Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Bukan) Senjakala Buku Cetak

22 Agustus 2018   20:26 Diperbarui: 23 Agustus 2018   03:49 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari segi penyimpanan, buku elektronik sebenarnya lebih praktis untuk dibawa-bawa. Satu gawai bisa menampung ratusan bahkan ribuan buku, ibaratnya kita bisa menjadikan gawai sebagai perpustakaan berjalan.

4. Tidak bisa dipinjamkan

Jika buku cetak bisa dipindahtangankan dengan mudah, tidak demikian halnya dengan buku elektronik. Memiliki buku elektronik bahkan bisa terkesan "selfish", karena hanya dinikmati sendiri. Bagi saya pinjam meminjam buku ini bermanfaat bagi saya untuk mengetahui apakah sebuah buku harus saya beli atau tidak. 

Budaya meminjam buku juga masih kental di Indonesia, mengingat bagi sebagian orang, buku bukan merupakan kebutuhan atau keinginan sehingga meminjam saja dirasa sudah cukup, tak harus membeli.

Untuk kasus perpustakaan/penyedia layanan pinjam meminjam, praktik peminjaman buku elektronik memang sudah umum. Perpustakaan Nasional RI, misalnya, memiliki direktori buku elektronik yang bisa dipinjam oleh anggotanya, gratis. 

Begitu pula dengan Kindle, yang membuka akses pada sejuta judul buku dan mengizinkan pengguna untuk meminjam maksimum 10 buku sekali waktu, dengan bayaran USD 10/bulan.

5. Buku cetak masih merupakan bentuk hadiah yang bermakna

Di lingkaran pertemanan dan perkenalan saya, buku menjadi salah satu pilihan hadiah yang manis. Buku-buku cetak tebal berwarna (coffee table books) yang cocok diletakkan di meja ruang tamu sering menjadi hadiah perkawinan atau selebrasi rumah baru. 

Selain itu, banyak pula yang sangat bahagia karena mendapatkan hadiah buku idamannya, apalagi dengan tanda tangan penulisnya. Hadiah seperti ini tentu kurang bisa digantikan oleh buku elektronik.  

6. Pertimbangan variasi dan harga

Buku elektronik lokal di Indonesia memang belum banyak. Penerbit masih memilih untuk fokus pada buku cetak karena demand masih berkutat di sana. Dengan harga yang mirip, pembaca masih memiliki buku cetak karena bisa merasakan fisiknya, menakar "kepantasan" harga yang mereka bayar dengan fisik bukunya. 

Untuk pembaca buku luar terbitan luar negeri, buku elektronik menjadi pilihan yang masuk akal karena belum terbitnya buku tsb di Indonesia, tentu dengan harga yang lebih mahal dibanding buku lokal. 

Harga yang lebih tinggi ini acap dianggap biasa dan tentu lebih rendah dibanding jika membeli bukunya lewat toko, menunggu beberapa minggu, plus membayar ongkos kirim. 

Mereka yang ingin konsisten membaca buku elektronik juga mungkin merasa harus membeli ebooks reader, yang harganya tidak murah. Meski bisa dibaca lewat aplikasi di gawai yang sudah kita miliki, faktor kenyamanan tidak bisa dikesampingkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun