Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Seorang Feminis

10 Februari 2019   14:54 Diperbarui: 11 Februari 2019   12:08 1486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski sejak lama mendengar gaung istilah "feminis" dan "feminisme", saya cenderung kurang tertarik untuk mendalami atau mengetahui lebih banyak tentang label ini. Saya juga tidak membaca buku apapun yang berkaitan dengan feminisme, tidak terlalu sering terpapar isunya, meski memiliki beberapa kawan yang menyebut dirinya feminis. 

Di Twitter saya acap menjumpai label ini digunakan dan dengan sentimen yang cukup terpolarisasi, ada stereotipe bahwa feminis adalah mereka yang selalu marah-marah dengan ketidakadilan terkait gender, ada pula yang melihat feminis sebagai sosok mengagumkan dengan keberanian luar biasa mendobrak budaya patriarki.

Jadi, seperti apa sebenarnya feminis dan feminisme itu?

Feminis yang Bahagia

Beberapa waktu lalu saya membaca esai singkat dari Chimamanda Ngozi Adichie, seorang penulis, pembicara, dan aktivis yang banyak menulis tentang feminisme, negara kelahirannya (Nigeria), dan ragam aspirasi yang dimilikinya sebagai seorang perempuan yang berdaya. Esai singkat yang dielaborasi dari TED Talk mengenai tema yang sama ini berjudul "We Should All Be Feminists (Kita Semua Sebaiknya Menjadi Feminis)" ini menceritakan mengenai permenungannya terhadap fenomena feminisme. 

Menurut Chimamanda, istilah feminis memang menjadi stereotipe yang agak kurang positif. Ada yang mengatakan padanya bahwa feminis itu perempuan yang nggak bahagia, sehingga Chimamanda pernah menyebut dirinya "happy feminist (feminis yang bahagia)". Ada yang mengatakan padanya bahwa feminisme itu budaya Barat dan nggak sesuai dengan Nigeria, jadi Chimamanda kemudian menyebut dirinya "happy African feminist (feminis Afrika yang bahagia)".

Membaca ceritanya membuat saya tersenyum-senyum sendiri.

Yang digarisbawahi Chimamanda kemudian bukan tentang stereotipe dan definisi secara ilmu dan buku teks, ia menutup esainya dengan definisinya sendiri tentang feminis: bahwa ada bias gender di dunia ini, dan seorang feminis adalah mereka yang menyadarinya dan mau berusaha untuk memperbaikinya.

Feminis Terhebat yang Saya Tahu

Dengan definisi Chimamanda dan definisi kamus, feminis terhebat yang pernah saya tahu (dan kenal) adalah mendiang ayah saya.

Bapak, begitu saya menyebutnya, memang menginginkan anak laki-laki. Saya tidak begitu paham mengenai alasan lengkapnya, yang saya tahu Bapak menginginkan anaknya untuk memiliki hobi, minat, dan passion yang mirip dengannya. Bapak menyukai olahraga dan cukup serius menekuni hobi main sepak bola, kemudian beralih menjadi wasit sepak bola. 

Sewaktu kecil saya sering dibawa Ibu menyaksikan pertandingan yang diwasiti oleh Bapak. Saya, tentu, tak mengerti pertandingannya. Saya hanya senang melihat Bapak berlari di lapangan (dan tentu senang dengan ragam jajanan yang bermunculan saat ada pertandingan). Rasanya lebih 'lengkap' bila saya terlahir laki-laki, yang mungkin akan memiliki minat dan hobi yang sama dengan Bapak dan bisa dilatihnya bermain sepak bola.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun