Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Energi Surya dan Demokrasi Energi di Indonesia

15 April 2019   18:47 Diperbarui: 16 April 2019   19:12 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafis IESR dengan sumber data dari PLN

 

Karena energi adalah kebutuhan mendasar manusia modern, idealnya, masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan dan menggunakan energi bersih dan terbarukan. Bagaimana rooftop solar dapat menjawab tantangan ini di Indonesia?

Sebagai negara yang terletak di khatulistiwa, potensi energi surya di Indonesia terbilang besar dan berlimpah sepanjang tahun. Potensi teknis pembangkitan listrik energi surya (fotovoltaik) di Indonesia mencapai 559 GW, dan beberapa lokasi di Indonesia dapat menghasilkan listrik fotovoltaik hingga 1.680 kWh per tahun untuk setiap 1 kWp (kilowatt peak) panel surya terpasang (setara dengan konsumsi listrik rumah tangga menengah 140 kWh/bulan atau ~ Rp 200.000/bulan). 

Dengan potensi yang tinggi dan perkembangan teknologi yang sangat pesat yang berkontribusi pada meningkatnya akses pada produk fotovoltaik dan turunnya harga pembangkitan listrik fotovoltaik, tren penggunaan energi surya semakin meningkat setiap tahunnya.

Energi surya adalah satu dari sedikit jenis energi terbarukan yang secara langsung dapat diakses masyarakat dan dapat digunakan dengan variasi skala yang beragam. Tidak hanya untuk pembangkitan listrik skala besar yang membutuhkan tanah yang luasnya berhektar-hektar (di atas 10 MW), energi surya dapat dinikmati masyarakat umum dengan penggunaan rooftop solar berkapasitas beberapa kWp hingga sekecil lampu meja dan power bank. Tidak berlebihan bila energi surya disebut sebagai "sumber energi yang demokratis" karena dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan berbagai bentuk dan skala kapasitas.

Keterbatasan Informasi

Penggunaan energi surya dalam bentuk rooftop solar di Indonesia sendiri masih sangat terbatas. Meski secara global telah menjadi tren yang terus berkembang setiap tahunnya, masyarakat Indonesia masih belum memiliki akses yang komprehensif dan merata pada informasi dan variasi produk rooftop solar. 

Hingga bulan Januari 2019, PLN mencatat pelanggannya yang menggunakan rooftop solar tersambung jaringan (on-grid) baru mencapai 609 orang. Informasi mengenai rooftop solar, baik dari informasi teknis, produk, hingga kebijakan dan regulasi, masih terbatas di kalangan tertentu; kebanyakan didominasi kalangan menengah ke atas dan mereka yang terpapar pada isu energi atau ketenagalistrikan. 

Selain itu, harga produk rooftop solar masih dianggap tinggi. Dengan rata-rata harga USD 1,000/kWp, pelanggan rumah tangga yang ingin menggunakan energi surya masih enggan untuk memasang panel surya karena mereka harus mengeluarkan sejumlah uang dalam jumlah besar dan belum dimungkinkan untuk dibayar dengan skema cicilan. 

Sebagai gambaran, untuk rumah tangga dengan golongan pelanggan listrik 2200 VA dan konsumsi listrik wajar dengan 1 AC di rumah, setidaknya memerlukan panel surya dengan kapasitas 3 kWp atau setara dengan Rp 45.000.000.  

Apakah Penggunaan Rooftop Solar Legal?

Tren penggunaan rooftop solar oleh pelanggan listrik rumah tangga mulai terlihat signifikan sejak tahun 2013. Sebelum 2013, tidak ada aturan yang secara khusus mengakomodasi pelanggan listrik rumah tangga yang memasang panel surya di rumahnya, dan karenanya dapat memicu masalah dengan PLN sebagai satu-satunya perusahaan yang secara hukum berkekuatan legal untuk memproduksi dan menjual listrik di Indonesia. 

Untuk melindungi pelanggan listrik rumah tangga yang memasang rooftop solar di rumah mereka, PLN mengeluarkan peraturan direksi yang mengatur pemanfaatan listrik fotovoltaik dengan skema net-metering. 

Pelanggan PLN dapat mengoperasikan rooftop solar secara paralel dengan sistem PLN dan diizinkan untuk mengirimkan kelebihan produksi listriknya ke jaringan PLN. Meter ekspor-impor dipasang di rumah pelanggan dan jumlah listrik yang dikirim ke jaringan PLN akan di-offset dengan listrik PLN yang digunakan pelanggan, dengan nilai 1:1 (setara tarif dasar listrik pelanggan). 

Kelebihan listrik dari ekspor-impor akan dijadikan deposit untuk bulan berikutnya dan diberlakukan rekening minimum sesuai daya terpasang bagi pelanggan. Dengan cara ini, pelanggan dapat mengurangi tagihan listrik mereka sesuai dengan daya listrik dari rooftop solar yang mereka pasang. Rumah Menteri ESDM, misalnya, mampu menghemat hingga 1,4 juta per bulan (20% dari total konsumsi listrik bulanan).

Ilustrasi skema ekspor impor listrik (net metering)| Dokumentasi pribadi
Ilustrasi skema ekspor impor listrik (net metering)| Dokumentasi pribadi
Meski telah memiliki payung hukum, peraturan ini tidak disosialisasikan secara masif dan diterjemahkan secara berbeda oleh kantor-kantor regional PLN; sehingga pelanggan PLN yang hendak memasang rooftop solar di rumahnya dan menyambungkannya ke jaringan PLN belum tentu mendapatkan persetujuan kantor regional PLN setempat.

Dengan semakin pesatnya teknologi fotovoltaik dan persebaran informasi yang semakin luas, minat masyarakat juga semakin meningkat; tidak hanya dari kalangan rumah tangga melainkan juga dari pihak komersial dan industri. Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki induk perusahaan multinasional, banyak memiliki kebijakan internal yang berkaitan dengan energi untuk merespon isu perubahan iklim. 

Beberapa perusahaan multinasional yang tergabung dalam Grup RE100, yaitu aliansi perusahaan yang berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan dalam produksi mereka, memiliki lokasi produksi atau mitra produksi di Indonesia yang juga harus berkontribusi pada visi perusahaan. Penggunaan rooftop solar merupakan salah satu cara kontribusi yang mereka gunakan.

Merespon peningkatan minat pemanfaatan rooftop solar ini, pada tahun 2017, beberapa kementerian dan lembaga pemerintah, asosiasi, lembaga non-pemerintah, dan universitas mendeklarasikan inisiatif Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap/GNSSA, yang bertujuan untuk mendorong pencapaian target Kebijakan Energi Nasional (6,5 GW pemanfaatan energi surya pada tahun 2025). GNSSA sendiri memiliki target kapasitas kumulatif rooftop solar sebesar 1 GW pada tahun 2020 (diasumsikan setara dengan satu juta rumah). 

Deklarasi GNSSA dan sosialisasi yang dilakukan oleh beragam institusi mampu mendorong peningkatan pemanfaatan rooftop solar di Indonesia, terlihat dari kenaikan jumlah pelanggan PLN pengguna rooftop solar on-grid yang cukup signifikan. 

Semakin banyak pelanggan PLN golongan rumah tangga yang tertarik memasang rooftop solar dengan beragam alasan: menggunakan energi bersih dan terbarukan, menghemat tagihan listrik, mandiri energi, menerapkan gaya hidup berkelanjutan, hingga kebanggaan karena menggunakan teknologi yang maju dan modern. 

Skema net-metering dengan transaksi kredit listrik 1:1 merupakan salah satu daya tarik penggunaan rooftop solar, mengingat motivasi penghematan menjadi salah satu alasan utama mereka.

Grafis IESR dengan sumber data dari PLN
Grafis IESR dengan sumber data dari PLN
Perkembangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Menteri ESDM no. 49/2018. Payung hukum yang lebih kuat untuk pengguna rooftop solar dibandingkan Peraturan Direksi PLN sebelumnya ini merupakan salah satu milestone penting dalam agenda pencapaian target energi terbarukan Indonesia dan mendorong pertisipasi masyarakat luas untuk pencapaian target tersebut. 

Permen ESDM No. 49/2018 ini memuat banyak hal terkait pemanfaatan rooftop solar oleh pelanggan PLN, di antaranya aturan teknis mengenai kapasitas pemasangan rooftop solar, skema transaksi kredit listrik dengan PLN, prosedur perizinan dan pemasangan rooftop solar, serta prosedur penggunaan rooftop solar bagi pelanggan komersial dan industri.

Peraturan Menteri yang Baru: Pertanda Baik?

Dengan terbukanya kesempatan bagi pelanggan untuk memilih dan membangkitkan sendiri energi bersih mereka, keluarnya peraturan menteri ini ditunggu-tunggu untuk memperkuat dasar hukum yang sudah ada. Meski demikian, pokok bahasan yang diatur dengan Permen ESDM No. 49/2018 memiliki potensi menghambat adopsi penggunaan rooftop solar oleh pelanggan rumah tangga. 

Nilai transaksi kredit listrik yang diekspor ke PLN kini tidak lagi setara dengan tarif dasar listrik yang dipakai pelanggan (tidak 1:1 seperti aturan sebelumnya), melainkan dikalikan 65%. 

Menurut sebuah studi pasar di Jabodetabek, salah satu motivasi masyarakat untuk menggunakan rooftop solar adalah potensi payback period yang pendek; yang dihasilkan dari akumulasi penghematan tagihan listrik dibandingkan dengan nilai investasi (pembelian) panel surya. 

Nilai transaksi kredit listrik yang lebih rendah dalam peraturan menteri ini akan memperpanjang payback period pengguna rooftop solar dan membuat investasinya kurang menarik bagi pelanggan (dari awalnya 8 tahun menjadi 12 tahun).

Salah satu alasan kekhawatiran yang muncul dari PLN dengan adanya peraturan menteri ini adalah potensi kehilangan penerimaan (revenue loss), apabila banyak pelanggannya yang memasang rooftop solar di saat penjualan listrik PLN tidak mencapai target pertumbuhan sales. 

Hasil simulasi sebenarnya menunjukkan bahwa bila target GNSSA tercapai pada tahun 2020 (akumulasi 1 GW energi surya), PLN hanya akan kehilangan penerimaan sebesar 0,42% dari total penerimaannya pada tahun berikutnya (2021).

Simulasi IESR, 2018
Simulasi IESR, 2018
Selain nilai transaksi, dalam agenda percepatan pembangunan listrik surya atap di Indonesia, sangat penting untuk mendorong partisipasi sebanyak mungkin pihak. Perizinan dapat dipermudah dan masyarakat difasilitasi untuk menggunakan energi bersih sesuai pilihan mereka. Pengajuan izin sebelum pemasangan yang disyaratkan dalam peraturan menteri ini sebaiknya tidak diberlakukan untuk pelanggan yang hendak memasang rooftop solar dengan kapasitas kecil (di bawah 200 kW). 

Mengingat mereka memasang rooftop solar di properti milik mereka sendiri, dengan biaya yang juga mereka keluarkan sendiri; pemerintah seyogianya memberikan kemudahan untuk pengoperasian paralel instalasi tersebut dengan jaringan PLN. 

Idealnya, pelanggan hanya perlu memberikan notifikasi pengajuan penggantian kWh exim (ekspor-impor) pada PLN. Klausul izin dalam Permen ESDM No. 49/2018 ini memberikan kewenangan mutlak pada PLN setempat untuk menolak atau mengeluarkan izin pemasangan rooftop solar. 

Proses perizinan yang lebih rumit ini juga ditambah dengan persyaratan bahwa pemasang rooftop solar adalah Badan Usaha dengan sertifikasi tertentu, yang dapat menambah biaya investasi awal untuk pelanggan dan juga tidak tersedia secara merata di banyak lokasi di Indonesia.

Dengan potensi energi surya yang tinggi dan pemanfaatan yang masih terbatas, Indonesia memiliki peluang dan tantangan yang besar untuk meningkatkan penggunaannya. Demokrasi energi di Indonesia harus didorong dengan pemanfaatan energi surya untuk melistriki lokasi-lokasi yang sulit terjangkau secara geografis dan tersedianya enabling environment untuk masyarakat yang ingin beralih ke energi terbarukan. 

Pemerintah harus mampu melihat kondisi ini sebagai tren masa kini dan masa depan yang diakomodasi dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung, baik dari segi perlindungan hukum, keteknisan, hingga insentif-insentif fiskal mau pun non-fiskal. 

PLN sebagai entitas bisnis juga dapat melihat peluang ini untuk terjun ke sektor energi terbarukan, tidak hanya menjawab meningkatnya minat masyarakat dan sektor komersial serta industri, melainkan juga untuk memodernisasi pembangkitan listrik dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Salam hangat,

Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun