Saat ini oplah koran, majalah, tabloid, dan beberapa jenis media berita cetak lainnya sangat tergerus oleh kemunculan portal berita daring; yang kemudian banyak disebut sebagai senjakala surat kabar.Â
Berita yang menuntut kecepatan dan kebaruan memang mengharuskan penyedia layanan berita untuk berkompetisi, dan pilihan untuk mengembangkan media daring merupakan konsekuensi logisnya.Â
Meski teknologi maju dengan pesat, termasuk untuk urusan media baca, saya termasuk orang yang konvensional. Saya lebih memilih membaca koran dan majalah fisik ketimbang elektronik. Bentuknya yang dinilai besar dan kurang praktis justru menjadi kelebihan tersendiri bagi saya yang bermata minus.
Bila koran dan ragam media berita cetak lainnya mulai kewalahan mengejar perkembangan media daring, bagaimana dengan buku? Buku, baik fiksi atau non-fiksi, memiliki karakter yang berbeda dengan media berita dan tidak dikejar untuk cepat terbit atau untuk selalu mutakhir.Â
Penulis Indonesia dengan fanbase masif seperti Dewi Lestari, misalnya, selalu membuat deg-degan penggemar saat akan meluncurkan buku barunya; yang dijamin ludes dalam sekejap. Meski kemudian diterbitkan dalam bentuk elektronik, ketertarikan pembaca pada buku cetaknya masih lebih tinggi.
Cetak atau Elektronik?
Beberapa waktu lalu, saya mengadakan jajak pendapat iseng-iseng di Instagram. Saya menanyakan pada teman-teman saya, apa preferensi bentuk buku yang mereka baca dan saya meminta mereka menyertakan alasannya bila berkenan memberitahukan.Â
Dari 28 responden yang mengikuti jajak pendapat ini, 68% memilih cetak, sisanya memilih elektronik.Â
Temuan ini sejalan dengan sebuah survei yang dilakukan sebuah agensi di Inggris, di mana 62% dari responden berumur 16-24 tahun memilih buku cetak. Kajian yang dilakukan oleh PewResearch mengenai minat baca juga mencatat bahwa generasi millennial memiliki pandangan bahwa informasi tertentu memang tidak bisa didapatkan secara daring; sehingga mereka masih membaca buku fisik.
Kemunculan pembaca buku elektronik (ebook readers)Â seperti Kindle, yang membuat membaca menjadi "mirip" seperti membaca buku aslinya ternyata juga tidak lantas membuat buku elektronik menjadi lebih populer. Menurut survey Nielsen, penjualan buku elektronik di Inggris justru turun dalam 2 tahun berturut-turut (2015 dan 2016), sedangkan penjualan buku di toko mengalami kenaikan.
Mengapa Buku Cetak Masih Menjadi Primadona?
Melihat tren saat ini, sepertinya buku cetak masih akan menjadi pilihan utama bagi pembaca di Indonesia. Mengapa?