Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Rumah Mandiri Energi

25 Agustus 2017   22:15 Diperbarui: 25 Agustus 2017   23:57 1660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum bisa digunakan reguler, reaktor biogas ini harus diisi dulu dengan "bibit", yaitu kotoran sapi. Pak Dipo memasukkan sejumlah kotoran sapi yang didapatnya dari tetangga ke dalam reaktor, yang juga dicampur dengan air. Reaktor ini kemudian didiamkan selama sebulan, barulah kemudian bisa digunakan. Total uang yang dikeluarkan Pak Dipo untuk membangun reaktor ini kira-kira 3 juta rupiah.

Model reaktor floating digester pertama kali dikembangkan di India, sehingga disebut reaktor India. Reaktor ini banyak dipakai di sana hingga sekarang, dan Pak Dipo juga banyak belajar dari teman-temannya di India sebagai masukan untuk eksperimennya. Dari segi teknis Pak Dipo tidak mengalami tantangan berarti. Menurutnya yang paling sulit adalah menemukan jumlah masukan sampah dapur yang pas. Apabila terlalu banyak sampah dapur yang dimasukkan, proses dekomposisi akan terhenti. Sedangkan bila jumlah sampah dapur yang dimasukkan terlalu sedikit, jumlah gas yang dihasilkan juga sedikit.

Reaktor biogas dan kompornya di rumah Pak Dipo
Reaktor biogas dan kompornya di rumah Pak Dipo
"Dengan membuang sampah dapur kami ke reaktor biogas, kami bisa menghemat penggunaan LPG hingga 30%," Pak Dipo melanjutkan. Pak Dipo sudah menggunakan reaktor biogas buatannya sendiri selama hampir 8 tahun. Sampah dapurnya biasanya terdiri dari kulit buah, potongan sayur, dan sesekali sisa nasi; yang baik untuk dijadikan feed reaktor biogas. Dalam sehari, jumlah sampah dapur yang perlu dimasukkan ke dalam reaktor cukup 1 kg; di mana gas yang dihasilkan dapat digunakan untuk menyalakan api selama 70 menit. Apinya pun bernyala biru dan tidak berbau.

Setahun menggunakan reaktor buatannya sendiri, Pak Dipo kemudian mengenalkan teknologi ini pada orang lain. Di Bali masih banyak rumah tangga perdesaan yang menggunakan kayu bakar dan minyak tanah untuk memasak. Selain tak sehat, waktu yang diperlukan untuk mencari kayu bakar dan uang yang dikeluarkan untuk membeli minyak tanah juga tak sedikit. Dengan dukungan dari YLKI, Pak Dipo mengenalkan dan memasang reaktor rumahan ini di beberapa rumah tangga di Karangasem. Menurut ibu-ibu yang menggunakannya, keberadaan reaktor biogas ini sangat berarti untuk mereka karena meringankan pekerjaan sekaligus biaya rumah tangga.

Selain menggunakan biogas, konsep kemandirian energi yang diterapkan oleh Pak Dipo dan Bu Hira berkaitan juga dengan desain rumah mereka. Terletak di desa yang masih didominasi pepohonan dan sawah, rumah dua lantai itu minim sekat dan memiliki banyak jendela lebar. Ruang tamunya semi terbuka dengan jendela-jendela tinggi yang membuka ke sawah; membuat aliran udara di sana sangat baik. Pagi hingga siang hari, penerangan dalam rumah dicukupi dengan cahaya matari saja. Tanpa pendingin ruangan dan dengan penggunaan lampu yang efisian, Pak Dipo juga tak mengeluarkan banyak uang untuk biaya listrik.

"Kita punya kebebasan mendesain rumah kita sendiri, sehingga model efisiensi energi seperti ini juga bisa kita terapkan, tak harus rumit," Bu Hira berujar. Rumahnya memang sungguh cantik, tak hanya karena pemandangan hijau yang terbentang; juga karena desain minim sekatnya sangat artistik. Tangga kayu di ruang tamu menghubungkan lantai 1 ke lantai 2 yang juga sama terbukanya, dengan pemandangan lebih hijau dan lebih segar lagi. Jadi iri.

Agaknya semangat peduli lingkungan dan mengejar kemandirian energi Pak Dipo dan Bu Hira juga mirip seperti ngotot-nya Modi.

Salam hangat,

Citra

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun