Dengan terbukanya kesempatan bagi pelanggan untuk memilih dan membangkitkan sendiri energi bersih mereka, keluarnya peraturan menteri ini ditunggu-tunggu untuk memperkuat dasar hukum yang sudah ada. Meski demikian, pokok bahasan yang diatur dengan Permen ESDM No. 49/2018 memiliki potensi menghambat adopsi penggunaan rooftop solar oleh pelanggan rumah tangga.Â
Nilai transaksi kredit listrik yang diekspor ke PLN kini tidak lagi setara dengan tarif dasar listrik yang dipakai pelanggan (tidak 1:1 seperti aturan sebelumnya), melainkan dikalikan 65%.Â
Menurut sebuah studi pasar di Jabodetabek, salah satu motivasi masyarakat untuk menggunakan rooftop solar adalah potensi payback period yang pendek; yang dihasilkan dari akumulasi penghematan tagihan listrik dibandingkan dengan nilai investasi (pembelian) panel surya.Â
Nilai transaksi kredit listrik yang lebih rendah dalam peraturan menteri ini akan memperpanjang payback period pengguna rooftop solar dan membuat investasinya kurang menarik bagi pelanggan (dari awalnya 8 tahun menjadi 12 tahun).
Salah satu alasan kekhawatiran yang muncul dari PLN dengan adanya peraturan menteri ini adalah potensi kehilangan penerimaan (revenue loss), apabila banyak pelanggannya yang memasang rooftop solar di saat penjualan listrik PLN tidak mencapai target pertumbuhan sales.Â
Hasil simulasi sebenarnya menunjukkan bahwa bila target GNSSA tercapai pada tahun 2020 (akumulasi 1 GW energi surya), PLN hanya akan kehilangan penerimaan sebesar 0,42% dari total penerimaannya pada tahun berikutnya (2021).
Mengingat mereka memasang rooftop solar di properti milik mereka sendiri, dengan biaya yang juga mereka keluarkan sendiri; pemerintah seyogianya memberikan kemudahan untuk pengoperasian paralel instalasi tersebut dengan jaringan PLN.Â
Idealnya, pelanggan hanya perlu memberikan notifikasi pengajuan penggantian kWh exim (ekspor-impor) pada PLN. Klausul izin dalam Permen ESDM No. 49/2018 ini memberikan kewenangan mutlak pada PLN setempat untuk menolak atau mengeluarkan izin pemasangan rooftop solar.Â
Proses perizinan yang lebih rumit ini juga ditambah dengan persyaratan bahwa pemasang rooftop solar adalah Badan Usaha dengan sertifikasi tertentu, yang dapat menambah biaya investasi awal untuk pelanggan dan juga tidak tersedia secara merata di banyak lokasi di Indonesia.
Dengan potensi energi surya yang tinggi dan pemanfaatan yang masih terbatas, Indonesia memiliki peluang dan tantangan yang besar untuk meningkatkan penggunaannya. Demokrasi energi di Indonesia harus didorong dengan pemanfaatan energi surya untuk melistriki lokasi-lokasi yang sulit terjangkau secara geografis dan tersedianya enabling environment untuk masyarakat yang ingin beralih ke energi terbarukan.Â