Mohon tunggu...
Clairine Aprillia
Clairine Aprillia Mohon Tunggu... Tentara - Pelajar

Swag

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pengambilan Gen Asli Plasma Nutfah oleh Negara Lain, Bolehkah?

24 Agustus 2018   13:50 Diperbarui: 24 Agustus 2018   14:22 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita pasti sering mendengar istilah reproduksi dalam hidup sehari-hari, namun apakah kita tahu tentang arti dari reproduksi itu sendiri? Reproduksi adalah proses biologis yang dilakukan oleh suatu individu untuk menghasilkan individu baru. Reproduksi sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu reproduksi seksual (generatif) dan reproduksi aseksual  (vegetatif).

Reproduksi seksual (generatif) adalah pembentukan individu baru yang diawali dengan peleburan antara gamet jantan dan gamet betina. 

Sedangkan reproduksi aseksual (vegetatif) adalah pembentukan individu baru tanpa adanya peleburan antara gamet jantan dan gamet betina. Pada tumbuhan, reproduksi vegetatif  dibagi lagi menjadi vegetatif alami dan vegetatif buatan. Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas salah satu bentuk dari reproduksi vegetatif  buatan pada tumbuhan yaitu kultur jaringan.

Kultur jaringan pertama kali diperkenalkan oleh seorang botanis asal Austria bernama Haberlandt. Beliau adalah orang pertama yang membudidayakan sel-sel tanaman secara in vitro (menggunakan peralatan laboratorium) pada suatu medium  buatan. 

Haberlandt memiliki keyakinan bahwa tidak ada batas (limit) fragmentasi yang akan mempengaruhi proliferasi (pertumbuhan pesat untuk menghasilkan jaringan baru, sel, maupun keturunan) seluler. Dalam percobaannya, Haberlandt menggunakan medium yang terdiri atas larutan knop, asparagin, pepton, dan sukrosa. Senyawa-senyawa tersebut digunakan dengan tujuan sebagai penunjang nutrisi untuk bagian tanaman yang akan dikultur. 

Percobaan yang dilakukan oleh Haberlandt ternyata gagal. Tanaman yang ia kulturkan hanya mampu bertahan dalam beberapa bulan karena tidak mengalami proliferasi. 

Kegagalan Haberlandt ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah penggunaan unsur-unsur hara yang relatif sederhana sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagian tanaman secara optimal, penggunaan sel-sel yang sudah sangat terdiferensiasi, dan kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada bagian sel yang akan dikultur karena pada saat itu Haberlandt tidak melakukan tahap sterilisasi. 

Berdasarkan percobaan yang telah ia lakukan, maka Haberlandt melakukan evaluasi dan menganjurkan penggunaan cairan kantong embrio dan teknik jembatan kertas sebagai salah satu alternatif untuk melakukan kultur jaringan. Selain itu Haberlandt juga menyatakan bahwa ada kemungkinan untuk mengkulturkan embrio buatan yang berasal dari sel-sel vegetatif. 

Kultur jaringan (tissue culture) sendiri adalah suatu metode yang dilakukan dengan mengisolasi bagian  tanaman berupa sel, jaringan, dan organ, kemudian bagian tersebut ditumbuhkan dalam suatu medium aseptik agar bisa beregenerasi menjadi suatu tanaman yang lengkap. 

Tissue culture considered as an in vitro aseptic culture of cells, tissues, organs or whole plant below exact nutritional and ecological circumtances (Thorpe,2007). 

Hal yang mendasari teknik kultur jaringan sendiri ialah sifat totipotensi  (Total Genetic Potential) yang dimiliki oleh sel. Hal ini sangat berkaitan dengan teori sel yang diungkapkan oleh Schleiden dan Schwann. Mereka berpendapat bahwa sel mempunyai kemampuan autonom dan totipotensi. Sifat totipotensi tersebut membuat sel mampu untuk tumbuh dan berkembang dalam medium aseptik, dengan syarat medium tersebut haruslah mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan. 

Kultur jaringan sendiri biasanya dilakukan pada tumbuhan yang sulit dikembangbiakkan secara generatif (misalnya tumbuhan yang tidak menghasilkan biji/menghasilkan biji yang sangat sedikit, dan tumbuhan yang tidak memiliki endosperm seperti pada biji anggrek), sehingga akhirnya dipilihlah pengembangbiakkan secara vegetatif. 

Pada dasarnya, ada dua prinsip utama dalam kultur jaringan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu mengambil dan mengisolasi bagian tanaman yang akan dikulturkan dari tanaman induk, dan menumbuhkembangkan  bagian tanaman tersebut pada media yang sesuai. Kedua hal tersebut harus dilakukan dalam keadaan steril atau bebas hama. 

Sebenarnya, teknik yang digunakan dalam kultur jaringan sangatlah sederhana. Teknik tersebut dapat dilakukan dengan meletakkan secara aseptik bagian  tanaman yang akan dikulturkan atau disebut juga sebagai eksplan, ke dalam medium yang cocok dan steril. Jika teknik tersebut dilakukan dengan benar, maka sel yang dikulturkan akan mengalami proliferasi sehingga membentuk kalus. 

Kalus sendiri adalah proliferasi massa sel  yang sedang aktif membelah diri dan belum terorganisasi. Jika kalus dipindahkan ke suatu media yang cocok, maka kalus akan membentuk tanaman kecil dengan bagian-bagian yang lengkap. Tanaman kecil yang sudah lengkap itu disebut juga sebagai planlet. 

Saat ini, telah berkembang banyak sekali teknik-teknik kultur jaringan yang sangat meluas penggunaannya. Teknik-teknik tersebut antara lain adalah meristem culture, pollen culture/anther culture, protoplast culture, chloroplast culture, dan somatic cross. Sedangkan untuk melakukan kultur jaringan ada beberapa tahap yang harus dilakukan. 

Tahap-tahap tersebut adalah pembuatan media, inisiasi, sterilisasi, multiplikasi, pengakaran, dan yang terakhir adalah aklimatisasi. Tujuan dari kultur jaringan sendiri di antaranya adalah memperoleh bibit tanaman dengan sifat yang sama dalam waktu singkat, menghasilkan bibit tanaman yang bebas penyakit dalam jumlah besar, melestarikan tanaman-tanaman langka dan tanaman yang sukar dikembangbiakkan secara tradisional.

Selama ini, kita lebih sering mendengar tentang kultur jaringan pada tumbuhan, namun apakah kultur jaringan hanya bisa dilakukan pada tumbuhan? Jawabannya tidak. Ternyata kultur jaringan juga bisa diterapkan pada hewan. Namun, memang kultur jaringan pada hewan sangatlah jarang dilakukan, karena pada dasarnya kultur jaringan lebih mudah diterapkan pada tumbuhan. Hal itu disebabkan karena sel tumbuhan memiliki sifat totipotensi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sel hewan, sehingga tingkat keberhasilan kultur jaringan pada tumbuhan pun juga jauh lebih tinggi. 

Sama halnya seperti kultur jaringan pada tumbuhan, kultur jaringan pada hewan pun juga membutuhkan media tumbuh. Tentunya media tumbuh tersebut haruslah mengandung nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan oleh sel/jaringan yang akan dikulturkan. Nutrisi-nutrisi tersebut antara lain adalah karbohidrat, asam amino, vitamin, garam, lemak, hormon, zat-zat bioaktif, mineral, dan serum.

Selain penjelasan di atas, penting pula bagi kita untuk mengetahui tentang bioetika dalam melangsungkan kultur jaringan. Bioetika memang belum terlalu dikenal luas oleh orang-orang di Indonesia sebagai sebuah disiplin ilmu, padahal sebenarnya bioetika ini sangat penting untuk diketahui dan dipahami, terutama oleh orang-orang yang berkecimpung dalam dunia biologis seperti dokter, ilmuwan, peneliti, dan lain sebagainya.

Istilah Bioetika sendiri diambil bahasa Yunani, "bios" yang berarti hidup, dan "ethos" yang berarti adat istiadat atau moral. Seorang filsuf Amerika bernama Samuel Gorovitz, mendefinisikan bioetika sebagai penyelidikan kritis dari pengambilan keputusan mengenai dunia kesehatan. 

Bioetika sendiri memiliki 2 metode dalam pelaksanaannya. Metode yang pertama adalah metode etika deontologis yang dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan. Sedangkan, metode yang kedua adalah metode konsekuensialisme. Metode ini merupakan suatu metode yang menggunakan konsekuensi sebagai acuan untuk menentukan baik buruknya suatu tindakan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa bioetika adalah suatu pedoman aktivitas bagi para biologiwan atau ahli-ahli biologi dalam melakukan pekerjaannya, sehingga kegiatannya tidak menimbulkan efek negatif bagi kehidupan. 

Dikarenakan peranan bioetika yang begitu penting, maka Indonesia pun juga telah membentuk Komisi Bioetika Nasional pada tanggal 17 September 2004. Bahkan, Indonesia sudah memiliki undang-undang khusus yang erat kaitannya dengan kultur jaringan. Undang-undang tersebut termuat dalam UU No. 18 tahun 2002 pasal 22 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan IPTEK.

Selain diatur oleh undang-undang, bioetika dalam pelaksanaan kultur jaringan juga ditinjau dari berbagai segi kehidupan. Salah satunya ialah para peneliti yang hendak mengembangkan teknik kultur jaringan, harus bertanggung jawab terhadap dampak-dampak dari kultur jaringan yang ia lakukan,  baik dari segi moral maupun etika.

Setelah memahami tentang kultur jaringan dan bioetika pelaksanaannya, maka sekarang kita akan membahas sebuah kasus yang erat kaitannya dengan kultur jaringan. Seperti yang telah kita ketahui bahwa kultur jaringan telah banyak digunakan untuk menjaga kelestarian serta pemanfaatan sumber hayati. 

Banyak sekali negara-negara maju yang berlomba-lomba mengembangkan teknologi kultur jaringan untuk mengambil gen plasma nutfah dari negara lain. Apakah hal itu sah untuk dilakukan? Apakah boleh suatu negara mengambil gen asli plasma nutfah dari negara lain untuk dikembangkan di negaranya sendiri? Berikut adalah pembahasannya.

Suatu negara memilih kultur jaringan sebagai salah satu teknik untuk mengembangkan tanaman dari negara lain dikarenakan eksplan dari tumbuhan yang hendak dikulturkan bisa lolos dari pemeriksaan di bandara dengan mudah, sedangkan jika menggunakan teknik lain, akan ada banyak syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum membawa suatu bagian tanaman dari satu negara ke negara lain. 

Hal itu bisa terjadi karena teknik kultur jaringan diyakini mampu menghasilkan bibit tanaman yang bebas hama penyakit, sehingga eksplan dapat dikirim melewati batas-batas negara tanpa harus melalui proses karantina. 

Walaupun demikian, ada berbagai aspek yang harus dipertimbangkan oleh suatu negara jika hendak menyetujui pengambilan gen asli plasma nutfah oleh negara lain. 

Terlebih lagi jika gen yang hendak diambil adalah gen asli dari tanaman endemik milik negara yang bersangkutan. Mengapa diperlukan pertimbangan? Hal itu karena teknik kultur jaringan hanya bisa dilakukan jika terdapat eksplan, dan eksplan hanya bisa didapatkan jika kita memotong bagian dari tanaman yang akan dikulturkan guna dipindahkan ke dalam medium lain. 

Sebelumnya, perlu kita ketahui bahwa kultur jaringan memiliki peluang lebih besar untuk berhasil jika menggunakan jaringan meristem sebagai eksplan. Mengapa demikian? Karena jaringan meristem adalah jaringan muda yang terdiri dari sel-sel yang selalu aktif membelah, sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang lebih pesat. 

Bisa kita bayangkan jika banyak negara asing yang ingin mengambil jaringan meristem ini dari tanaman endemik milik suatu negara, pastilah lama-kelamaan tanaman endemik itu menjadi tanaman yang tidak sempurna, sulit untuk tumbuh dan berkembang, bahkan populasinya bisa menurun. Jika hal tersebut terjadi terus-menerus, bisa jadi tanaman tersebut akan punah dan sulit ditemui di negara asalnya. Tentunya hal tersebut bisa mengurangi keanekaragaman hayati suatu negara. 

Selain perihal eksplan, kita juga harus memperhatikan tingkat keberhasilan dari kultur jaringan yang hendak kita lakukan. Seperti yang kita ketahui bahwa keadaan alam dan iklim dari setiap negara pastilah berbeda-beda, dan ada beberapa tanaman yang hanya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di tempat-tempat tertentu. 

Misalnya saja tanaman tropis yang hanya bisa dikulturkan pada kisaran suhu 24- 32 derajat celcius, tentunya suhu yang dibutuhkan oleh tanaman subtropis juga berbeda. Maka dari itu, jika tanaman yang hendak dikulturkan tidak memungkinkan untuk ditumbuhkan di negara atau tempat lain, sebaiknya kultur jaringan tidak dilakukan. 

Jika kita tetap melakukan kultur jaringan, maka bisa jadi upaya tersebut akan sia-sia dan hanya akan membuat tanaman menjadi kekurangan bagian tubuhnya, karena nantinya setelah eksplan yang tumbuh dan berkembang dalam medium dipindahkan ke alam bebas negara yang bersangkutan, ia tidak akan bisa bertahan hidup karena faktor iklim, keadaan lingkungan, dan faktor-faktor lainnya. 

Selain karena faktor lingkungan, kultur jaringan juga bisa gagal dikarenakan tanaman hasil kultur yang tidak mampu beradaptasi dengan baik. 

Ketika ia berada di dalam medium, terdapat banyak sekali persediaan unsur hara yang bisa eksplan dapatkan tanpa harus melakukan fungsi tertentu, sedangkan ketika eksplan sudah menjadi tanaman lengkap dan ditempatkan di alam bebas, ia harus berusaha sendiri untuk mendapatkan unsur-unsur hara yang ia butuhkan untuk tumbuh dan berkembang. Maka dari itu, jika tanaman yang dihasilkan dari kultur jaringan tidak bisa lekas beradaptasi dengan lingkungan sekitar, maka ia tidak akan bisa bertahan hidup.

Dalam hal ini, bioetika untuk melakukan kultur jaringan juga perlu untuk kita perhatikan. Perlu diingat kembali, bahwa setiap orang yang hendak melakukan kultur jaringan harus memastikan bahwa tindakannya itu bersifat membangun dalam jangka panjang. 

Jadi, ketika seseorang mengkultur gen asli dari tanaman endemik suatu negara, dan ia membawa produk hasil pengkulturannya itu ke negaranya untuk dikembangkan, maka orang tersebut haruslah dapat menjamin bahwa produk hasil pengkulturannya itu tidak akan menghambat tumbuh kembang diversitas lainnya. 

Hal itu perlu dipastikan karena masing-masing organisme memiliki sifat yang berbeda-beda dan belum tentu bisa cocok satu sama lain. Maka dari itu, diharapkan bahwa kultur jaringan bisa dilangsungkan tanpa harus memberi dampak buruk bagi organisme-organisme di sekelilingnya.

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis menyimpulkan bahwa negara lain tidak diperbolehkan untuk mengambil gen asli plasma nutfah suatu negara, karena hal tersebut dianggap bisa mengurangi keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh suatu negara, bahkan menghilangkan kekhasan dari negara yang bersangkutan. 

Selain itu, pengambilan gen asli plasma nutfah dari negara lain juga dianggap melanggar bioetika dari kultur jaringan itu sendiri. Disebut melanggar, karena hal tersebut dianggap berpotensi mengganggu bahkan menghambat pertumbuhan dan perkembangan diversitas lain yang sudah lebih dulu ada, baik di negara yang hendak melakukan kultur jaringan maupun di negara asal tanaman yang hendak dikulturkan.

Sekian artikel mengenai kultur jaringan dan pengaplikasiannya. Mohon maaf jika ada kesalahan kata atau huruf, dan semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Terimakasih. AMDG!

DAFTAR PUSTAKA

  • Chang, William. (2009). Bioetika. Yogyakarta : Kanisius.
  • Dodds, John, H, Roberts, Lorin, W. 1985. Experiments in Plant Tissue Culture Second Edition. Cambridge University Press, Australia.
  • Henuhili, Victoria. 2013. Kultur Jaringan Tanaman. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogayakarta.
  • Holil, Kholifah. 2012. Buku Petunjuk Praktikum Kultur Jaringan Hewan. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang.
  • Hussain, Altaf, Qarshi, Iqbaal Ahmed, Nazir, Humera, Ullah, Ikram. Plant Tissue Culture : Current Status and Opportunities. https://www.intechopen.com/books/recent-advances-in-plant-in-vitro-culture/plant-tissue-culture-current-status-and-opportunities. (diunduh pada tanggal 23 Agustus 2018) 
  • Kadhimin, Ahsan, A, Alhasnawi, Arshad Naji, Mohamad, Azhar, Wan Yusoff, Wan Mohtar,  Che Mohd Zains, Che Radziah. 2014. Tissue Culture and Some of The Factors Affecting Them and The Micropropagation of Strawberry. School of Biosciences & Biotechnology, Faculty of Science and Technology, Kebangsaan Malaysia University, Malaysia.
  • Mastuti, Retno. (2017). Dasar-Dasar Kultur Jaringan Tumbuhan. Malang : UB Press.
  • Sriyanti, Daisy, P, Wijayani, Ari. (1994). Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta : Kanisius.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional, Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. www.hukumonline.com. (diunduh pada tanggal 22 Agustus 2018)
  • Yulianti, Nurheti. (2010). Kultur Jaringan Tanaman Skala Rumah Tangga. Yogyakarta : Lily Publisher.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun