Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hal Mudah yang Sulit

28 Agustus 2017   18:45 Diperbarui: 28 Agustus 2017   19:19 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit foto: uswitch.com

Bicara penghematan energi, saya sesungguhnya heran sekaligus maklum. Dibanding penjelasan ngawang yang seksi tapi agak sulit dimengerti soal penggunaan energi terbarukan demi kemaslahatan bersama dan masa depan bumi kita ini, hemat energi itu perkara remeh-temeh yang sebenarnya mudah diterima akal sehat. Apa coba yang membingungkan dari kata "hemat energi"?

Prinsipnya pun sederhana: mengurangi penggunaan energi dan menggunakan peralatan yang memerlukan daya lebih sedikit. Sederhana pula melakukannya: mematikan peralatan elektronik saat tak diperlukan, tidak menggunakan kendaraan bermotor bila tidak diperlukan, atau mengganti lampu-lampu di rumah dengan yang hemat energi. Karena mudah itu pula, gerakan hemat energi ini sudah gencar dikampanyekan, termasuk oleh Kementerian ESDM dengan tajuk Potong 10 Persen. Upaya ini bahkan sudah dimulai sejak tahun 2012.

Potensi penghematan energi ini tentu sangat besar. Dengan konsumsi energi terbesar salah satunya berada di sektor rumah tangga, bayangkan berapa energi yang bisa dihemat bila keseluruhan penduduk Indonesia melakukannya. Pertanyannya, mengapa hemat energi belum menjadi mainstream dan saat ini kita belum menaruh perhatian serta bisa berharap banyak dari konservasi energi?

Pilihan energi paling murah dan paling bersih adalah dengan tidak menyia-nyiakannya

Hemat energi seringkali disebut sebagai "bahan bakar kelima", setelah batubara, petroleum, nuklir, dan energi terbarukan. Mengapa? Hemat energi yang didukung dengan teknologi yang terus berkembang, dan bila dilakukan dalam skala yang masif, dapat menghemat bahan bakar fosil dalam jumlah yang signifikan. Laporan International Energy Agency (IEA) 2016 menunjukkan bahwa negara-negara IEA (tidak termasuk Indonesia, karena Indonesia adalah associate member) menunjukkan rerata peningkatan efisiensi energi sebesar 14% dalam rentang waktu 2000 -- 2015. Penghematan energi setara dengan 450 juta ton ekivalen minyak (Mtoe) di tahun 2015, angka yang cukup untuk mencukup kebutuhan energi Jepang selama 1 tahun. Nominal uangnya? Sekitar 540 miliar dolar AS.

Di negara-negara maju yang cukup rajin mencatat perkembangan mereka dalam menghemat energi (misalnya AS, Australia, Denmark, Jepang), beragam kebijakan dan investasi yang digulirkan untuk bahan bakar kelima ini memang berpengaruh. Mereka berani mengeluarkan subsidi untuk pembangunan bangunan yang lebih hemat energi, memberikan insentif pajak untuk kendaraan yang mesin pembakarannya lebih efisien, hingga lebih ketat dalam menerapkan standar performa alat-alat elektronik yang dijual.

Dengan potensi besar yang seperti puncak gunung es ini, konservasi energi memiliki ruang yang jauh lebih luas lagi untuk diterapkan dan dikembangkan teknologinya. Tahun 2014, penghargaan Nobel untuk Fisika diberikan pada Shuji Nakamura, Isamu Akasaki, dan Hiroshi Amano yang mengembangkan LED. Teknologi ini yang sekarang banyak diadopsi banyak produk, tak hanya penerangan, dengan keunggulannya: menghasilkan cahaya sama terang dengan energi lebih sedikit.

Tapi, berapa banyak dari kita yang sudah mengganti lampu di rumah dengan lampu LED atau punya televisi layar datar LED dan bukan LCD?

Tak cukup simbolik

Kredit foto: Pinterest
Kredit foto: Pinterest
Kampanye Earth Hour yang berlangsung tiap tahun adalah kampanye konservasi energi yang paling ikonik. Banyak kota di dunia beramai-ramai mematikan lampu selama 1 jam. Kampanye yang bagus memang, namun hemat energi untuk mencapai dampak yang signifikan dan berkelanjutan tentu tak cukup setahun sekali.

Untuk mendorong hemat energi menjadi isu yang mainstream dan berdampak besar, paham mengenai isu energi dan bijak menggunakannya di rumah memang salah satu cara. Di kalangan individu atau rumah tangga, penghematan energi memang sesuatu yang mudah namun pelik. Isu paling mendasar adalah pemahaman kita tentang isu energi. Aktivitas harian kita tak lepas dari energi namun banyak dari kita yang bahkan tidak tahu berapa konsumsi energi harian/bulanan kita. Sampai tagihan listrik mendadak naik, umumnya kita santai-santai saja dengan penggunaan alat elektronik di rumah. Sampai kendaraan bermotor mendadak boros, barulah kita mencari tahu sebabnya.

Harga energi di Indonesia saat ini masih banyak disubsidi oleh pemerintah. Suka tidak suka, harga energi yang (relatif) rendah secara psikologis mendorong kita untuk memandang konsumsi energi sebagai sesuatu yang tak harus dibatasi. Listrik murah, untuk apa harus pusing-pusing mematikan semua alat elektronik di rumah saat tak dipakai? Bensin murah, untuk apa mbelani jalan kaki ke Indomaret terdekat?

Begitulah, logika hemat energi ini memang mudah, namun mengubah pola pikir kita itu yang sulit.

Selain itu, pemahaman akan isu energi juga berkaitan dengan ada tidaknya informasi yang cukup lengkap tentang hemat energi, bagaimana cara melakukannya, hingga instrumen apa saja yang tersedia. Kita tahu bahwa ada kampanye mengenai hemat energi dengan anjuran berpindah menggunakan lampu LED, namun apakah informasi mengenai alasan kita harus berpindah dan mengapa lampu LED lebih hemat juga dengan mudah kita akses? 

Belum tentu. Bila ada, tidak semua orang juga mau untuk mengulik lebih dalam mengenai hal ini. Informasi mengenai apa saja peralatan elektronik yang lebih hemat energi dan seberapa hematnya juga belum banyak ditemukan. Selain karena variasinya belum banyak, kita pun lebih sering membandingkan performa dibanding efisiensi energi.

Kembali lagi ke masalah ekonomi, tantangan lainnya adalah soal harga. Lampu LED harganya lebih mahal dibanding lampu CFL atau bohlam biasa. Mereka yang golongan ekonominya mampu saja enggan untuk berganti, apalagi yang memerlukan penerangan namun kondisi ekonomi terbatas. Untuk alat-alat elektronik yang lebih besar dan mahal, juga kendaraan; bisa dibayangkan berapa kali kita berpikir untuk berganti karena investasi awal yang dibutuhkan juga tak kecil.

Ini baru "buah yang bergantung rendah" alias low hanging fruit. Ketersediaan pasar, dalam hal ini pengguna di tingkat individu dan rumah tangga, juga menentukan bagaimana teknologi hemat energi dan produksinya dalam skala besar akan dilakukan. Tak ada permintaan, sedikit pula suplai, makin mahal juga barangnya. Bagaimana kita bisa berharap harga barang-barang hemat energi akan kompetitif dibanding yang bukan jika pangsa pasarnya sedikit?

Dalam konteks yang lebih luas, yang perlu didorong adalah adanya peraturan yang mendukung dan diharuskan. Dengan mengharuskan semua alat elektronik harus berlabel energy star, misalnya, persoalan pasar tadi akan menjadi lebih "ringan" untuk dihadapi. Masyarakat jadi punya pilihan lebih banyak, dan produksi dalam jumlah besar bisa mendorong perkembangan teknologi yang lebih cepat untuk membuatnya lebih murah. Aturan mengenai green building juga dapat mendorong lebih banyak penghematan energi, terutama dengan makin menjamurnya hunian dan perkantoran baru.   

Jadi, PR siapa ini? Hal mudah namun sulit ini jelas PR multistakeholder, paling mudah bisa dimulai dari kita dan rumah kita. *brb beli lampu LED*

Salam hangat,

Citra

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun