Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Bukan) Senjakala Buku Cetak

22 Agustus 2018   20:26 Diperbarui: 23 Agustus 2018   03:49 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini oplah koran, majalah, tabloid, dan beberapa jenis media berita cetak lainnya sangat tergerus oleh kemunculan portal berita daring; yang kemudian banyak disebut sebagai senjakala surat kabar. 

Berita yang menuntut kecepatan dan kebaruan memang mengharuskan penyedia layanan berita untuk berkompetisi, dan pilihan untuk mengembangkan media daring merupakan konsekuensi logisnya. 

Meski teknologi maju dengan pesat, termasuk untuk urusan media baca, saya termasuk orang yang konvensional. Saya lebih memilih membaca koran dan majalah fisik ketimbang elektronik. Bentuknya yang dinilai besar dan kurang praktis justru menjadi kelebihan tersendiri bagi saya yang bermata minus.

Bila koran dan ragam media berita cetak lainnya mulai kewalahan mengejar perkembangan media daring, bagaimana dengan buku? Buku, baik fiksi atau non-fiksi, memiliki karakter yang berbeda dengan media berita dan tidak dikejar untuk cepat terbit atau untuk selalu mutakhir. 

Penulis Indonesia dengan fanbase masif seperti Dewi Lestari, misalnya, selalu membuat deg-degan penggemar saat akan meluncurkan buku barunya; yang dijamin ludes dalam sekejap. Meski kemudian diterbitkan dalam bentuk elektronik, ketertarikan pembaca pada buku cetaknya masih lebih tinggi.

Cetak atau Elektronik?

Beberapa waktu lalu, saya mengadakan jajak pendapat iseng-iseng di Instagram. Saya menanyakan pada teman-teman saya, apa preferensi bentuk buku yang mereka baca dan saya meminta mereka menyertakan alasannya bila berkenan memberitahukan. 

Dari 28 responden yang mengikuti jajak pendapat ini, 68% memilih cetak, sisanya memilih elektronik. 

Temuan ini sejalan dengan sebuah survei yang dilakukan sebuah agensi di Inggris, di mana 62% dari responden berumur 16-24 tahun memilih buku cetak. Kajian yang dilakukan oleh PewResearch mengenai minat baca juga mencatat bahwa generasi millennial memiliki pandangan bahwa informasi tertentu memang tidak bisa didapatkan secara daring; sehingga mereka masih membaca buku fisik.

Hasil jajak pendapat iseng (@mcitraningrum, 2018)
Hasil jajak pendapat iseng (@mcitraningrum, 2018)
Studi Voxburner mencatat alasan-alasan umum, seperti "saya suka memegang buku (fisiknya)", "bisa dipinjamkan dengan mudah," hingga "bisa dijual ketika tidak dibaca lagi". Alasan bahwa membaca buku elektronik memiliki sensasi yang berbeda dengan membaca buku fisik juga menjadi pertimbangan. 

Kemunculan pembaca buku elektronik (ebook readers) seperti Kindle, yang membuat membaca menjadi "mirip" seperti membaca buku aslinya ternyata juga tidak lantas membuat buku elektronik menjadi lebih populer. Menurut survey Nielsen, penjualan buku elektronik di Inggris justru turun dalam 2 tahun berturut-turut (2015 dan 2016), sedangkan penjualan buku di toko mengalami kenaikan.

Mengapa Buku Cetak Masih Menjadi Primadona?

Melihat tren saat ini, sepertinya buku cetak masih akan menjadi pilihan utama bagi pembaca di Indonesia. Mengapa?

1. Lebih "greget"

Merupakan alasan yang sangat subjektif namun juga paling banyak diungkapkan oleh peserta jajak pendapat iseng saya, perasaan yang muncul saat membaca buku cetak tidak bisa digantikan oleh sensasi membaca buku elektronik. 

Menurut mereka, kebahagiaan saat membuka plastik sampul buku baru, mencium wangi kertas yang khas, dan rasa yang muncul saat membolak-balik halaman adalah komponen pengalaman membaca yang penting. Tiga hal ini tidak bisa didapatkan dengan membaca buku elektronik.

Alasan "bau kertas" ini juga merupakan alasan pribadi saya. Saya memiliki banyak memori tentang buku dan bau kertas ini, termasuk kenangan masa kecil membaca tumpukan buku tua milik mendiang Bapak.

2. Kenyamanan

Faktor teknis menjadi alasan yang juga muncul. Buku, dengan panjang yang beragam namun tentu tak sependek berita satu halaman, memerlukan waktu yang lebih lama untuk dibaca. 

Beberapa teman mengungkapkan bahwa membaca buku elektronik di layar gawai membuat mata lebih cepat lelah, juga kurang nyaman untuk dipegang (bergantung pada berat gawai yang digunakan).

Membaca buku elektronik di telepon genggam memang cenderung tidak mengenakkan karena ukuran layar dan paparan cahaya. Tablet bisa menjadi pilihan karena memiliki ukuran layar yang lebih besar dan berat yang bervariasi. 

Ebook readers khusus seperti Kindle pun kemudian disesuaikan ukuran, keringanan, dan tingkat kecerahan layarnyanya untuk meningkatkan kenyamanan membaca.

Harus dibaca di gawai ini juga membuat beberapa orang merasa bahwa mereka menghabiskan terlalu banyak waktu dengan gawai mereka. Masih ada anggapan bahwa mereka yang melakukan itu adalah orang yang adiktif dengan media/dunia daring, meski juga tak sepenuhnya benar.

3. Buku elektronik terlalu "seragam"

Bisa jadi berhubungan dengan faktor kenyamanan, buku cetak memiliki lebih banyak variasi jenis dan ukuran huruf (font) serta gambar/ilustrasi. Keragaman inilah yang masih jarang dijumpai di buku elektronik. Kebanyakan buku elektronik memiliki jenis dan ukuran huruf yang mirip-mirip dan tidak ada/sedikit gambar, untuk membuat ukuran file-nya lebih optimal. 

Buku elektronik didesain untuk tidak terlalu memenuhi ruang penyimpanan gawai dan juga mempertimbangkan kemampuan gawai untuk membaca jenis huruf yang berbeda; karenanya jenis huruf yang digunakan memang monoton. 

Keseragaman ini menghilangkan kesan unik yang muncul saat membaca buku, karena banyak buku yang memiliki jenis huruf khas (faktor penerbit/desainer/penulis) yang menjadi branding mereka.

Dari segi penyimpanan, buku elektronik sebenarnya lebih praktis untuk dibawa-bawa. Satu gawai bisa menampung ratusan bahkan ribuan buku, ibaratnya kita bisa menjadikan gawai sebagai perpustakaan berjalan.

4. Tidak bisa dipinjamkan

Jika buku cetak bisa dipindahtangankan dengan mudah, tidak demikian halnya dengan buku elektronik. Memiliki buku elektronik bahkan bisa terkesan "selfish", karena hanya dinikmati sendiri. Bagi saya pinjam meminjam buku ini bermanfaat bagi saya untuk mengetahui apakah sebuah buku harus saya beli atau tidak. 

Budaya meminjam buku juga masih kental di Indonesia, mengingat bagi sebagian orang, buku bukan merupakan kebutuhan atau keinginan sehingga meminjam saja dirasa sudah cukup, tak harus membeli.

Untuk kasus perpustakaan/penyedia layanan pinjam meminjam, praktik peminjaman buku elektronik memang sudah umum. Perpustakaan Nasional RI, misalnya, memiliki direktori buku elektronik yang bisa dipinjam oleh anggotanya, gratis. 

Begitu pula dengan Kindle, yang membuka akses pada sejuta judul buku dan mengizinkan pengguna untuk meminjam maksimum 10 buku sekali waktu, dengan bayaran USD 10/bulan.

5. Buku cetak masih merupakan bentuk hadiah yang bermakna

Di lingkaran pertemanan dan perkenalan saya, buku menjadi salah satu pilihan hadiah yang manis. Buku-buku cetak tebal berwarna (coffee table books) yang cocok diletakkan di meja ruang tamu sering menjadi hadiah perkawinan atau selebrasi rumah baru. 

Selain itu, banyak pula yang sangat bahagia karena mendapatkan hadiah buku idamannya, apalagi dengan tanda tangan penulisnya. Hadiah seperti ini tentu kurang bisa digantikan oleh buku elektronik.  

6. Pertimbangan variasi dan harga

Buku elektronik lokal di Indonesia memang belum banyak. Penerbit masih memilih untuk fokus pada buku cetak karena demand masih berkutat di sana. Dengan harga yang mirip, pembaca masih memiliki buku cetak karena bisa merasakan fisiknya, menakar "kepantasan" harga yang mereka bayar dengan fisik bukunya. 

Untuk pembaca buku luar terbitan luar negeri, buku elektronik menjadi pilihan yang masuk akal karena belum terbitnya buku tsb di Indonesia, tentu dengan harga yang lebih mahal dibanding buku lokal. 

Harga yang lebih tinggi ini acap dianggap biasa dan tentu lebih rendah dibanding jika membeli bukunya lewat toko, menunggu beberapa minggu, plus membayar ongkos kirim. 

Mereka yang ingin konsisten membaca buku elektronik juga mungkin merasa harus membeli ebooks reader, yang harganya tidak murah. Meski bisa dibaca lewat aplikasi di gawai yang sudah kita miliki, faktor kenyamanan tidak bisa dikesampingkan.

Bagaimana dengan Anda? Pilih buku cetak atau elektronik? Apapun pilihannya, selamat membaca ya :)

Salam,

Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun