" dapat bervariasi, dan pandangan yang inklusif terhadap keberagaman manusia dapat membantu membangun masyarakat yang lebih adil dan berempati.
Hingga kini, masih terdapat beberapa masyarakat yang tidak dapat menerima keberadaan transgender. Dalam konsep perkembangan identitas gender seseorang, seseorang dinilai laki-laki karena memiliki penis dan seseorang dinilai perempuan karena memiliki vagina. Hal ini masih bertentangan dengan nilai-nilai kultur, sosial, dan budaya di Indonesia. Secara umum, transgender tidak diterima dilingkungan masyarakat karena kerap dianggap melanggar norma-norma yang menentukan apa yang dianggap baik, apa yang dianggap seharusnya, dan apa yang sesuai dengan keyakinan tertentu.Â
Norma-norma ini mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik, agama, budaya, dan hukum. Contohnya, banyak transgender yang kesulitan dalam mencari pekerjaan, mendapatkan gaji yang setara, serta kesulitan mendapatkan kesempatan pengembangan karir. Sehingga, hal ini berdampak pada ekonomi individu tersebut, serta negara. Tidak hanya itu, perlindungan hukum yang kurang mengakibatkan ketidaksetaraan dalam perlindungan hukum dan hak asasi manusia untuk individu transgender tersebut. Dalam kasus lain, banyak budaya Indonesia yang belum bisa menerima keberadaan individu transgender, dikarenakan budaya yang konservatif dan kurang inklusif, sehingga membuat stigma sosial yang tidak baik tentang individu transgender tersebut.Â
Namun, hal tersebut bersifat relatif karena ada juga budaya yang mengenal lebih dari 2 (dua) gender, yaitu Suku Bugis dari Sulawesi Selatan. Suku Bugis mengenal 5 (lima) gender, yaitu lelaki, perempuan, calalai (perempuan dengan sifat maskulin), calabai (pria dengan sifat feminin), dan Bissu, sebagai kelompok unik yang tidak terdefinisi sebagai laki-laki atau perempuan. Seringkali, seseorang yang dianggap transgender tidak diterima di lingkungannya. Hal ini disebabkan karena mereka dianggap berbeda dengan orang pada umumnya, serta tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya yang dianut oleh masyarakat di sekitar mereka. Meskipun menyakitkan dan melelahkan, diperlukan adanya penjelasan oleh individu transgender tersebut terkait dengan identitas, kebutuhan, dan pengalaman, sehingga mereka dapat dilihat, dihargai, dan dipahami menjadi seorang individu.Â
Seseorang dapat berubah menjadi transgender karena seksualitas dan identitas gender kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Banyak penelitian menunjukkan adanya kombinasi faktor genetik, lingkungan, psikologis, pengalaman hidup, perubahan budaya dan sosial yang berperan dalam orientasi seksual seseorang. Beberapa bukti menunjukan bahwa faktor genetik dan hormonal mungkin berperan, tetapi tidak ada satu penyebab tunggal yang menjelaskan semua kasus. yang pasti, menjadi bagian dari komunitas LGBT bukanlah pilihan, tetapi bagian dari identitas yang kompleks dan individu setiap orang. Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi bagian dari komunitas LGBT. Beberapa faktor-faktor tersebut diantaranya:Â
Faktor genetik: Beberapa penelitian menunjukkan adanya korelasi antara faktor genetik dan orientasi seksual. Meskipun belum ada penemuan tunggal yang menetapkan bahwa orientasi seksual sepenuhnya ditentukan oleh genetika, ada bukti bahwa faktor genetik dapat memainkan peran dalam kompleksitas identitas seksual.
Faktor lingkungan: Pengalaman lingkungan sosial, termasuk keluarga, teman sebaya, dan masyarakat di sekitar bisa mempengaruhi bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya. Dukungan atau penolakan dari lingkungan dapat memainkan peran penting dalam mempengaruhi bagaimana individu menerima dan memahami identitas mereka.
Faktor psikologis: Proses internal individu, seperti perasaan, refleksi dan identifikasi diri, juga memiliki dampak besar terhadap bagaimana seseorang menyadari dan merasakan identitas mereka. ini bisa melibatkan proses eksplorasi diri dan penerimaan terhadap perasaan dan preferensi yang mungkin tidak sesuai dengan norma-norma yang diharapkan.
Pengalaman hidup: Pengalaman hidup seseorang seperti trauma, pengalaman emosional, atau interaksi sosial yang beragam, juga dapat mempengaruhi cara individu memahami dan merespons identitas mereka. pengalaman ini bisa menjadi katalisator bagi seseorang untuk menjelajahi dan mengenali diri mereka lebih dalam.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!