Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jawa Memang Berbeda dengan Sumba

27 Agustus 2017   16:28 Diperbarui: 27 Agustus 2017   19:20 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya lahir di Pulau Jawa, ketika listrik sudah terang benderang. Saya tak merasakan belajar dengan menggunakan pelita atau senthir, tidak seperti mendiang Bapak saya. Bapak sering bercerita mengenai sulitnya belajar di masa kanak-kanak hingga dewasanya dulu. Senthir yang menggunakan minyak tanah itu sering meninggalkan bekas hitam dalam hidung juga membuat mata perih karena nyalanya tak terang. Sebagai anak kesekian dari 8 bersaudara, Bapak juga harus berbagi dengan saudara-saudaranya. "Tiap masa ada tantangannya, bersyukurlah bahwa sekarang kamu bisa belajar dalam terang," Bapak pernah berujar.

Belum pernah menginjakkan kaki ke pulau lain hingga saya dewasa, saya memang tak menyadari bahwa terang itu sebuah kemewahan. Tak tahu, tak paham, dan sulit berempati. Betapa berdosanya saya. Saya hanya tahu rumah sudah terang, tidur bisa nyenyak. Sesekali mati lampu, namun tak sampai berhari-hari. Air tersedia hampir sepanjang waktu. Dulu Ibu memasak dengan kompor minyah tanah, sekarang sudah memakai kompor gas. Dapur kami bersih, tak berasap, tak hitam.

Jika Sumba dan banyak daerah lain di Indonesia masih menghadapi tantangan pemenuhan kebutuhan energi, yang sebisa mungkin dipenuhi dari sumber energi terbarukan; maka persoalan energi di daerah yang sudah terpenuhi akses energinya jelas berbeda. Jawa memang berbeda dengan Sumba. Rumah kami tak defisit energi. Namun kemewahan itu melenakan.

Tiap masa ada tantangannya, tiap lokasi ada pula masalahnya

Isu energi dalam kaitannya dengan perubahan iklim sudah menjadi isu internasional. Konvensi negara-negara di dunia juga sudah menyetujui Paris Agreement, termasuk di antaranya Indonesia. Komitmen ini selain berupa mendorong penggunaan energi terbarukan untuk penyediaan akses energi, juga menyoal menggunakan energi yang sudah ada dengan lebih efisien. Menggunakan energi dengan lebih hemat berarti mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Penggunaan energi terbarukan sekaligus penghematan energi adalah dua cara paralel yang diharapkan dapat menekan penggunaan energi fosil dan menjaga suhu global tak naik lebih dari 2oC.

Karena transisi dari energi fosil menuju sistem energi terbarukan tak bisa dilakukan dalam waktu singkat, efisiensi energi bisa dibilang adalah cara "termudah" dan "termurah" sebagai langkah konkret dalam menghadapi perubahan iklim. Tak perlu membangun pembangkit, tak perlu membeli teknologi mahal, bisa dilakukan bahkan dengan skala terkecil: individu. Sembari "menunggu", efisiensi energi sudah bisa diterapkan untuk berbagai aktivitas, mulai dari skala besar seperti aktivitas industri, aktivitas transportasi, hingga aktivitas dalam rumah tangga.

Beberapa bulan lalu, Ibu cukup kaget dengan naiknya tagihan listrik yang harus dibayar. Kenaikannya hampir 2 kali lipat, padahal Ibu merasa konsumsi listrik di rumah tak banyak berbeda. Rumah kami memang mengalami penyesuaian tarif karena pencabutan subsidi untuk rumah tangga golongan 900 VA yang mampu, sehingga kenaikan tagihan listrik sebenarnya sudah kami perkirakan angkanya. Angka perkiraan itu berbeda dengan jumlah tagihan yang kami terima. Dengan mengasumsikan jumlah tagihannya benar, maka pertanyaannya kemudian menjadi, "Apakah konsumsi listrik rumah kami lebih banyak dari sebelumnya? Jika ya, apa yang membuatnya lebih banyak?"

Maka persoalan untuk daerah yang sudah mendapat akses energi adalah soal bagaimana penggunaannya. Dalam konteksnya untuk isu energi yang lebih besar, kesadaran tentang isu energi di lingkup rumah tangga mencakup mencermati penggunaan energi untuk aktivitas sehari-hari. Hal ini sering luput dari perhatian, terutama karena sudah menjadi rutinitas, jumlah uang untuk bayar listrik atau bayar bensin dianggap tak signifikan, atau sesederhana karena hanya para lelaki di rumah yang selama ini berurusan dengan kelistrikan dan kendaraan.

Jadi kembali lagi ke keluarga saya, pertanyannya bertambah, "Sudahkah kami menyadari penggunaan energi dalam rumah dan bijak menggunakannya?"

Bijak menggunakan energi di rumah

Bijak menggunakan energi identik dengan efisiensi energi. Istilah efisiensi energi sendiri sering dicampuradukkan dengan istilah konservasi energi. Meski keduanya mirip dan sama-sama bertujuan untuk mengurangi penggunaan energi, secara teknik istilah konservasi energi lebih luas maknanya. Konservasi energi berarti secara total tidak melakukan sesuatu yang menggunakan energi, atau memilih alternatif lain. Sementara efisiensi energi menyoal tentang penggunaan energi yang lebih sedikit untuk aktivitas yang sama. Contoh paling mudah adalah memilih jalan kaki dibanding naik Gojek vs. mengganti AC lama dengan AC baru yang lebih hemat energi. Mana yang konservasi dan mana yang efisiensi?

Daripada pusing, sebut saja hemat energi. Cara menghemat energi dalam rumah tangga, tentu dimulai dari mengidentifikasi penggunaan energi. Bicara listrik, ini dimulai dari mencari tahu berapa daya alat elektronik di rumah. Informasi ini cukup dicari di box (jika masih disimpan) atau pada label yang menempel di alat elektronik yang dimaksud. Pendingin ruangan 1 PK, misalnya, memiliki daya sekitar 800 Watt. Pompa air, jika cukup besar, dayanya bisa mencapai 10.000 Watt. Kulkas tergantung pada kapasitas dan pintu, misalnya kulkas 2 pintu akan memakan daya 150 Watt. Ricecooker, alat elektronik yang biasa kita pakai 24 jam, membutuhkan daya 350 Watt untuk memasak dan 80 watt untuk menghangatkan.  

Untuk mencari tahu konsumsi bulanan, daya tadi tinggal dikalikan berapa jam menyala tiap harinya, dikali lagi dengan jumlah hari dalam bulan tersebut. Jika pendingin ruangan dinyalakan 8 jam sehari, itu artinya AC 1 PK akan menghabiskan 192 kWh tiap bulannya (0.8 kW x 8 jam x 30 hari). Jika tarif listriknya Rp 1.352/kWh, AC itu saja sudah menghabiskan sekitar Rp 260.000.

Mengkonversinya dalam nominal uang saya rasa lebih memotivasi kita untuk bijak. Kita bisa melakukan konservasi energi di rumah dengan mengurangi penggunaan alat elektronik atau mengatur konsumsinya, misalnya dengan menyetel suhu pendingin ruangan. Sementara untuk efisiensi energi, kita bisa beralih ke alat elektronik yang lebih hemat energi. Lampu LED misalnya, jauh lebih hemat dibanding lampu CFL (yang berulir) dan incandescent (bohlam kuning dan lampu panjang). Begitu pula dengan LED TV, lebih kecil daya yang diperlukan dibanding LCD TV.

Kredit foto: mype.co.za
Kredit foto: mype.co.za
Di luar listrik, kita bisa menghemat penggunaan LPG, bisa beralih ke kendaraan yang lebih efisien, atau menggunakan transportasi publik. Seberapa intensif kita melakukan konservasi dan efisiensi energi menentukan seberapa besar kita bisa menghemat biaya, sekaligus berkontribusi pada upaya menghadapi perubahan iklim. Begitulah, cara ini memang paling mudah - karena siapa saja bisa melakukannya dan bisa diterapkan segera, juga paling murah -- bisa dibilang tak mengeluarkan biaya apapun untuk pengurangan penggunaan alat elektronik. Sederhananya, lebih mudah menghemat 1 Watt dibanding membangun 1 Watt. Konservasi dan efisiensi energi ini pula yang gencar dikampanyekan oleh Kementerian ESDM, dengan tajuk Potong 10%.

Jawa tak kekurangan listrik dan sumber energi lain, dan rasanya masih jauh untuk menggantikan listrik berbahan bakar fosil ini sepenuhnya dengan energi terbarukan. Namun tantangan yang kita hadapi dan bisa kita sama-sama tanggulangi adalah bagaimana menggunakan energi berlimpah itu dengan lebih bijak.

Untuk masa depan yang lebih baik.

Salam hangat,

Citra

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun