Ketika pemerintah mulai membuka formasi baru CPNS di berbagai kementerian dan lembaga (K/L), maka mulailah juga beberapa teman mengabarkan formasi ini itu di sana sini kepada saya. Dengan pesan pribadi, mereka membagikan informasi tersebut, terutama di K/L yang membuka penerimaan untuk seseorang dengan kualifikasi akademis yang bisa saya masuki. Pengiriman pesan ini selalu terjadi ketika penerimaan CPNS dibuka, banyak yang ngojok-ojoki (apa ya bahasa Indonesianya? Mendorong? Meminta?) saya untuk melamar.
Alasan mereka menghubungi saya rata-rata sama: usia saya masih masuk rentang usia yang dimaksud, jurusan kuliah saya sesuai dengan kualifikasi, gelar yang saya miliki juga. Ketika saya bertanya pada seorang teman apa alasannya, ybs menjawab singkat, "Soalnya pemerintah butuh orang-orang muda cerdas kayak kamu, Cit..."
Ahaha. Saya tersanjung, beneran. Tapi jangan diteruskan, nanti hayati jadi sombong.
Kehidupan PNS
Kedua orangtua saya PNS, keduanya guru. Saya sudah melihat bagaimana kehidupan PNS, apa manfaatnya, bagaimana sistem kerjanya, seperti apa birokrasinya. Bagi kedua orangtua saya, menjadi PNS adalah pilihan yang "menenangkan": pekerjaannya jelas, aturannya juga jelas, dengan segala manfaat yang bisa diterima karena telah mengabdi pada negara, termasuk asuransi kesehatan dan uang pensiun.
Sebelum ada BPJS Kesehatan, periksa ke puskesmas/rumah sakit terasa mudah dengan AsKes. Kalau mau berhutang, lebih gampang (katanya); karena bank lebih mau memberikan pinjaman pada PNS yang notabene terjamin pekerjaannya. Rasanya itu manfaat yang saya kira paling menarik: selama tidak melanggar hukum, ndak akan dipecat.
Banyak pula anggota keluarga besar saya yang menjadi PNS, jadi "tekanan" untuk menjadi PNS itu bisa dibilang datang dari mana-mana. Mereka heran saja mengapa saya tak mau menikmati semua manfaat tadi jika saya memiliki kualifikasi yang sesuai untuk jadi pegawai atau dosen. Â
Lalu, mengapa saya tidak (atau belum?) tertarik menjadi PNS?
Anak Millenial
Meski secara umur saya termasuk generasi millennial, saya termasuk millennial golongan tua. Perilaku saya memang secara umum masuk dalam tipikal generasi millennial: menyukai kebebasan. Dan perilaku ini sangat mempengaruhi pola pikir saya dalam memutuskan sesuatu.
Di usia legal (18 tahun), saya "dilepas" oleh orangtua saya. Sejak bisa merasakan kebebasan memilih dan memutuskan (serta menanggung konsekuensinya), saya jauh lebih berani menggali minat, keinginan, dan cita-cita. Saya pilih kota tempat saya kuliah, juga universitasnya, dan jurusannya. Saya bepergian sendiri jalan-jalan, naik kereta, naik bus, ke tempat-tempat yang saya belum pernah kunjungi sebelumnya. Kebebasan itu secara harfiah memang benar-benar membebaskan saya untuk mengenal diri dan melihat sejauh mana saya bisa berkembang.