Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hal Mudah yang Sulit

28 Agustus 2017   18:45 Diperbarui: 28 Agustus 2017   19:19 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harga energi di Indonesia saat ini masih banyak disubsidi oleh pemerintah. Suka tidak suka, harga energi yang (relatif) rendah secara psikologis mendorong kita untuk memandang konsumsi energi sebagai sesuatu yang tak harus dibatasi. Listrik murah, untuk apa harus pusing-pusing mematikan semua alat elektronik di rumah saat tak dipakai? Bensin murah, untuk apa mbelani jalan kaki ke Indomaret terdekat?

Begitulah, logika hemat energi ini memang mudah, namun mengubah pola pikir kita itu yang sulit.

Selain itu, pemahaman akan isu energi juga berkaitan dengan ada tidaknya informasi yang cukup lengkap tentang hemat energi, bagaimana cara melakukannya, hingga instrumen apa saja yang tersedia. Kita tahu bahwa ada kampanye mengenai hemat energi dengan anjuran berpindah menggunakan lampu LED, namun apakah informasi mengenai alasan kita harus berpindah dan mengapa lampu LED lebih hemat juga dengan mudah kita akses? 

Belum tentu. Bila ada, tidak semua orang juga mau untuk mengulik lebih dalam mengenai hal ini. Informasi mengenai apa saja peralatan elektronik yang lebih hemat energi dan seberapa hematnya juga belum banyak ditemukan. Selain karena variasinya belum banyak, kita pun lebih sering membandingkan performa dibanding efisiensi energi.

Kembali lagi ke masalah ekonomi, tantangan lainnya adalah soal harga. Lampu LED harganya lebih mahal dibanding lampu CFL atau bohlam biasa. Mereka yang golongan ekonominya mampu saja enggan untuk berganti, apalagi yang memerlukan penerangan namun kondisi ekonomi terbatas. Untuk alat-alat elektronik yang lebih besar dan mahal, juga kendaraan; bisa dibayangkan berapa kali kita berpikir untuk berganti karena investasi awal yang dibutuhkan juga tak kecil.

Ini baru "buah yang bergantung rendah" alias low hanging fruit. Ketersediaan pasar, dalam hal ini pengguna di tingkat individu dan rumah tangga, juga menentukan bagaimana teknologi hemat energi dan produksinya dalam skala besar akan dilakukan. Tak ada permintaan, sedikit pula suplai, makin mahal juga barangnya. Bagaimana kita bisa berharap harga barang-barang hemat energi akan kompetitif dibanding yang bukan jika pangsa pasarnya sedikit?

Dalam konteks yang lebih luas, yang perlu didorong adalah adanya peraturan yang mendukung dan diharuskan. Dengan mengharuskan semua alat elektronik harus berlabel energy star, misalnya, persoalan pasar tadi akan menjadi lebih "ringan" untuk dihadapi. Masyarakat jadi punya pilihan lebih banyak, dan produksi dalam jumlah besar bisa mendorong perkembangan teknologi yang lebih cepat untuk membuatnya lebih murah. Aturan mengenai green building juga dapat mendorong lebih banyak penghematan energi, terutama dengan makin menjamurnya hunian dan perkantoran baru.   

Jadi, PR siapa ini? Hal mudah namun sulit ini jelas PR multistakeholder, paling mudah bisa dimulai dari kita dan rumah kita. *brb beli lampu LED*

Salam hangat,

Citra

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun