Sebelum bisa digunakan reguler, reaktor biogas ini harus diisi dulu dengan "bibit", yaitu kotoran sapi. Pak Dipo memasukkan sejumlah kotoran sapi yang didapatnya dari tetangga ke dalam reaktor, yang juga dicampur dengan air. Reaktor ini kemudian didiamkan selama sebulan, barulah kemudian bisa digunakan. Total uang yang dikeluarkan Pak Dipo untuk membangun reaktor ini kira-kira 3 juta rupiah.
Model reaktor floating digester pertama kali dikembangkan di India, sehingga disebut reaktor India. Reaktor ini banyak dipakai di sana hingga sekarang, dan Pak Dipo juga banyak belajar dari teman-temannya di India sebagai masukan untuk eksperimennya. Dari segi teknis Pak Dipo tidak mengalami tantangan berarti. Menurutnya yang paling sulit adalah menemukan jumlah masukan sampah dapur yang pas. Apabila terlalu banyak sampah dapur yang dimasukkan, proses dekomposisi akan terhenti. Sedangkan bila jumlah sampah dapur yang dimasukkan terlalu sedikit, jumlah gas yang dihasilkan juga sedikit.
Setahun menggunakan reaktor buatannya sendiri, Pak Dipo kemudian mengenalkan teknologi ini pada orang lain. Di Bali masih banyak rumah tangga perdesaan yang menggunakan kayu bakar dan minyak tanah untuk memasak. Selain tak sehat, waktu yang diperlukan untuk mencari kayu bakar dan uang yang dikeluarkan untuk membeli minyak tanah juga tak sedikit. Dengan dukungan dari YLKI, Pak Dipo mengenalkan dan memasang reaktor rumahan ini di beberapa rumah tangga di Karangasem. Menurut ibu-ibu yang menggunakannya, keberadaan reaktor biogas ini sangat berarti untuk mereka karena meringankan pekerjaan sekaligus biaya rumah tangga.
Selain menggunakan biogas, konsep kemandirian energi yang diterapkan oleh Pak Dipo dan Bu Hira berkaitan juga dengan desain rumah mereka. Terletak di desa yang masih didominasi pepohonan dan sawah, rumah dua lantai itu minim sekat dan memiliki banyak jendela lebar. Ruang tamunya semi terbuka dengan jendela-jendela tinggi yang membuka ke sawah; membuat aliran udara di sana sangat baik. Pagi hingga siang hari, penerangan dalam rumah dicukupi dengan cahaya matari saja. Tanpa pendingin ruangan dan dengan penggunaan lampu yang efisian, Pak Dipo juga tak mengeluarkan banyak uang untuk biaya listrik.
"Kita punya kebebasan mendesain rumah kita sendiri, sehingga model efisiensi energi seperti ini juga bisa kita terapkan, tak harus rumit," Bu Hira berujar. Rumahnya memang sungguh cantik, tak hanya karena pemandangan hijau yang terbentang; juga karena desain minim sekatnya sangat artistik. Tangga kayu di ruang tamu menghubungkan lantai 1 ke lantai 2 yang juga sama terbukanya, dengan pemandangan lebih hijau dan lebih segar lagi. Jadi iri.
Agaknya semangat peduli lingkungan dan mengejar kemandirian energi Pak Dipo dan Bu Hira juga mirip seperti ngotot-nya Modi.
Salam hangat,
Citra
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H